Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kementerian Kesehatan menargetkan bisa mengumpulkan sampel dari 18 ribu orang pasien di Indonesia pada 2025 untuk mendeteksi potensi penyakit di masa depan serta pengobatan yang tepat atau presisi bagi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Tenaga Ahli Menteri Kesehatan Bidang Inovasi Biomedis Ines Irene Caterina Atmosukarto, pada 2024 telah terkumpul sampel dari 10 ribu orang pasien dengan berbagai penyakit. “Sekarang dalam tahap mau mengolah data untuk menunjukkan manfaatnya,” kata Ines kepada Tempo di Aula Timur Institut Teknologi Bandung (ITB), Selasa, 14 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sampel dari pasien itu dikumpulkan dari 10 rumah sakit yang tergabung dalam program Biomedical Genome Science Initiative (BGSi), di antaranya RS Kanker Dharmais, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, RS Penyakit Infeksi Prof. Dr. Sulianti Saroso, RSUP Persahabatan, RS Pusat Otak Nasional Prof. Dr. dr. Mahar Mardjono, RSUP Dr. Sardjito, RSUP Prof. dr. I.G.N.G. Ngoerah, RSAB Harapan Kita, dan RS Marzoeki Mahdi.
Setiap rumah sakit tersebut, menurut Ines, sudah diarahkan untuk menerapkan layanan pengobatan presisi pada penyakit tertentu berbasis genetika atau farmakogenomik. ”Minum obat tidak semua berefek baik karena dipengaruhi faktor genetika kita. Ada obat yang cocok, menimbulkan efek samping, atau tidak bekerja sama sekali,” ujar Ines.
Adapun berdasarkan data Kementerian Kesehatan ada empat penyakit, seperti kanker, diabetes, dan kardiovaskuler yang menjadi fokus utama. “Karena jumlah penderita maupun uang yang harus dikeluarkan pemerintah untuk pengobatan sangat tinggi, jadi perlu pendekatan yang berbeda,” kata Ines.
Selain itu, rata-rata umur pasiennya lebih muda dibandingkan usia pasien secara global. Sampel pasien yang diperoleh rumah sakit selanjutnya diolah dengan metode whole genome sequencing, yaitu untuk mengurutkan asam nukleat atau nukleotida pada DNA (Deoxyribonucleic Acid) yang menyimpan informasi genetik.
Menurut Ines, per minggu bisa terkumpul 250 sampel hingga setiap bulan bisa lebih dari 1.000 pasien. Sampel itu dikelola oleh Balai Besar Biomedis dan Genomika Kesehatan (BB Binomika) yang laboratoriumnya di Gedung Eijkman, Jakarta. Proyeksinya, dalam lima tahun ke depan pemerintah bisa mengumpulkan informasi genetika dari 100 ribu orang di Indonesia. “Kami mulai dari pasien, tahun depan mulai ke populasi umum untuk mengetahui risiko penyakit di Indonesia timbulnya seperti apa,” kata Ines.
Selain itu, dalam kurun dua tahun ini juga dibangun sistem pengelolaan data agar rapi dan aman. Sistemnya seperti data klinis dan biobanking untuk penyimpanan sampel. Identitas pemberi sampel, kata Ines, harus dijaga ketat agar tidak bisa dilacak ulang. “Nama penyumbang sampel tidak akan ada,” ujarnya.
Kemudian ada sistem penyimpanan informasi genomik dan sistem untuk membagi data. Konsepnya, data tidak disimpan sendiri untuk Kementerian Kesehatan, melainkan bisa diakses berbagai pihak seperti oleh akademisi atau pihak swasta dengan aturan yang berlaku dan sistem yang aman.
Pada tahap pertama penggunaan hasil informasi genetika untuk pengobatan dan diagnosis dokter itu ditujukan ke penyakit infeksi, yaitu tuberkulosa (TBC). Alasannya karena jumlah pasien di Indonesia nomor dua terbanyak di dunia, pengobatan TBC harus tepat.
Sedangkan kuman TBC, menurut Ines, bisa membawa mutasi-mutasi yang membuat bakterinya resisten terhadap obat. “Dengan pendekatan genom kita bisa mendapatkan profil pola resistensi dari obat dalam waktu lima hari,” ujarnya. Proses identifikasi itu lebih cepat dibandingkan dengan cara sekarang yang informasinya baru bisa didapat dalam kurun waktu 4-6 minggu. Sementara penyakit lain yang erat hubungannya dengan gen atau keturunan adalah kolesterol.
Proses menggali informasi genetika itu, menurut dosen senior di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung Adi Pancoro, merupakan cabang ilmu baru yang disebut bioinformatika, hasil penggabungan dari biologi molekular dan informatika. Mulai dikenal sejak 15 tahun di kalangan ilmuwan dan akademisi, hasilnya semakin dikenal publik saat pandemi lewat kajian yang membedakan jenis-jenis virus Covid-19 yang berkembang dari pengambilan sampel pasien.
Selain di bidang kesehatan, analisis DNA pada organisme makhluk hidup, mulai dari bakteri, virus, tanaman, manusia, dan hewan, juga digunakan untuk pertanian atau studi mengenai perubahan DNA sebagai cetak biru (blue print) pada tubuh dan diwariskan.
Menurut Adi, DNA sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan, misalnya pada manusia dan tanaman serta mikroba karena adaptasi. “Bukan berarti berubah lalu terjadi mutasi tapi terjadi penyesuaian,” ujarnya. Bioinformatika di ITB awalnya dikenalkan pada 1995 pada mahasiswa S2 lalu ke mahasiswa S1.