1 Nopember 1975 merupakan hari bersejarah bagi Christer
Ericsson. Pagi hari itu, bekas pelaut yang jadi perancang
bangunan itu sedang menyetir mobilnya ke kantor. Tiba-tiba,
lewat radio mobilnya dia mendengar berita meledaknya sumur bor
terapung Alfa di Laut Utara.
Yang paling mengejutkan dia bukan kerugian nilai minyak dan gas
yang terbakar percuma. Tapi keterangan si penyiar radio, bahwa
"tempat tinggal 85 karyawan minyak di atas landasan terapung itu
ikut musnah," cerita Ericsson pada majalah Sweden Now, tiga
tahun kemudian.
Lalu, apa yang diperbuatnya? Dia segera menelpon pemilik sumur
terapung itu, lalu menawarkan kontrak pembangunan perumahan
karyawan terapung -- terpisah dari sumur bornya. Kontrak
diperolah usahawan muda itu, dan dalam seminggu perumahan
terapung yang tahan api itu sudah jadi .
Kebetulan, Ericsson sebelumnya sudah mensuplai para kontraktor
bangunan di Arab Saudi dan Maroko dengan modul rumah tinggal
yang bisa didirikan dengan cepat dan secara massal. Jadi masalah
yang dihadapinya di tambang-tambang minyak lepas pantai
hanyalah: bagaimana mendirikan rumah-rumah modul itu diatas
landasan terapung.
"Terlalu riskan mengebor minyak dan sekaligus bermukim di atas
landasan-landasan terapung itu," ujar Ericsson. Makanya
terbakarnya sumur minyak lepas pantai milik Norwegia itu
dianggapnya sebagai "pemukau mata" orang-orang minyak.
Sejak saat itulah pengusaha muda itu memperkenalkan sesuatu yang
baru: sumur bor dan landasan pemukiman yang terpisah di tengah
laut, yang dihubungkan dengan terowongan atau helikopter. Dan
perusahaannya, yang tadinya hanya membangun rumah murah di atas
tanah, mulai bercabang ke perumahan terapung di laut.
Pesanggrahan
Kini perusahaan J.C. Ericsson AB itu sudah menjual 1000 rumah
modul ke perusahaan-perusahaan minyak di laut Utara, dan
menyulap 16 bekas sumur minyak terapung menjadi kompleks
pesanggrahan terapung. Gagasan Ericsson itu cukup memberikan
rezeki pula pada galangan kapal Goetaverken di Swedia. Di sana
500 karyawan kini sibuk membangun hotel-hotel terapung --
Ericsson menyebutnya "float-tel" -- atas pesanan pengusaha muda
itu. Float-tel terbesar yang telah dibangun mampu menampung 600
orang karyawan. Awak pesanggrahan terapung itu sendiri hanya
selusin orang.
Untuk menunjang pasarannya itu, Ericsson kini mengoperasikan
armada kapalnya sendiri, yang berlayar di bawah bendera Swedia.
"Kami memerlukannya, untuk menghela perumahan terapung buatan
kami ke tempat pemesannya," begitu dia menjelaskan. Rupanya, dia
tak cuma puas melayani pesanan di Laut Utara saja, tapi juga
bersiap-siap menunggu pesanan dari Teluk Persia .
Melihat perkembangan begini, ramalan Prof. Richard Meier, itu
ekolog dan futurolog Berkeley (AS) yang ke Jakarta tempo hari
tentang 15 juta penduduk Jakarta yang bakal hidup di atas laut,
mungkin dapat terwujud. Sebab setelah 10-20 tahun beroperasi,
dan minyak di lepas pantai Laut Jawa dan Laut Natuna makin
langka, mau diapakan ratusan landasan terapung yang bakal
menganggur karena minyak dan gas di paparan Sunda ini habis?
Kalau diubah jadi perkampungan semi-permanen terapung, mungkin
akan membawa manfaat lain.
Namanya juga semi-permanen. Jadi kalau Jakarta nanti sepi, satu
dua "kelurahan terapung" itu dapat saja bongkar sauh dan
berlayar ke Banjarmasin atau Ujung Pandang, lalu parkir disana.
Gagasan Ericsson, ternyata sudah diterapkan oleh dua orang
usahawan Amerika di Singapura. Michael Forwell dan Robert
Liezman, bulan lalu terpaksa berurusan dengan syahbandar
Singapura karena suatu ciptaan mereka yang 'aneh'. Mereka telah
merubah sebuah tongkang menjadi hotel terapung buat
karyawan-karyawan minyak lepas pantai. Tongkang itu sendiri,
Dari Laut namanya, masih baru. Nopember tahun lalu selesai
dibangun. Tapi entah dari mana mereka dapat ilham, segera
sesudah tongkang itu rampung suatu galangan kapal mereka order
untuk menyulapnya menjadi floatel.
Karena pekerjaan di dok agak kedodoran di luar jadwal, tongkang
itu mereka hela ke laut lepas, dekat Pulau Coney. Di sana
pembangunannya mereka lanjutkan. Menurut wartawan New Nation
yang meninjau ke atas kapal Dari Laut, sudah sembilan kabin tamu
yang selesai dibangun di atas geladak. Semua kabin itu ber-AC,
dengan lantai berlapis karpet dari dinding-ke-dinding. Selain
itu masih ada ruang awak kapal yang banyaknya 10 orang, kamar
mesin, dan tempat parkir sebuah jeep dan beberapa kapal motor
tempel di atas geladak. Semuanya itu dilindungi dengan kerangka
baja beratap setinggi 12 meter.
Pembangunan masih dilanjutkan dengan kamar-kamar di lantai dua.
Tapi lalu timbul kesulitan dengan Syahbandar Singapura. Hotel
terapung itu rupanya dianggap sejenis bangunan liar karena
membuang sauh di perairan yang terlarang untuk kapal, dan tak
punya nomor registrasi yang sesuai.
Memang, kapal itu punya nomor registrasi Panama sebagai
tongkang, tapi bukan sebagai hotel terapung yang dapat
meluncurkan perahu-perahu motor plesiran (yang juga belum
terdaftar). Tapi justru inilah kesulitan Forwell dan Liezman:
klasifikasi pendaftaran untuk 'hotel terapung' memang belum
dikenal di kalangan pelayaran. Seperti diucapkan Michael
Forwell: "Kapal ini baru merupakan suatu prototype, dan kami
masih harus berjuang untuk mendapatkan klasifikasi." Sementara
itu demi ketertiban birokratis, hotel terapung Dari Laut harus
kembali ke laut bebas, ke luar dari perairan Singapura, sehingga
pembangunannya jadi terbengkalai. Nasib suatu ciptaan baru.
Kecuali kalau Indonesia mau memberikan tempat padanya,
barangkali.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini