Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gaya Hidup

Sayang kalau hilang

Carmi, 60, buruh batik yang bekerja pada perusahaan batik "soe tjoen", tetap hidup sederhana. karyanya dikenal sampai ke eropa & dikukuhkan sebagai batik hebat oleh gubernur jenderal belanda pada thn 1939. (sd)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TERSEBUTLAH Carmi, seorang buruh batik di Pekalongan berusia lebih 60 tahun. Orang tua ini adalah sebuah potret yang pas untuk peribahasa ang berbunyi: "Kerbau punya susu, sapi punya nama." Kenapa Kata orang ia sudah dikenal dunia karena karya-karyanya. Tapi ia sendiri tetap jadi kecoak, dengan hidup yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun. "Saya jadi buruh batik sejak perawan kecil," kata Carmi memulai kisahnya kepada Churozi Mulyo dari TEMPO. Ia bekerja di perusahaan batik 'Soe Tjoen milik Kwee Tjoen Giok, alias Nyah Seneng, yang kini berusia 72 tahun. Menurut Musa Dimyati, Wakil Ketua DPRD (45 tahun) yang merangkap Pengurus Kooperasi Batik Pekajangan, di Eropa orang lebih kenal batik 'Soe Tjoen' daripada batik 'Indonesia'. Gubernur Jenderal Charda Sepotong batik Soe Tjoen yang kelas jempol bisa mencapai harga Rp 160 ribu. Mereka yang mabok batik mengatakan, bahwa letak kemahalan batik tersebut ada pada disainnya yang kuno, halus, dan akurat. Carmi dan 14 orang buruh di perusahaan itu telah bekerja dengan cermat, penuh kasih sayang, sehingga hasilnya tidak hanya merupakan hasil kerajinan tapi barang seni. Semua proses digarap oleh wanita, kecuali nglorot (membuang lilin) yang ditangani oleh Mulyadi Wijaya (40 tahun), anak bungsu mendiang Soe Tjoen. Setiap titik diletakkan dengan hati-hati dan pada tempatnya. Batik-batik tidak disentuh colet (warna dengan kwas). Semua hasil celupan. Di seantero Pekalongan batik karya Carmi memang tidak ada tandingannya. Tapi Carmi sendiri tak menikmati apa-apa. Ia masih tetap juga berjalan kaki 3 km dari rumahnya ke pabrik setiap hari, sebagaimana dikerjakannya puluhan tahun. Dengan gigi merah karena kapursirih, Carmi beruntung punya sifat periang. Sedikit lucu ia cepat tertawa ngekeh. Setiap hari tubuhnya yang ceking dalam bungkusan kain lusuh dan kutang tua membungkuk di depan tungku. Matanya juga sudah rusak. Untung masih dapat disambung dengan lensa yang digaet dari loakan, tanpa resep dokter. Pukul 15.00 sore, kalau Nyah Seneng tidak terlambat menggoyang lonceng, ia baru boleh pulang. Kesibukan tersebut sudah dapat dipastikan akan tetap begitu-begitu juga, sampai Carmi nanti tidak kuat membatik lagi. Sementara itu di Singapura, tahun 1972 sudah terbit buku bernama Guide To Java. Salah satu isinya yang penting adalah batik buah tangan Carmi. Ini dapat dibuktikan karena para tamu yang gencar menginjak tanah Jawa tidak sudi melewatkan kesempatan menjenguk Carmi. Ratusan turis memasuki Pekalongan, khususnya dapur kerja Garmi. Di antara mereka ada orang sepenting nyonya Duta Besar Australia yang sengaja datang untuk beli. Ini tidak mengherankan orang tua itu. Di jaman Soekarno, ia juga mendapat pesanan dua lembar kain khusus dengan motif Orang Iyu Sogan. Masing-masing untuk Nyonya Fatmawati dan Ny. Hartini. "Kalau bung Hatta, sempat datang ke Pekalongan dan membawa 4 potong," kata Nyah Seneng menimpali dengan rasa bangga banget. Tapi begitulah. Soe Tjoen terkenal. Pabrik ini memang ditegakkan oleh sebuah keluarga batik sejak abad ke-XIX. Di jaman normal ia pernah mendapat saingan hebat dari van Sollen. Orang Belanda itu sempat mengukir namanya dalam sejarah batik dengan hasil gemilang. Kalau orang bicara tentang batik yang jempolan, batik van Sollen harus disebut. Tetapi apa yang kemudian terjadi di di tahun 1949 setelah Belanda kalah perang? Nyonya van Sollen sengaja datang ke tempat Nyah Seneng. "Ia kasi tangan sama saya," kata Nyah Seneng mengenang. "Dia mengaku batiknya kalah halus." Sayang sekali tidak disebutkan bahwa Nyonya van Sollen tidak sempat menjabat tangan Carmi. Kekalahan batik van Sollen disaksikan orang banyak. Tahun 1939 karyakarya Carmi sudah dikukuhkan Gubernur Jenderal Belanda sebagai batik hebat. Gubernur Jenderal Tjarda sempat menerimakan sebuah medali emas dan sebuah piagam penghargaan untuk batik yang terpuji itu. Tentu saja, Carmi hanya menerima uang borongan. Oey Soe Tjoen sebagai pemilik pabrik dianggap berkah menyimpan kehormatan itu. Demikianlah batik Soe Tjoen sejak itu makin santer saja pamornya. Sepiring Nasi Putih Carmi hanya salah satu dari begitu banyak buruh batik yang hanya menerima asap, selain nasi. Kelas Carmi hanya kelas kasar dengan nilai Rp 300 satu hari. Bahkan Carmi, si tua yang sempat menembus buku Guide To Java itu, mengaku lebih rendah dari kelas tiga ratusan. Bayangkan, selembar batik paling banter dapat diselesaikannya dalam seminggu sampai 10 hari. Untuk itu ia hanya mendapat Rp 1100. Padahal Carmi menurut ranking Nyah Seneng termasuk buruh batik yang paling top ongkosnya. Jelas sekarang, betapa melatanya hidup kecoak-kecoak yang telah menghasilkan batik-batik yang melilit tubuh ibu-ibu penggede itu. Pendapatan Carmi yang luar biasa rendahnya itu agak tertolong oleh uang lauk-pauk sebesar Rp 30 satu hari. Plus sepiring nasi putih. Setiap hari selalu ada jatah sekilo beras dibagi oleh 6 buah mulut. Karena Carmi sudah tua dan perutnya agak kempes, jatah sepiring itu masih sempat dibaginya 2 bagian. Separo dimakan siang hari. Separonya lagi dibawa pulang untuk makan malam. Carmi sudah lama jadi janda. Tuhan sama sekali tidak menitipkan seorang keturunan kepadanya. Namun ia tidak hidup sendirian. Mungkin mengingat masa tuanya, ia memungut kemenakannya jadi anak. Dari mereka ia mendapat 11 orang cucu. Ke sanalah seluruh penghasilannya sebagai buruh batik tertumpah. Ongkos hidupnya sendiri sangat murah. Lebih-lebih dia tidak memiliki ambisi apa-apa lagi, kecuali meneruskan kerja yang dilakukannya dengan rasa cinta dan butuh, sama sekali bukan sebagai beban. Sekali-sekali ia prei membatik, kalau sudah musim menuai padi di sawah. Itulah satu-satunya kesenangan orang tua ini. Agaknya begitu sajalah kelak hidupnya akan berakhir. Ia tidak punya perhatian untuk merisaukan arti peribahasa: "Kerbau punya susu, sapi punya nama." Nasib Carmi terasa lebih parah lagi kalau kita lihat apa yang diterima oleh bakul-bakul batik di dalam pasar. Orang-orang yang hanya menjadi perantara itu, dalam sebuah pasar batik yang ramai perti Pasar Beringharjo, Yogya, misalnya, berhasil menarik keuntungan sampai ribuan dalam sehari. Ambillah Ibu Sadono dari Godean yang mangkal di los nomor satu Pasar Beringharjo dan berusia 45 tahun. Ia hanya cukup bersimpuh sejak pukul 9 pagi sampai pukul 3 sore di antara kain batik. Rata-rata di dalam sehari uang yang berputar di antara batik-batiknya Rp 75 ribu Paling sedikit Rp 3 ribu sudah dapat dipastikan sebagai laba bersih. "Hasilnya ya ternyata kita bisa beli apa-apa dan bisa ngurusi anak," kata ibu yang masih memiliki putera di bangku sekolah menengah itu. Ia mengaku jualan batik merupakan kerja yang menurun dari orang tuanya. "Karena ibu jualan batik, dengan sendirinya saya juga kepengin," kata ibu itu kepada Syahril Chili dari TEMPO. Ia sendiri berniat juga akan mewariskan pekerjaan itu kepada anaknya yang paling buntut. "Umumnya di Jawa Tengah ini perempuan harus bisa bekerja," katanya. Harga batik di pasar Beringharjo tentu saja lebih rendah dari batik Carmi. Yang paling rendah sudah bisa diangkat dengan harga Rp 600. Harga yang sedang bergerak antara Rp 3000 dan Rp 5000. Batik paling mahal paling banter hanya Rp 15 ribu. Yang laris adalah batik sedang. Tapi meskipun harga batiknya lebih rendah, seorang pedagang batik tidak seperti seorang pengusaha batik yang bekerja terus-menerus. Dengan adanya sistim candak-kulak, mereka tidak perlu terlalu ngotot menjual dan mencari barang dagangan. Cukup duduk dan menunggu. Batik dari Solo, Pekalongan maupun Yogya, datang dengan sendirinya. Pembayaran bisa kontan, bisa pakai tahapan. Tapi umumnya tidak kontan. Semalang-malang seorang penjual batik -- pada tanggal tua misalnya -- masih dapat diharapkan ada uang Rp 15 ribu yang berputar. Tapi semalang-malang seorang Carmi, karena ia pekerja borongan, tak ada uang kalau tak ada kerja. Apalagi di kalangan penjual batik di Beringharjo ada sikap bahu-membahu yang sudah menjadi ikatan tak tertulis. Misalnya saja kalau ada seorang pembeli gagal menawar di tempat pertma, tapi kemudian diluluskan di tempat kedua dengan tawaran yang sama, maka tempat pertama berhak menerima bagian sepertiga keuntungan. Hal ini tidak dijumpai pada hidup buruh batik seperti Carmi. Kembali kepada Carmi. Barangkali yang dapat dicatat di sini adalah bahwa kesehatannya tetap baik sampai sekarang. Bertahun-tahun dia duduk di lincak, alhamdulillah ginjalnya tidak pernah rewel. Kendati makannya tidak istimewa, toh ia tetap kuat menempuh 3 km setiap pagi. Dengan pendapatan yang begitu kecil, tanpa diketahuinya ia telah memberi sumbangan yang hebat pada kesenian batik. "Sayang kalau kesenian itu hilang," kata Nyonya Mulyadi, mendampingi suaminya kini memegang tampuk pimpinan di pabrik Carmi. Memang perhatian terhadap karya seni batik sekarang meletup. Yang dikerjakan sampai sekarang ialah menyelamatkan mutu batik -- bukan mutu hidup pekerja-pekerjanya. Perhatian terhadap jam kerja misalnya amat diutamakan. Seorang buruh tidak boleh terlalu ngotot bekerja. Artinya uang borongan juga tidak bisa terlalu dikebut. Sebab kata majikan, kalau buruh terlalu capek, kwalitet batik bisa berubah.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus