TERSEBUTLAH Carmi, seorang buruh batik di Pekalongan berusia
lebih 60 tahun. Orang tua ini adalah sebuah potret yang pas
untuk peribahasa ang berbunyi: "Kerbau punya susu, sapi punya
nama." Kenapa Kata orang ia sudah dikenal dunia karena
karya-karyanya. Tapi ia sendiri tetap jadi kecoak, dengan hidup
yang tak pernah berubah sejak puluhan tahun.
"Saya jadi buruh batik sejak perawan kecil," kata Carmi memulai
kisahnya kepada Churozi Mulyo dari TEMPO. Ia bekerja di
perusahaan batik 'Soe Tjoen milik Kwee Tjoen Giok, alias Nyah
Seneng, yang kini berusia 72 tahun. Menurut Musa Dimyati, Wakil
Ketua DPRD (45 tahun) yang merangkap Pengurus Kooperasi Batik
Pekajangan, di Eropa orang lebih kenal batik 'Soe Tjoen'
daripada batik 'Indonesia'.
Gubernur Jenderal Charda
Sepotong batik Soe Tjoen yang kelas jempol bisa mencapai harga
Rp 160 ribu. Mereka yang mabok batik mengatakan, bahwa letak
kemahalan batik tersebut ada pada disainnya yang kuno, halus,
dan akurat. Carmi dan 14 orang buruh di perusahaan itu telah
bekerja dengan cermat, penuh kasih sayang, sehingga hasilnya
tidak hanya merupakan hasil kerajinan tapi barang seni.
Semua proses digarap oleh wanita, kecuali nglorot (membuang
lilin) yang ditangani oleh Mulyadi Wijaya (40 tahun), anak
bungsu mendiang Soe Tjoen. Setiap titik diletakkan dengan
hati-hati dan pada tempatnya. Batik-batik tidak disentuh colet
(warna dengan kwas). Semua hasil celupan. Di seantero Pekalongan
batik karya Carmi memang tidak ada tandingannya. Tapi Carmi
sendiri tak menikmati apa-apa.
Ia masih tetap juga berjalan kaki 3 km dari rumahnya ke pabrik
setiap hari, sebagaimana dikerjakannya puluhan tahun. Dengan
gigi merah karena kapursirih, Carmi beruntung punya sifat
periang. Sedikit lucu ia cepat tertawa ngekeh. Setiap hari
tubuhnya yang ceking dalam bungkusan kain lusuh dan kutang tua
membungkuk di depan tungku. Matanya juga sudah rusak. Untung
masih dapat disambung dengan lensa yang digaet dari loakan,
tanpa resep dokter. Pukul 15.00 sore, kalau Nyah Seneng tidak
terlambat menggoyang lonceng, ia baru boleh pulang. Kesibukan
tersebut sudah dapat dipastikan akan tetap begitu-begitu juga,
sampai Carmi nanti tidak kuat membatik lagi.
Sementara itu di Singapura, tahun 1972 sudah terbit buku bernama
Guide To Java. Salah satu isinya yang penting adalah batik buah
tangan Carmi. Ini dapat dibuktikan karena para tamu yang gencar
menginjak tanah Jawa tidak sudi melewatkan kesempatan menjenguk
Carmi. Ratusan turis memasuki Pekalongan, khususnya dapur kerja
Garmi.
Di antara mereka ada orang sepenting nyonya Duta Besar Australia
yang sengaja datang untuk beli. Ini tidak mengherankan orang tua
itu. Di jaman Soekarno, ia juga mendapat pesanan dua lembar kain
khusus dengan motif Orang Iyu Sogan. Masing-masing untuk Nyonya
Fatmawati dan Ny. Hartini. "Kalau bung Hatta, sempat datang ke
Pekalongan dan membawa 4 potong," kata Nyah Seneng menimpali
dengan rasa bangga banget.
Tapi begitulah. Soe Tjoen terkenal. Pabrik ini memang ditegakkan
oleh sebuah keluarga batik sejak abad ke-XIX. Di jaman normal ia
pernah mendapat saingan hebat dari van Sollen. Orang Belanda itu
sempat mengukir namanya dalam sejarah batik dengan hasil
gemilang. Kalau orang bicara tentang batik yang jempolan, batik
van Sollen harus disebut.
Tetapi apa yang kemudian terjadi di di tahun 1949 setelah
Belanda kalah perang? Nyonya van Sollen sengaja datang ke
tempat Nyah Seneng. "Ia kasi tangan sama saya," kata Nyah Seneng
mengenang. "Dia mengaku batiknya kalah halus." Sayang sekali
tidak disebutkan bahwa Nyonya van Sollen tidak sempat menjabat
tangan Carmi.
Kekalahan batik van Sollen disaksikan orang banyak. Tahun 1939
karyakarya Carmi sudah dikukuhkan Gubernur Jenderal Belanda
sebagai batik hebat. Gubernur Jenderal Tjarda sempat menerimakan
sebuah medali emas dan sebuah piagam penghargaan untuk batik
yang terpuji itu. Tentu saja, Carmi hanya menerima uang
borongan. Oey Soe Tjoen sebagai pemilik pabrik dianggap berkah
menyimpan kehormatan itu. Demikianlah batik Soe Tjoen sejak itu
makin santer saja pamornya.
Sepiring Nasi Putih
Carmi hanya salah satu dari begitu banyak buruh batik yang hanya
menerima asap, selain nasi. Kelas Carmi hanya kelas kasar dengan
nilai Rp 300 satu hari. Bahkan Carmi, si tua yang sempat
menembus buku Guide To Java itu, mengaku lebih rendah dari kelas
tiga ratusan.
Bayangkan, selembar batik paling banter dapat diselesaikannya
dalam seminggu sampai 10 hari. Untuk itu ia hanya mendapat Rp
1100. Padahal Carmi menurut ranking Nyah Seneng termasuk buruh
batik yang paling top ongkosnya. Jelas sekarang, betapa
melatanya hidup kecoak-kecoak yang telah menghasilkan
batik-batik yang melilit tubuh ibu-ibu penggede itu.
Pendapatan Carmi yang luar biasa rendahnya itu agak tertolong
oleh uang lauk-pauk sebesar Rp 30 satu hari. Plus sepiring nasi
putih. Setiap hari selalu ada jatah sekilo beras dibagi oleh 6
buah mulut. Karena Carmi sudah tua dan perutnya agak kempes,
jatah sepiring itu masih sempat dibaginya 2 bagian. Separo
dimakan siang hari. Separonya lagi dibawa pulang untuk makan
malam.
Carmi sudah lama jadi janda. Tuhan sama sekali tidak menitipkan
seorang keturunan kepadanya. Namun ia tidak hidup sendirian.
Mungkin mengingat masa tuanya, ia memungut kemenakannya jadi
anak. Dari mereka ia mendapat 11 orang cucu. Ke sanalah seluruh
penghasilannya sebagai buruh batik tertumpah. Ongkos hidupnya
sendiri sangat murah.
Lebih-lebih dia tidak memiliki ambisi apa-apa lagi, kecuali
meneruskan kerja yang dilakukannya dengan rasa cinta dan butuh,
sama sekali bukan sebagai beban. Sekali-sekali ia prei membatik,
kalau sudah musim menuai padi di sawah. Itulah satu-satunya
kesenangan orang tua ini. Agaknya begitu sajalah kelak hidupnya
akan berakhir. Ia tidak punya perhatian untuk merisaukan arti
peribahasa: "Kerbau punya susu, sapi punya nama."
Nasib Carmi terasa lebih parah lagi kalau kita lihat apa yang
diterima oleh bakul-bakul batik di dalam pasar. Orang-orang yang
hanya menjadi perantara itu, dalam sebuah pasar batik yang ramai
perti Pasar Beringharjo, Yogya, misalnya, berhasil menarik
keuntungan sampai ribuan dalam sehari. Ambillah Ibu Sadono dari
Godean yang mangkal di los nomor satu Pasar Beringharjo dan
berusia 45 tahun. Ia hanya cukup bersimpuh sejak pukul 9 pagi
sampai pukul 3 sore di antara kain batik. Rata-rata di dalam
sehari uang yang berputar di antara batik-batiknya Rp 75 ribu
Paling sedikit Rp 3 ribu sudah dapat dipastikan sebagai laba
bersih.
"Hasilnya ya ternyata kita bisa beli apa-apa dan bisa ngurusi
anak," kata ibu yang masih memiliki putera di bangku sekolah
menengah itu. Ia mengaku jualan batik merupakan kerja yang
menurun dari orang tuanya. "Karena ibu jualan batik, dengan
sendirinya saya juga kepengin," kata ibu itu kepada Syahril
Chili dari TEMPO. Ia sendiri berniat juga akan mewariskan
pekerjaan itu kepada anaknya yang paling buntut. "Umumnya di
Jawa Tengah ini perempuan harus bisa bekerja," katanya.
Harga batik di pasar Beringharjo tentu saja lebih rendah dari
batik Carmi. Yang paling rendah sudah bisa diangkat dengan harga
Rp 600. Harga yang sedang bergerak antara Rp 3000 dan Rp 5000.
Batik paling mahal paling banter hanya Rp 15 ribu. Yang laris
adalah batik sedang. Tapi meskipun harga batiknya lebih rendah,
seorang pedagang batik tidak seperti seorang pengusaha batik
yang bekerja terus-menerus. Dengan adanya sistim candak-kulak,
mereka tidak perlu terlalu ngotot menjual dan mencari barang
dagangan. Cukup duduk dan menunggu. Batik dari Solo, Pekalongan
maupun Yogya, datang dengan sendirinya. Pembayaran bisa kontan,
bisa pakai tahapan. Tapi umumnya tidak kontan.
Semalang-malang seorang penjual batik -- pada tanggal tua
misalnya -- masih dapat diharapkan ada uang Rp 15 ribu yang
berputar. Tapi semalang-malang seorang Carmi, karena ia pekerja
borongan, tak ada uang kalau tak ada kerja. Apalagi di kalangan
penjual batik di Beringharjo ada sikap bahu-membahu yang sudah
menjadi ikatan tak tertulis. Misalnya saja kalau ada seorang
pembeli gagal menawar di tempat pertma, tapi kemudian
diluluskan di tempat kedua dengan tawaran yang sama, maka tempat
pertama berhak menerima bagian sepertiga keuntungan. Hal ini
tidak dijumpai pada hidup buruh batik seperti Carmi.
Kembali kepada Carmi. Barangkali yang dapat dicatat di sini
adalah bahwa kesehatannya tetap baik sampai sekarang.
Bertahun-tahun dia duduk di lincak, alhamdulillah ginjalnya
tidak pernah rewel. Kendati makannya tidak istimewa, toh ia
tetap kuat menempuh 3 km setiap pagi. Dengan pendapatan yang
begitu kecil, tanpa diketahuinya ia telah memberi sumbangan yang
hebat pada kesenian batik. "Sayang kalau kesenian itu hilang,"
kata Nyonya Mulyadi, mendampingi suaminya kini memegang tampuk
pimpinan di pabrik Carmi.
Memang perhatian terhadap karya seni batik sekarang meletup.
Yang dikerjakan sampai sekarang ialah menyelamatkan mutu batik
-- bukan mutu hidup pekerja-pekerjanya. Perhatian terhadap jam
kerja misalnya amat diutamakan. Seorang buruh tidak boleh
terlalu ngotot bekerja. Artinya uang borongan juga tidak bisa
terlalu dikebut. Sebab kata majikan, kalau buruh terlalu capek,
kwalitet batik bisa berubah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini