ADA yang menarik dalam pameran Bagong Kussudiardjo kali ini,
12-17 September 1978 di TIM. Beberapa kanvasnya berisi figura
manusia-manusia, yang hanya berbentuk nyaris kerangka hitam
saja. Dan salah satunya memang berjudul "Tulang-tulang
berserakan". Dan lukisan satu itu memang lahir karena ia
beberapa kali membaca sajak Chairil Anwar Krawang Bekasi yang
salah satu barisnya demikian: "Kami hanya tulang-tulang
berserakan."
Tapi figur itu bukan baru bagi Bagong. Karya-karya awal tahun
enampuluhannya sudah begitu. Juga ia banyak sekali membuat
sketsa sedemikian (dalam pameran ini juga dipamerkan beberapa
sketsanya). Kalau dilihat dari komposisinya, mengingatkan
pengelompokan dalam tari-tari koreografi Bagong.
Yang menarik ialah, kalau dibanding dengan karya-karya
sebelumnya, boleh dibilang lebih mengesankan. Soalnya begini.
Karya-karya non-figuratif Bagong kayaknya tidak begitu sreg.
Artinya, ada yang berlebihan di sana. Lihat misalnya "Waisak
78". Bentuk segi tiga yang runcing atau yang lengkung sudutnya,
terasa berserakan, tak saling mendukung keseluruhan kanvas. Dan
latar belakang yang warna-warni mendukung ramaian itu sungguh
menyumbang keberserakannya. Kesan akhirnya kemudian, bagaikan
barang tiruan yang memang lebih mengkilap dari aslinya, tapi
murah mutunya.
Maka kehadiran figur itu bagaikan kehadiran "kata" dalam ruang
kosong. Ia bisa menjadi sesuatu yang mengikat kita, penonton
lukisan, karena ada yang mengajak bicara dan yana dibicarakan
cukup menarik. "Turun dari Salib"nya misalnya, yang memberikan
suasana tragik itu.
Tapi beberapa lagi -- "Pemandangan" dan "Kerja di Pantai"
--figur-figur itu tak berbicara menarik. Di situ terasa mereka
dipasang sebagai hiasan. Dan yang tak begitu indah. Dan siapa
saja yang ingat ilustrasi Ekana Siswaya dalam majalah Sastra
almarhum, tak sulit melihat karya Bagong yang itu seperti
ilustrasi saja -- memerlukan sesuatu yang lain, guna memberi
arti kehadirannya.
Namun satu hal yang sangat menarik dalam pameran Bagong ini
ialah tiga lukisan kecil yang bertemakan kehidupan sehari-hari:
"Arisan", "Menanti Tamu" dan "Bertemu Ibu Terhormat". Figur yang
memang bentuk manusia, ltar yang efisien warnanya. Kesemuanya
mendukung satu suasana yang, yah, rasanya tak asing. Figur-figur
itu terasa Jawa, suasananya terasa kampung. Singkatnya
karya-karya yang ini terasa diciptakan dengan perasaan yang
lebih mengendap, jiwa yang lebih matang.
Lalu ada beberapa lukisan yang mengambil huruf-huruf Jawa
sebagai obyeknya. Ada yang berbunyi "Allah" (hanya "l"nya cuma
satu) ada yang berbunyi "kawula gusti" (hamba tuan). Konon itu
dibikinnya karena suatu waktu Bagong sering mendengar
tetangganya mengadakan "tahlilan". Bertema relijius? Maksudnya,
mungkin. Tapi lukisan itu sendiri mengesankan tak lebih daripada
sekedar pelepasan rasa iseng. Maklum maksud dan pelaksanaan
memang bisa lain apalagi soal karya seni. Dan mungkin karena
itulah karya seni bisa
dibicarakan sepanjang waktu.
Menakar rata-rata pameran Bagong selama ini, pamerannya kali ini
memang lebih ada yang pantas dicatat. Tapi kalau diprosentase,
mungkin juga apa kata seorang dosen seni rupa LPKJ benar.
Katanya "Yang baik itu rasanya kebetulan saja."
Bambang Bujono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini