Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Tulang-tulang berserakan

Pameran lukisan karya bagong kussudiardjo di taman ismail marzuki jakarta, menampilkan karya-karya non-figuratif yang tidak begitu sreg. (sr)

23 September 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang menarik dalam pameran Bagong Kussudiardjo kali ini, 12-17 September 1978 di TIM. Beberapa kanvasnya berisi figura manusia-manusia, yang hanya berbentuk nyaris kerangka hitam saja. Dan salah satunya memang berjudul "Tulang-tulang berserakan". Dan lukisan satu itu memang lahir karena ia beberapa kali membaca sajak Chairil Anwar Krawang Bekasi yang salah satu barisnya demikian: "Kami hanya tulang-tulang berserakan." Tapi figur itu bukan baru bagi Bagong. Karya-karya awal tahun enampuluhannya sudah begitu. Juga ia banyak sekali membuat sketsa sedemikian (dalam pameran ini juga dipamerkan beberapa sketsanya). Kalau dilihat dari komposisinya, mengingatkan pengelompokan dalam tari-tari koreografi Bagong. Yang menarik ialah, kalau dibanding dengan karya-karya sebelumnya, boleh dibilang lebih mengesankan. Soalnya begini. Karya-karya non-figuratif Bagong kayaknya tidak begitu sreg. Artinya, ada yang berlebihan di sana. Lihat misalnya "Waisak 78". Bentuk segi tiga yang runcing atau yang lengkung sudutnya, terasa berserakan, tak saling mendukung keseluruhan kanvas. Dan latar belakang yang warna-warni mendukung ramaian itu sungguh menyumbang keberserakannya. Kesan akhirnya kemudian, bagaikan barang tiruan yang memang lebih mengkilap dari aslinya, tapi murah mutunya. Maka kehadiran figur itu bagaikan kehadiran "kata" dalam ruang kosong. Ia bisa menjadi sesuatu yang mengikat kita, penonton lukisan, karena ada yang mengajak bicara dan yana dibicarakan cukup menarik. "Turun dari Salib"nya misalnya, yang memberikan suasana tragik itu. Tapi beberapa lagi -- "Pemandangan" dan "Kerja di Pantai" --figur-figur itu tak berbicara menarik. Di situ terasa mereka dipasang sebagai hiasan. Dan yang tak begitu indah. Dan siapa saja yang ingat ilustrasi Ekana Siswaya dalam majalah Sastra almarhum, tak sulit melihat karya Bagong yang itu seperti ilustrasi saja -- memerlukan sesuatu yang lain, guna memberi arti kehadirannya. Namun satu hal yang sangat menarik dalam pameran Bagong ini ialah tiga lukisan kecil yang bertemakan kehidupan sehari-hari: "Arisan", "Menanti Tamu" dan "Bertemu Ibu Terhormat". Figur yang memang bentuk manusia, ltar yang efisien warnanya. Kesemuanya mendukung satu suasana yang, yah, rasanya tak asing. Figur-figur itu terasa Jawa, suasananya terasa kampung. Singkatnya karya-karya yang ini terasa diciptakan dengan perasaan yang lebih mengendap, jiwa yang lebih matang. Lalu ada beberapa lukisan yang mengambil huruf-huruf Jawa sebagai obyeknya. Ada yang berbunyi "Allah" (hanya "l"nya cuma satu) ada yang berbunyi "kawula gusti" (hamba tuan). Konon itu dibikinnya karena suatu waktu Bagong sering mendengar tetangganya mengadakan "tahlilan". Bertema relijius? Maksudnya, mungkin. Tapi lukisan itu sendiri mengesankan tak lebih daripada sekedar pelepasan rasa iseng. Maklum maksud dan pelaksanaan memang bisa lain apalagi soal karya seni. Dan mungkin karena itulah karya seni bisa dibicarakan sepanjang waktu. Menakar rata-rata pameran Bagong selama ini, pamerannya kali ini memang lebih ada yang pantas dicatat. Tapi kalau diprosentase, mungkin juga apa kata seorang dosen seni rupa LPKJ benar. Katanya "Yang baik itu rasanya kebetulan saja." Bambang Bujono

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus