Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Tahun Baru Cina atau Imlek 2024 shio naga dengan elemen kayu. Dekorasi di berbagai pusat perbelanjaan modern dan ruang-ruang publik dihiasi warna serba merah berpadu kuning. Hiasan lampion dan motif naga sebagai simbol shio Imlek tahun ini melengkapi suasana semarak. Bahkan, kios-kios pakaian di mal atau pasar tak sedikit yang menjual baju cheongsam menjelang Februari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kini, perayaan Imlek bagian dari keberagaman budaya di Indonesia dan menjadi hari libur nasional. Tapi, pada rezim Orde Baru, kekuasaan Soeharto, Imlek tidak diakui. Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967 masa kepemerintahan Soeharto, perayaan Imlek dilarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebelum Soeharto berkuasa, semasa kepemimpinan Soekarno perayaan Imlek diakui melalui Penetapan Pemerintah Nomor 2/OEM-1946 tentang hari-hari raya umat beragama. Berkuasanya Soeharto menenggelamkan kemeriahan perayaan Imlek yang sudah ada sejak dulu.
Dosen Filsafat Timur Universitas Gadjah Mada atau UGM Budisutrisna menjelaskan, rezim Orde Baru tak hanya melarang perayaan Imlek, tapi juga segala unsur Tionghoa atau Cina, termasuk nama orang. "Nama-nama Tionghoa diganti dengan nama (ala) Indonesia untuk menyembunyikan identitas,” katanya kepada Tempo, Rabu, 7 Februari 2024.
Ketika kekuasaan Soeharto runtuh, perlahan budaya orang Tionghoa di Indonesia mulai terlepas dari tekanan. Imlek bisa dirayakan pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pada 17 Januari 2000, Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2000 mencabut Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Sejak itulah, orang Tionghoa mendapat kebebasan menunjukkan identitasnya menganut agama, kepercayaan, dan menjalankan tradisinya.
Imlek dan Keindonesiaan
Imlek telah menjadi bagian dari khazanah budaya yang berkembang dalam arus zaman di Indonesia. Menurut Budisutrisna, diterimanya tradisi orang Tionghoa sejak dulu di Nusantara, karena adanya persamaan latar belakang. “Indonesia dan Cina memiliki latar belakang yang sama, keduanya menghargai nilai-nilai pertanian,” katanya.
Tahun Masehi dihitung dari perhitungan matahari. Adapun kalender Cina menggunakan perhitungan bulan untuk menghitung musim. Di Cina, tahun baru Imlek pada pergantian musim dingin ke musim semi. “Petani membutuhkan perhitungan peredaran bulan untuk menghitung musim. Setiap tahun baru Imlek itu mengingatkan mereka pada semangat untuk bertani," kata Budisutrisna.
Ia menjelaskan, kultur Nusantara identik dengan budaya agraris. Di sisi lain, Imlek juga mengandung unsur kealaman. Budisutrisna memandang, budaya Nusantara dan nilai yang dipegang orang Tionghoa saling melengkapi. "Kalau dalam Bahasa Jawa ada peribahasa tumbu oleh tutup, artinya cocok atau klop," ucapnya.
Contoh lainnya, kata Budisutrisna, kepercayaan orang Tionghoa yang berkaitan dengan feng shui. “Feng itu angin, shui itu air. Tahun-tahun itu berhubungan dengan arah mata angin, mereka (orang Tionghoa) percaya dalam alam setiap tahun itu memiliki arah mata anginnya tersendiri yang harus diikuti," katanya. "Dalam tradisi Cina, ilmu tentang arah dan tata letak bangunan itu juga tergantung pada tahunnya."
Sistem kepercayaan semacam itu juga ada dalam budaya Jawa. Misalnya membangun rumah di Jawa harus menghadap ke selatan atau utara. Bahkan, perjodohan di Jawa juga ada keberuntungannya sendiri, ada pantangannya,” tuturnya.
Ada pula mengenai filosofi kehidupan antara kepercayaan budaya Cina dan Jawa yang memiliki kesamaan. Di Cina, terdapat konsep jalan tengah, keseimbangan dan harmoni dalam hidup. Di Jawa terdapat konsep sak madya yang berarti hidup secukupnya, sewajarnya, tidak berlebihan, dan tak berkekurangan. “Dengan kesamaan ini, saya pikir ada satu nilai yang patut dijunjung sebagai kebersamaan," katanya.
Walaupun, secara perilaku budaya orang Tionghoa dan Jawa berlainan, namun nilai yang dipegang tetap sama. “Orang yang mudah konflik, karena yang dilihat hanya perbedaan fisiknya, sikapnya. Padahal, di balik itu semua ada nilai-nilai yang sama yang bisa menyatukan kita,” tuturnya.
Ucapan Imlek
Merujuk catatan Tempo pada 2019, Pemilik Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, Azmi Abubakar menjelaskan, ucapan Gong Xi Fa Cai saat ini sering diucapkan untuk menyampaikan selamat perayaan Imlek.
Tetapi, menurut dia, ada ucapan Imlek lain yang bisa diucapkan jika merunut sejarahnya disampaikan pada kurun waktu 1950-1960. "Ucapannya adalah Sin Cun Kiong Hi yang artinya selamat menyambut musim semi, lalu biasanya dilanjutkan dengan ucapan tambahan Thiam Hok Siu, tambah umur dan kebahagiaan," kata Azmi Abubakar kepada Tempo, Senin, 4 Februari 2019.
Azmi Abubakar menjelaskan saat mengucapkan Sin Cun Kiong Hi, kedua tangan digabung dalam posisi mengepal di depan dada atau bersoja. Pada masa lampau, ucapan itu disampaikan menjelang Imlek ketika sedang musim hujan. Adapun warga Jakarta saat itu juga menikmati musim buah rambutan dan duku. "Masyarakat Tionghoa di Jakarta merayakan seolah-olah menyambut musim semi," tuturnya.
Angpau Imlek
Dulu, pada pagi hari Imlek, Azmi Abubakar menjelaskan, orang tua bersama anak-anak berkunjung ke rumah kerabat. Kunjungan ini bukan hanya dilakukan kepada sesama orang Tionghoa. "Saling memberikan ucapan selamat dan anak-anak sangat berharap mendapatkan angpau," katanya.
Anak-anak yang sudah berkeliling ke rumah kerabat, tetangga, dan sahabat saat Imlek, biasanya terlihat ada perubahan penampilannya. "Perut jadi buncit karena makan kue dan makanan enak, serta kantongnya tebal penuh angpau," kata Azmi Abubakar sambil tertawa.
SUKMA KANTHI NURANI | BRAM SETIAWAN