Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sains

Indonesia Belum Manfaatkan Keanekaragaman Hayati Secara Optimal

Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pangan, papan, obat-obatan, dan kosmetik.

28 Oktober 2019 | 16.11 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Profesor Fakultas Kehutanan IPB Iskandar Siregar, Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia Endang Sukara, Plt Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Agung Kuswandono, Direktur Riset dan Pengabdian Mayarakat Kemenristek/BRIN Ocky Karna Radjasa dalam acara seminar nasional bertajuk Pencegahan Pencurian Sumber Daya Hayati (Biopiracy). TEMPO/ Galuh Putri Riyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Potensi keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia belum dimanfaatkan secara luas dan optimal. Plt. Sekretaris Kemenko Bidang Kemaritiman dan Invesatsi Agung Kuswandono, mengutip satu penelitian, mengatakan Indonesia baru memanfaatkan sekitar 5 persen kekayaan hayatinya untuk Industri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Saya jadi iri dengan negara-negara lain yang memiliki semangat untuk mengembangkan sumber daya hayatinya. Misalnya sebut saja Korea Selatan yang terkenal dengan gingsengnya," kata di acara seminar nasional bertajuk Pencegahan Pencurian Sumber Daya Hayati (Biopiracy) di Hotel Sheraton Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Senin 28 Oktober 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia ini berpotensi untuk dijadikan sebagai bahan pangan, papan, obat-obatan, dan kosmetik," tambahnya.

Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional (Kemenristek/BRIN) menggandeng Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi dalam seminar itu.

Agung mengungkapkan bahwa seminar nasional ini menjadi penting lantaran Indonesia dikenal sebagai pusat keanekaragaman hayati dunia atau disebut megabiodverisitas. Ia melanjutkan bahwa Indonesia setidaknya memiliki 47 ekosistem hayati berbeda sehingga menghasilkan endemisme hayati yang tertinggi di dunia.

Selain itu, Agung juga mendorong pemerintah, periset, swasta, dan berbagai pihak lainnya untuk mulai memanfaatkan keanekaragaman hayati Indonesia secara luas dan optimal, terutama di level industri. Hal ini dikarenakan bisa mendatangkan keuntungan matriil.

"Salah satu contoh pemanfaatan keanekaragaman hayati di bidang farmasi. Berdasarkan salah satu penelitian, 118 jenis obat yang diresepkan dokter di Amerika itu berbasis sumber daya hayati. Industri obat berbasis tumbuhan alami ini nilainya mencapai USD 400-900 miliar per tahunnya," ungkap Agung.

Oleh karena itu, Agung berharap saat ini Indonesia mulai mengidentifikasi keanekaragaman hayatinya dan kemudian dikembangkan ke taraf industri. "Saat ini, inovasi di bidang hayati kebanyakan berhenti di level lab atau universitas saja. Padahal kalau bisa masuk ke taraf industri ini bisa mengangkat martabat Indonesia di mata dunia serta menyejahterakan rakyat Indonesia," ujarnya.

Selain belum berhasil memanfaatkan keanekaragaman hayati secara luas dan optimal, Agung mengungkapkan Indonesia belum bisa melindungi keanekaragaman hayatinya dari biopiracy. Agung menjelaskan bahwa biopiracy adalah suatu pencurian atau pembajakan terhadap sumber daya hayati di suatu negara, dalam hal ini Indonesia.

"Indonesia sudah banyak kecolongan. Yang paling banyak itu pencurian yang mengatasnamakan penelitian. Misalnya ada peneliti asing harusnya meneliti satu sumber daya hayati saja, tapi malah meneliti semuanya," kata dia.

Lebih jauh lagi, Agung mengungkapkan bahwa biopiracy terjadi juga karena masyarakat Indonesia yang belum begitu peduli terhadap kelangsungan sumber daya hayatinya. Padahal, ia menyebutkan bahwa biopiracy ini merugikan Indonesia.

"Waktu itu ada kejadian, salah satu daerah mengekspor sapi hidup ke negara lain tanpa mengebirinya. Itu berarti kita ngasih secara cuma-cuma galur murni sapi Indonesia ke mereka. Bisa-bisa di tahun mendatang kita nggak punya sapi, malah mereka yang punya," kata Agung.

GALUH PUTRI RIYANTO

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus