Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Ahli dan peneliti gempa dari Teknik Sipil Institut Teknologi Bandung (ITB) Prof. Mashyur Irsyam mengatakan gejala likuifaksi pada tanah bisa diketahui.
Baca: Kenapa Petobo Terdampak Paling Parah Likuifaksi? Simak Kata Ahli
Baca: Likuifaksi di Palu Ternyata Sudah Diprediksi Sejak 2012
Baca: Kenapa Gempa, Tsunami, Likuifaksi Bisa Terjadi Bersamaan di Palu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurutnya, kejadian likuifaksi bisa diprediksi dengan skenario gempa. Selain itu, juga ada solusi mengatasi likuifaksi untuk bangunan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Likuifaksi, kata Mashyur, adalah fenomena alam yang umum terjadi setelah gempa. Beberapa catatan kejadian likuifaksi, seperti di Maumere 1992, Padang 2007, Pidie, Lombok, dan yang terbaru di Palu. "Ada mekanikanya bisa dijelaskan," ujarnya di kampus ITB, Senin, 8 Oktober 2018.
Likuifaksi terjadi pada tanah pasiran atau yang didominasi pasir. Sedangkan pada tanah lempung potensinya kecil. Likuifaksi atau pelulukan tanah bisa terjadi pada kondisi tanah pasiran saat terjadi gempa kuat. "Misalnya magnitudo 6-6,5 yang sumber gempanya dekat," kata dia.
Menurut pakar dan peneliti lain dari ITB dan Badan Geologi itu, likuifaksi umumnya ada dua jenis. Jenis pertama yang tanahnya sangat berpasir, bisa membuat tanah seperti bubur lumpur akibat terobosan air dalam tanah yang terguncang oleh gempa kuat. Contoh kasusnya di Palu yang membenamkan perumahan, serta di lokasi lain yang memindahkan posisi rumah.
Jenis kedua pada tanah berpasir yang lebih keras, di mana dari retakan tanah keluar air dan pasir. Sumur pun bisa terisi oleh pasir. Contoh jenis ini misalnya saat terjadi Gempa Lombok.
Menurut Mashyur, penentu likuifaksi adalah besaran tegangan geser yang proporsional dengan massa dikalikan percepatan gempa. "Jadi sangat tergantung nilai percepatan kemudian penggoyangnya dan kekuatan tanah, kita bisa perkirakan bisa terjadi atau tidak," katanya.
Cara mengatasi potensi likuifaksi telah dilakukannya pada sejumlah bangunan, misalnya Bandara Ngurah Rai Bali dan untuk Bandara di Kulon Progo. "Caranya dengan membuat padat tanah yang berpasir," ujarnya. Setelah bisa diperkirakan dan diketahui caranya, kata Mashyur, tinggal dihitung biayanya apakah impas atau tidak.
Sesuai standar bangunan, kekuatan pondasi harus kuat terhadap beban bangunan yang dipikul. Pondasi bangunan yang ramah gempa itu sudah dipersiapkan untuk menerima gaya gempa. "Selama gaya yang kita pakai untuk pondasi sudah diperhitungkan, itu antisipasi likuifaksi juga," ujarnya.
Sumber gempa bumi menurut Mashyur ada dua jenis, yaitu akibat subduksi dan sesar aktif. Subduksi atau pertemuan lempeng yang menghasilkan sumber gempa di Indonesia berasal dari lempeng Asia, Australia, dan Pasifik.
Simak artikel lainnya tentang likuifaksi di kanal Tekno Tempo.co.