Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Lima tahun lalu, tepatnya pukul 17.02 WIT pada 28 September 2018 terjadi gempa dahsyat di wilayah Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah yang belakangan dikenal gempa Palu, salah satunya karena daya rusaknya. Tak cuma guncangan bumi, gempa Palu menimbulkan tsunami.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), dalam catatan tempo.co, gempa tersebut berkekuatan 7,7 skala Richter dan berpusat di 0,18 Lintang Selatan dan 119,85 Bujur Timur atau 27 kilometer timur laut Donggala.
Selain Donggala, gempa tersebut juga berdampak fatal ke daerah terdekat, di antaranya Kota Palu, Kabupaten Sigi, dan Kabupaten Parigi Moutong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa ingatan warga tentang peristiwa tersebut pernah ditulis Tempo.co. Misalnya cerita Aisyah dan suaminya yang tinggal di pondok papan sebuah kebun. Dalam ingatannya, gempa tersebut mengakibatkan tanah bergelombang dan retak mengeluarkan lumpur. Ingatan warga lainnya yaitu Ikram menyatakan bahwa pohon-pohon kelapa yang harusnya ada di daerah tinggi, setelah gempa bergeser ke dekat pemukiman warga.
Sebelumnya, bencana gempa di Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Moutong diikuti oleh likuifaksi yang secara sederhana menurut Nugroho Dwi Hananto, dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) (sekarang BRIN) merupakan getaran struktur bawah permukaan yang terdiri dari sedimen lunak dan pasir.
Citra satelit wilayah Petobo Palu saat terjadi likuifaksi tahun 2018. Sumber gambar: DigitalGlobe, a Maxar company ©2018. Diolah dengan Juxtapose.JS oleh Tim Cek Fakta Tempo.
Likuifaksi yang terjadi di Sulawesi Tengah itu kemudian diteliti oleh Hartato Kurniawan Ratode. Penelitian tersebut ditulis dengan judul Analisis Perubahan Bidang Tanah Terdaftar Akibat Gempa Bumi dan Likuifaksi Palu Tahun 2018 yang terbit pada Jurnal Tunas Agraria. Penelitian ini berfokus di daerah Balaroa, Petobo, dan Talise Valangguni.
Ratode menyimpulkan terdapat dua zona deformasi di lahan yang terdampak bencana. Pertama, daerah Balaroa dsn Petobo yang merupakan zona likuifaksi mengalami empat jenis kerusakan tanah, yaitu bidang tanah tetap, berubah sisi, bergeser, dan tidak teridentifikasi. Kedua, daerah Talise Valangguni yang merupakan zona gempa bumi mengalami pergeseran lateral.
Bahaya likuifaksi secara nyata telah terlihat pada bencana gempa Palu, Sigi, Donggala, dan Parigi Mountong.
Lebih jelas lagi bahaya likuifaksi dijelaskan oleh Prof. Paulus Pramono Rahadjo, Ph.D, dilansir dari uii.ac.id, bahwa likuifaksi dapat menyebabkan kerusakan berupa keretakan permukaan (jalan dan lahan lainnya), jatuhnya beban pada bangunan atau infrastruktur, dan lebih jauh dapat menyebabkan tsunami jiga di dekat laut.
Mengingat bahaya dan bencana alam yang dapat terjadi kapan saja. Masyarakat sebaiknya mencari informasi mengenai keadaan lingkungan tempat tinggal. Khusus mengenai likuifaksi, beberapa daerah dinyatakan berpotensi mengalaminya, di antaranya Pasaman, Tono Una-Una, dan lainnya.
M. ROBY SEPTIYAN | JULI HANTORO | MOH KHORY ALFARIZI | UII.AC.ID
Pilihan editor: Tepat 5 Tahun Gempa Tsunami Palu 28 September, Peneliti: Perlu Diperingati Sambil Mitigasi