Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap penyebab terjadinya fenomena hujan es di Yogyakarta dan Tasikmalaya pada Selasa sore, 11 Maret 2025. Peneliti di Pusat Riset Iklim dan Atmosfer BRIN Erma Yulihastin mengatakan bahwa tim di Kelompok Riset Interaksi Atmosfer Laut dan Variabilitas Iklim telah melakukan diskusi dan analisis terkait cuaca ekstrem itu pada Kamis kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Erma menjelaskan, hujan es atau hail merupakan fenomena hujan disertai dengan butiran es yang jika parah dapat menurunkan bongkahan es (hailstone). “Butiran es ini dapat dihasilkan di dalam sebuah awan melalui proses tumbukan antara kristal es dan butiran air yang sangat dingin (supercooled water) melalui proses yang dinamakan sebagai 'bergeron',” kata Erma kepada Tempo, Kamis malam, 13 Maret 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses ini, kata Erma, terjadi di dalam awan pada ketinggian sekitar 3 kilometer atau pada level yang disebut dengan ketinggian freezing level. “Yaitu batas ketinggian awan yang memiliki suhu di bawah titik beku,” tuturnya.
Fenomena ini bermula dari arus udara vertikal yang kuat saat awan kumulus berkembang menjadi kumulonimbus. Arus udara yang naik ini membawa tetes-tetes awan hasil kondensasi atau droplet yang jika terus naik dan melewati batas pendinginannya, maka tetes awan berbentuk air ini akan saling bertumbukan dengan kristal es. “Lalu bersatu dan membeku membentuk butiran-butiran es,” katanya.
Warga menunjukkan hujan es di kawasan Kotagede Yogyakarta, Selasa 11 Maret 2025. Dok. Istimewa
Menurut Erma, ketika partikel es ini berkumpul semakin banyak, maka ukurannya pun semakin besar yang disebut sebagai graupel. “Ketika mencapai batas ukuran tertentu, graupel pun turun ke bawah akibat gaya gravitasi,” ujarnya menjelaskan.
Sebagian dari graupel ada yang mencair dan sebagian lagi masih berupa es dengan ukuran yang lebih kecil dan halus. “Butiran es-es halus yang dinamakan juga dengan grain inilah yang jatuh di Yogyakarta dan Tasikmalaya.”
Beda Hujan Es di Yogyakarta dan Tasikmalaya
Berdasarkan hasil pengamatan satelit, hujan es di Yogyakarta diawali oleh tiga sel awan kumulonimbus di Yogyakarta, Temanggung, dan Banjarnegara. Ketiga sel awan ini bergabung dan membentuk badai multisel skala meso (MCC) yang memerlukan waktu 50 menit sejak penggabungan hingga berada pada tahap matang yaitu pukul 15.00 WIB.
“Badai MCC ini menyebabkan freezing level turun dari normalnya 3 kilometer menjadi 1 kilometer, sehingga butiran es tetap bertahan hingga mencapai permukaan bersamaan dengan hujan,” ujar Erma.
Di Tasikmalaya, fenomena serupa terjadi akibat penggabungan tiga sel awan stratokumulus dari Garut, Tasikmalaya, dan selatan Tasikmalaya dalam waktu lebih cepat, yakni 40 menit.
Bedanya, hujan es di Yogyakarta dipengaruhi oleh topografi pegunungan yang membentuk sistem konvektif tertutup di atas daratan. Sementara di Tasikmalaya, hujan es lebih banyak dikontrol oleh pertemuan massa udara laut yang lembap dan hangat dengan massa udara darat yang dingin dan kering.