Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Massachusetts - Ada kabar baik bagi penderita sindrom Down (Down syndrome). Tim ilmuwan dari University of Massachusetts Medical School di Worcester, Amerika Serikat, menemukan cara menyembuhkan kelainan genetis itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Kromosom ekstra yang menyebabkan sindrom Down harus dibungkam," kata pemimpin penelitian, Jeanne Lawrence, seperti dilansir laman Newscientist.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada 1866, Dr John Longdon Down menemukan kelainan genetis yang terjadi pada kromosom 21 pada berkas q22 gen SLC5A3. Kelainan itu berdampak keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental. Tinggi badan penderita relatif pendek, kepala mengecil, dan hidung datar menyerupai orang Mongoloid-karena itu dikenal sebagai Mongolisme.
Tim peneliti mengambil sel kulit dari laki-laki penderita sindrom Down dan "memutar ulang" kembali ke tahap embrio. Mereka memiliki salinan ekstra kromosom 21 yang mengubah cara sel-selnya berkembang. Ke dalam kromosom ekstra ini, Lawrence dan timnya menyisipkan salinan gen XIST.
Gen yang ditemukan dalam kromosom X ini berfungsi membungkam. Gen XIST biasanya diperlukan untuk menekan satu dari dua kromosom X pada wanita. Benar saja, pengaktifan gen XIST seketika membungkam ekspresi kromosom 21.
Akibatnya, sel tubuh dapat berkembang normal dan dalam dua pekan membentuk kumpulan neuron sistem saraf pusat. "Efek ini tidak dijumpai pada sel yang tidak disisipi XIST," ujar Lawrence.
Aktivasi gen XIST juga mencegah ekspresi gen APP pada kromosom ekstra yang memicu pembentukan beta-amiloid, protein yang berkaitan dengan penyakit Alzheimer dan mempercepat perkembangan sindrom Down.
Robin Lovell-Badge dari National Institute of Medical Research di London mengatakan intervensi embrio hidup tidak mungkin dilakukan. "Saya tidak yakin cara ini bisa diterapkan di semua sel bersamaan dengan diagnosis sindrom Down," kata dia. Namun, menurut Elizabeth Fisher dari University College London, temuan itu tetap berpotensi mengobati gejala sindrom Down.
Simak artikel menarik lainnya tentang Down syndrome hanya di kanal Tekno Tempo.co.
NEWSCIENTIST | AMB