Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LAUT menjadi tempat berlabuh aneka jenis sampah. Laut juga menyediakan solusi untuk menguranginya. Inilah yang sedang dikembangkan perusahaan rintisan Evo & Co melalui plastik untuk kemasan makanan berbahan dasar rumput laut. “Plastik saset lebih banyak daripada kantong belanja. Tapi ini bisa dikembangkan ke arah itu,” kata David Christian, Chief Executive Officer Evo & Co, soal alasan membuat inisiatif ini, Rabu, 12 Agustus lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karena inovasi tersebut, perusahaan yang didirikan pada 2016 lalu ini masuk empat finalis King Sejong and Jang Yeong-sil Prize pada akhir Juli lalu. Kegiatan penghargaan ini diselenggarakan Korea International Cooperation Agency, yang berkolaborasi dengan Instellar, perusahaan yang mendukung pengembangan bisnis wirausaha sosial. Kompetisi ini diikuti perusahaan rintisan yang memiliki misi memecahkan masalah lingkungan dengan model bisnis inovatif.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut David, pembuatan plastik kemasan dari bahan alami ini memiliki kerumitan yang berbeda dengan plastik biasa. Sebab, mesin produksinya juga berbeda. Bahan baku rumput lautnya diambil dari petani di Makassar. Produk ini dirintis pada 2017. Harganya, kalau dibandingkan dengan plastik serupa, memang hampir 20 kali lebih mahal. “Mungkin karena belum diproduksi dalam jumlah besar. Kalau diproduksi massal, bisa berpengaruh cukup besar terhadap harganya,” tutur David. Salah satu tantangannya adalah ketersediaan mesinnya.
Plastik saset alami ini merupakan bagian dari produk Evo & Co, yang berfokus membuat produk pengganti plastik sekali pakai dari bahan alami. Produk lain yang juga diproduksi antara lain gelas dengan bahan rumput laut dan sedotan dari beras.
David menilai pasar pengganti plastik dari bahan alami ini sangat besar. “Prospeknya besar sekali karena ke depan, semua orang, mau enggak mau, ganti ke yang ramah lingkungan,” ujarnya. Apalagi kini pelarangan penggunaan plastik sekali pakai sudah menjadi tren dunia.
Menurut Rahyang Nusantara, salah satu juri King Sejong and Jang Yeong-sil Prize, Evo & Co yang salah satu produknya adalah plastik saset rumput laut ini menjadi finalis karena berbeda dengan sekitar 70 inisiatif yang ikut kompetisi. Sebagian besar peserta mengirimkan inovasi berupa produk digital. Kelebihan lainnya, produk ini menggunakan sumber daya yang banyak tersedia di negara kita, yakni rumput laut.
Saat ini, produk tersebut masih dalam tahap pengembangan. Purwarupanya sudah ada. Secara fisik, bentuk plastiknya tidak bening seperti plastik biasanya dan juga bertekstur. “Kalau termakan manusia, belum tentu aman, kecuali jika sudah ada pengetesan dan mendapat sertifikasi aman (food grade),” kata Rahyang.
Menurut Rahyang, inisiatif pengembangan produk ini perlu didukung dengan akselerasi, juga pengembangan teknologinya, supaya bisa siap di pasar. Koordinator Nasional Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik itu memperkirakan produk rintisan ini akan siap dipasarkan pada 2021 atau 2022, setelah melalui pengujian atas keamanan dari sisi lingkungan.
Rahyang menambahkan, inisiatif ini memperkaya pengganti plastik sekali pakai. “Selama ini, sudah ada plastik sekali pakai yang terbuat dari jagung, tebu, singkong, dan cangkang udang,” ujarnya.
Indonesia merupakan produsen sampah plastik terbesar kedua di dunia, setelah Cina. Setiap tahun Indonesia menghasilkan 3,22 juta ton sampah plastik yang tidak dikelola dengan baik. Tak hanya mencemari daratan, sejumlah 0,48-1,29 juta ton dari sampah plastik tersebut diduga mencemari lautan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo