Anda punya selera humor yang baik? Mari kita uji. Alkisah, seorang remaja melamar pekerjaan dan mendapat jawaban dari calon bosnya seperti ini: "Kamu akan mulai dengan US$ 50 per minggu, dan sesudah satu bulan kamu akan mendapatkan kenaikan menjadi US$ 75." Bila ada tiga pilihan untuk mengakhiri cerita guyonan itu, mana yang Anda pilih sebagai jawaban si remaja yang paling lucu: "Saya akan mengambil pekerjaan itu. Kapan saya bisa mulai?" atau "Bagus! Saya akan kembali dalam waktu satu bulan lagi," atau "He, Bos, hidung Anda terlalu besar untuk wajah Anda"?
Mestinya jawaban yang paling lucu adalah yang kedua. Tapi, bila Anda lebih menyukai jawaban ketiga sebagai yang paling menggelikan, mungkin ada yang tak beres dalam kepala Anda. Soalnya, kemampuan menangkap humor dipengaruhi oleh kondisi otak. Dan penelitian terbaru dari psikolog asal Baycrest Center for Geriatric Care, Toronto, Kanada, Prabitha Shammi, berhasil membuktikan bahwa lobus (belahan otak) frontal pada otak bagian kanan adalah yang menentukan kemampuan seseorang menangkap humor. Penelitian itu akhir Maret lalu dipublikasikan di Journal Brain.
Menurut Shammi, orang yang mengalami kerusakan otak di daerah itu akan lebih menggemari humor slapstick. Pada beberapa penderita, tertawa pun bahkan sulit sekali dilakukan. Dagelan model Mr. Bean—acara komedian Inggris di televisi yang sangat populer—Srimulat, atau Warkop juga tidak akan menggugah rasa geli. "Mereka tahu sesuatu yang lucu dan dapat menjelaskan kenapa itu menggelikan, tapi mereka tidak dapat tersenyum," kata Shammi kepada UPI.
Selama tiga tahun, Shammi meneliti apresiasi humor 10 responden normal dan 21 orang yang lobus frontal otak kanannya cedera. Dalam salah satu tesnya, Shammi membuat berbagai lelucon dengan berbagai pilihan jawaban seperti kisah remaja yang melamar pekerjaan itu. Ternyata responden yang kondisi otaknya normal bisa menunjukkan kalimat bernada lucu. "Responden yang normal juga tertawa bila melihat jawaban slapstick, tapi mereka tahu bahwa itu bukan jawaban yang tepat," tutur Shammi. Sebaliknya, hanya responden yang mengalami kerusakan pada otak—letaknya persis di bawah tengkorak dahi paling atas—yang tidak bisa menangkap humor.
Temuan Shammi ini memperjelas beberapa penelitian sebelumnya yang meneliti humor dan kerusakan otak tapi belum menemukan dengan tepat bagian otak mana yang berhubungan dengan humor. Bagian otak kanan selama ini memang sudah diketahui sebagai bagian otak yang "mengolah" hal-hal, katakanlah, yang "non-ilmiah" seperti seni, musik, atau lukisan. Humor juga termasuk yang diolah otak bagian kanan—bagian yang sering disebut otak emosi. Namun, mencerna humor juga harus diimbangi dengan inteligensi atau pengolahan data melalui jaringan yang menggabungkan otak kanan dan otak kiri atau bagian yang sering disebut otak logika. Artinya, untuk menangkap humor dengan baik, orang juga membutuhkan tingkat inteligensi yang cukup.
Ketidakmampuan menangkap humor, meski disebabkan oleh kerusakan otak, sejauh ini tampaknya belum dianggap sebagai sesuatu yang secara medis mengganggu. Karena itu, menurut Yusuf Misbach, Kepala Bagian Neurologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, kalau tidak mengganggu kualitas hidup, "kelainan" itu tidak memerlukan tindakan medis. Toh, belum tentu orang merasa rugi gara-gara tidak punya selera humor. Lain halnya bila kegagalan mencerna humor itu disertai keluhan lain, seperti kejang. "Misalnya orang yang tidak mampu menangkap humor itu juga penderita epilepsi. Kalau diikuti kejang, prioritasnya tentu saja menghilangkan kejang itu lebih dulu. Dalam kepentingan kedokteran, tidak ada orang yang menderita karena tidak bisa menangkap humor. Jadi, pengobatannya mungkin dengan terapi psikologis," katanya.
Belum jelas memang apakah kehilangan selera humor—yang disebabkan oleh kerusakan organ—bisa dibenahi dengan terapi psikologis. Yang jelas, para psikolog "masa kini" yang percaya terhadap pentingnya kecerdasan emosi I<>(emotional intelligence) telah menganjurkan agar keterampilan dalam humor sudah dipupuk sejak dini. Humor, menurut mereka, memainkan peranan penting dalam keterampilan sosial yang sangat menentukan keberhasilan dalam pekerjaaan dan hubungan keluarga. Memang, bukankah sulit untuk tidak menyukai orang yang membuat kita tertawa? Jadi, bersyukurlah bila Anda berbakat humoris. Di masa krisis begini, humor juga akan sangat berguna meredam stres.
Ma'ruf Samudra, Hani Pudjiarti, dan Agus S. Riyanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini