DI sebuah galangan kere di Gresik,Jawa Timur, satu generasi kapal patroli cepat made in Indonesia sedang disiapkan dengan penuh semangat. "Ini memang sebuah prestasi, saya tak malu mengakuinya," ujar Soegiono, Dekan Fakultas Teknoloi Kelautan. Institut Teknologi Surabaya (ITS), yang menurunkan tim pendesain kapal itu. Kelima anggota tim, Eko Panunggal, Budie Santoso, Paulus Andrianto, Buyung Farabi, dan A. Zubaydi - semuanya insinyur lulusan ITS - menghabiskan waktu enam bulan untuk menghitung dan membuat desain yang dipesan TNI-AL pada medio 1982 itu. Februari 1983 kontrak diteken dengan PT Industri Perkapalan Indonesia (IKI), yang akan mewujudkan desain tadi. Pesanan pertama, dua kapal, dikerjakan masingmasing sebuah di galangan IKI di Gresik dan Ujungpandang. Hasil galangan Ujungpandang itulah yang sudah diuji coba dua bulan lalu di perairan Sulawesi dan Kalimantan, dalam Sea State 2-3, artinya laut sedang dihajar badai, gelombang, dan hujan. "Memuaskan, memenuhi syarat untuk kapal patroli," ujar Kolonel Riyatno, Kepala Pusat Proyek Pengadaan Kapal TNI-AL. Menurut Soeiono, alumnus ITS yang pernah memperdalam kajinya di Rheinische Westfaliche Technische Hochschule di Aachen, Jerman Barat, "Selama ini belum ada kapal cepat yang mulai desain sampai pengawasan pembangunannya dilaku an oleh ahli Indonesia." Apalagi untuk.patroli militer. Yang banyak dilakukan hanyalah perakitan, atau duplikasi seratus persen. Persoalan pokok mendesain kapal jenis ini ialah mencapai bobot kecil tanpa mengurangi tingkat keamanan, kecepatan, dan kemampuap olah gerak. Di samping hitungan yang rumit, faktor bahn juga menghambat. Sebagian besar bahan baku kapal begini masih harus diimpor. "Padahal, kami diwanti-wanti agar menggunakan bahan dalam negeri," kata Buyung Farabi. Syarat yang diajukan TNI-AL cukup berat. Kapal harus bisa dibikin di galangan sederhana di Indonesia, tapi hasilnya memenuhi persyaratan dasar klasifikasi The American Bureau of Shipping. Tim kemudian merumuskan, kapal harus dibangun dengan panjang garis air 29,40 meter, lebar terbesar badan 5,80 meter, tinggi geladak pada tengah kapal 3 meter, dan sarat air bersih 1,5 meter. Badan kapal berbentuk semiplaning hull, dengan garis menekuk ke atas di bagian buritan. Untuk menggerakkan kapal, dipilih mesin MWN jenis TBD 603-V12 buatan Jerman Barat, 1.050 TK, dengan 1.500 putaran/menit. Untuk kelincahan olah gerak, dipakai baling-baling ganda. Menurut uji coba di kolam Hamburgische Schiffbon Versuchgunstalt (HSV) di Jerman Barat, kapal patroli ini aman pada kecepatan 20 knot. Bisa ditingkatkan hingga 26 knot, tetapi pada 30 sampai 35 knot kapal menimburkan percikan air cukup besar. Uji coba itu dilakukan dengan model seperdelaDan ukuran asli. Lembaran baja yang dipakai untuk kapal ini mencapai 44 ton. Untuk alas lambung digunakan baja 6,35 mm, untuk sisi lambung 6 mm, untuk bangunan atas 5 mm. Profil baja pada gading-gading bervariasi antara 50x50x6 mm, 60x60x5 mm, 50x50x4 mm, dan 90x70x6 mm. Piranti kayu menggunakan jati. Kapal yang sekalius dirancang untuk keperruan SAR ini dilengkapi radar Furono dengan raius deteksi enam hmgga tujuh mil, satu meriam 37mm, dan sepasang senjata 12,7 mm. Harga kapal Rp 560 juta. Di atas kertas, kapal ini mestinya berbobot 90 ton. Kenyataannya bobot tadi membesar, hingga 130 ton. Lho? "Terutama karena kesulitan bahan," sahut Soegiono. Lembaran baja 4 mm, misalnya, harus diganti dengan 5 mm, karena yang pertama tadi tidak bisa dicari di Indonesia. Tambahan pula, pemesan meminta banyak kamar untuk ABK (anak buah kapal). Puas melihat dua kapal pertama ini, TNI-AL memesan 20 lagi kanal sejenis. Mengapa di galangan kecir? "Ada aturan, kapal di bawah 300 ton bisa dibangun di sana," kata Kolonel Riyatno. "Juga untuk mengembangkan galangan kecil di luar PT PAL," - bekas milik TNI-AL yang kini dikelola BPPT.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini