TIGA tahun terakhir, aksi-aksi teror menurun drastis di Italia. Dan sejak 1982 ratusan orang yang diduga keras sebagai teroris dapat diringkus. Lalu ada berita mengejutkan: grasi istimewa kepada anggota gerombolan teror yang bersedia bertobat dan membuka rahasia. Agaknya diperhitungkan, mereka itu bisa diajak kerja sama untuk ikut merontokkan bekas teman-teman mereka sendiri. Konon bekas gali yang mendapat grasi istimewa itu harus bisa meyakinkan polisi bahwa mereka sudah benar-benar tidak berbahaya bagi masyarakat. Reporter Dalbert Hallenstein dalam Sunday Time Magazine awal April lalu menuliskan penelusurannya ke dunia bekas teroris itu. * * * Media massa dan kalangan politisi menyebut teroris yang mendapatkan grasi istimewa itu sebagai pentiti- yang bertobat, tulis Dalbert Hallenstein. Konsep ini berasal dari ajaran Katolik, untuk memberi merk kepada para bekas teroris itu agar diterima oleh masyarakat. Toh timbul macam-macam reaksi. Para ahli hukum tak seberapa percaya pada informasi para bekas teroris itu. Jangan-jangan mereka melebih-lebihkan kenyataan sewaktu memberikan pengakuan - ingin memberikan kesan baik kepada polisi dan para hakim. Para ahli hukum lebih-lebih cemas, bisa jadi orang-orang yang ditangkap berdasarkan informasi itu adalah mereka yang tak tahu apa-apa. Masyarakat pun gundah melihat kebijaksanaan pemerintahnya. Cara pembebasan dengan grasi istimewa - yang telah dinikmati 14 orang teroris - mereka anggap merontokkan kepercayaan rakyat terhadap hukum sah Italia. Beberapa kericuhan memang terjadi sebelum acara pembebasan dilaksanakan. Marco Barbone, misalnya, mendapat potongan hukuman menjadi 8 tahun 9 bulan penjara untuk kasus pembunuhan, bulan Desember lalu. Dan khalayak marah mendengar pemberian keringanan pada pemuda keren berusia 24 tahun dari Milan itu. Pengadilan terpaksa menerima pekikan-pekikan yang tak enak didengar. Tapi, di sisi lain, para bekas teroris itu sendiri tak bisa dibilang merasa enak akibat pembebasan mereka. Selepas dari tahanan, mereka diburu bekas kawan-kawannya. Tentunya untuk ditamatkan. Kelompok teror memang belum musnah sama sekali. Dan mereka membenci semua pengkhianatan, karena mereka membutuhkan semua anggota yang masih tersembunyi untuk comeback secara tak tanggung-tanggung. Sangat tidak mudah bagi Hallenstein untuk membuat wawancara dengan tiga bekas teroris yang diburu ketakutan itu. Diperlukan waktu berminggu-minggu untuk persiapan. Soalnya, mereka mengontrol semua orang yang menemui mereka atau bahkan kebetulan bertemu di jalan. Mereka mengecek dan memeriksa semua data berulang-ulang. Sampai-sampai pesan bertemu dari keluarga diteliti dengan saksama, sebelum akhirnya mereka muncul dari persembunyian. Kehidupan mereka ini berjalan dalam kewaspadaan penuh. Dari sisi ketakutannya, mereka sebenarnya sudah jadi "mayat hidup". Di dunia teror Italia, pembunuhan memang urusan yang sangat biasa. Antara 1970 dan 1980 terjadi 362 pembunuhan politik yang dilakukan baik gerombolan kiri maupun kanan. Jumlah korban pemasangan bom, yang dilakukan kelompok sayap kanan, mencapai 147 orang. Sementara itu kelompok sayap kiri lebih suka mencari beberapa orang yang melambangkan kemapanan Italia, dan cukong kelas kakap, untuk dihabisi. Namun, selain jumlah yang kecil ini, mereka juga bertanggung jawab atas 170 orang yang terluka parah karena tertembak. Selama 10 tahun itu terjadi 15 kali penculikan bermotifkan politik. Dan ribuan kali letusan bom. Juga perampokan bank - yang diduga sebagai ikhtiar bagi pembiayaan grup. Dan dalam peristiwa itu ratusan orang terluka, sementara 37 teroris tewas dalam tembak-menembak dengan polisi. Memang, para bekas teroris sudah terbiasa hidup dalam kecemasan. Namun. setelah pembebasan kecemasan itu menjadi ketakutan yang getir. Kini dalam benak mereka selalu timbul kekhawatiran bahwa pemerintah akan gagal memegang janji keamanan yang sudah disepakati, kata Hallenstein. Sedikit saja pemerintah Italia kurang menghiraukan nasib mereka, begitu keluar penjara para "pengkhianat" itu akan sekaligus merasa dikhianati pula oleh negara. Ada sebuah flat di Genoa yang tak tampak istimewa. Tapi flat itu punya kisah khusus: tia pensiunan teroris bisa ditemui di situ. Carlo Bozzo, 26 tahun, anggota eksekutif Brigade Merah cabang Genoa, yang sangat ditakuti semasa dinasnya. Ia jago tembak yang bertanggung jawab atas sejumlah penembakan gelap. Kerja samanya dengan pihak polisi telah memporak-porandakan organisasi tempat dulu ia bercokol. Lalu Gianluigi Cristiani, 24 tahun. Di Brigade Merah Genoa ia termasuk "perwira menengah". Terlibat dalam banyak tindakan kriminal. Informasi yang diberikannya pada polisi menyebabkan tak kurang dari 40 teroris dapat dijerat. Dan yang seorang lagi Roberto Sandalo, 27 tahun. Termasuk pendiri dan pemimpin kelompok teror Prima Linea yang ganas di Turin. "Yang kami inginkan, atau yang mestinya kami dapat untuk bertahan hidup, adalah perlakuan yang sama seperti yang diberikan penguasa Inris kepada para anggota IRA yang mendapatkan grasi khusus," ujar Roberto Sandalo yang anak seorang pekerja pabrik mobil Fiat. "Kami menghendaki identitas baru yang komplet - nama baru dalam paspor. Pokoknya setumpuk dokumen baru yang meliputi akta kelahiran, kartu pendidikan, sertifikat kesehatan, bahkan daftar orangtua, saudara, kakek nenek, yang semuanya baru," kata Sandalo lagi. Sandalo dan kawan-kawan juga merasa memerlu kan sejumlah uang untuk operasi plastik - kalau dibutuhkan - plus modal untuk memulai bisnis dan menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dengan masa lalu. "Tapi, sungguh menyedihkan, yang kami terima hanya 20 juta lira. Setelah terpaka untuk keperluan penting, sisanya kami manfaatkar sesuka kami saja." "Tak bisa dibayangkan hidup macam apa yan sedang dan akan kami jalani," tambahnya. "Secar. pribadi kini saya merasa lebih tidak keruan diban ding ketika masih menjadi teroris dulu, yang musuh nya hanya pihak polisi. Sekarang Sandalo harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk tempat tinggal agak tersembunyi dikota kecil. Itu pun diperkirakannya akan berkisar hanya enam minggu sampai dua bulan. Tak lebih. Segera setelah seseorang mengenalinya atau menanyai surat-surat dan KTP, yang tentu saja hakal membongkar siapa dia sebenarnya, ia harus segera pindah. Dalam keadaan begitu bekerja jelas tidak mungkin. Paling banter kerja lepasan untuk satu atau dua hari. Sebenarnya, bekas teroris itu bisa saja minta pengawalan polisi. Tapi tidak dilakukannya, mengingat hal itu akan menarik perhatian orang dan tentu saja lebih membahayakan. Para teroris sendiri tahu cara terbaik menghadapi polisi pengawal semacam itu. Yaitu menyapu mereka dengan senapan mesin. "Mengingat masa lalu saya, rasanya lebih aman saya hidup dengan perhitungan saya sendiri," kata Sandalo. Setrap pagi, sebelum ke luar rumah, Sandalo memotret orang-orang yang berseliweran di jalanan sekitar tempat tinggalnya. Malam hari foto itu dicuci dan dicetak, lalu bekas teroris itu meneliti orang yang menampakkan diri lebih dari dua kali dalam foto - orang yang pantas dicurigai. "Lebih dari itu kami juga harus tanggap apakah orang-orang mengamati kelakuan kami. Yah, semacam kebiasaan kami sebelum menembak atau menculik dulu." Para teroris memang punya berbagai cara menghukum kawan yang berkhianat. Patrizio Peci, bekas pentolan Brigade Merah cabang Turin, misalnya, termasuk orang pertama yang memperoleh grasi istimewa. Tak lama setelah ia ketahuan bekerja sama dengan polisi, Brigade Merah menculik Roberto Peci, adik kandungnya. Menahan korban selama beberapa bulan, lalu membabatnya dengan senapan mesin - dan semua tindakan itu direkam dalam kaset video. Film ini lantas disebarkan ke pelbagai penerbitan pers Italia. ITU bukan ganjaran terakhir bagi Patrizio Peci, yang berhasil menjalani operasi plastik untuk mengubah tampangnya. Setelah saudaranya, pacarnya kini mendapat giliran: harus menderita kerusakan otak permanen. Gadis malang itu disekap para teroris, dan selama itu dikompres dan diteror kawanan teroris wanita yang ditugasi khusus. Rekan Sandalo - yang ditemui pula di Genoa Gianluigi Cristiani, melibatkan diri ke dalam gerakan politik revolusioner sayap kiri sewaktu berusia 13 tahun. Waktu itu ia bekerja pada sebuah pabrik tegel yang tak besar. Ayahnya, seorang buruh pabrik, tak sanggup mengongkosinya untuk melanjutkan sekolah. Paida usia ke-16, ketika sudah mahir menggunakan bom molotov dan kunci inggris dalam perkelahian di jalanan, Gianluigi masuk Brigade Merah. "Kehidupan saya sekarang sungguh tak nyaman. Kami diincar dan diburu. Kami harus hati-hati terhadap banyak orang, juga ketika minum-minum di bar," katanya pada Hallenstein. "Saya keluar dari kalangan teroris karena sudah tak percaya lagi. Saya ingin kembali lagi ke masyarakat dan menjalani hidup wajar. Tapi belum juga terlaksana. Orang-orang takut pada pembalasan Brigade Merah. Bahkan teman-teman saya sendiri merasa ngeri, khawatir kalau-kalau ketahllan oleh gang bahwa mereka teman saya." Bekas teroris yang mendapat grasi itu mengisahkan, masih tetap menjalani kehidupan yang selalu sigap dan berirama cepat, seperti dulu. Suatu hal yang dianggapnya menyebalkan: hampir tak ada kontak dengan orang lain. Kencanl tetap dengan satu dua gadis tak bisa lama. Hubungan harus segera diputuskan kalau sudah menjadi akrab, khawatir identitas terbongkar. Seperti meratapi nasibnya, pemuda putus sekolah ini menuturkan perjalanan hidupnya pada Hallenstein "Orang-orang tak mengerti bagaimana rasanya menjadi seorang teroris pada usia 13 tahun. Tidak pernah ke pesta dansa atau piknik ke tepi pantai. Lalu harus menembak orang, dan hidup tidak wajar. Sekarang saya mencoba melupakan masa lalu itu: begitu keluar dari tahanan, lalu mencari pekerjaan. Iyatanya tidak mudah. Saya sungguh tak memiliki harapan apa pun." Sementara itu Carlo Bozzo, bekas anggota eksekutif Brigade Merah, datang dari sebuah keluarga kelas menengah di Genoa yang kekirikirian. Karier teror dimulainya sewaktu berusia 14 tahun. Waktu itu Carlo siswa sebuah sekolah menengah klasik yang top di Genoa. Dalam tahun 1970-an itu para pemuda Italia pada umumnya memang tergila-gila pada Gerakan Mei 1968 Prancis. Di Italia bukan hal aneh kalau anak-anak dari kalangan menengah dan atas melibatkan diri ke dalam gerakan revolusioner sayap kiri ekstrem. Sejak perang penyatuan 1talia pada abad ke-19, sampai gerakan perlawanan pada tahun 1944/45, kalangan menengah dan atas Italia selalu terlibat dalam pelbagai gerakan revolusioner yang ganas. Awal tahun 1970-an juga sebuah periode ketika kelompok pemuda fasis sayap kanan menyerang, dan kadang membantai, kelompok sebaya mereka dari sayap kiri yang kemudian membalas serbuan itu dengan cara yang tak berbeda. Dalam situasi macam itulah Bozzo menjadi anggta pasukan keamanan kelompok politik di sekolahnya. Di situ ia menekuni keterampilan melakukan kekerasan, dan dari situ pula Brigade Merah menilai Bozzo - sampai kemudian menetapkan layak direkrut. Ia sudah 17 tahun ketika itu. "Kekerasan saya mulai dengan menggempur kelompok fasis, bersenjatakan kunci pas dan bom molotov. Lantas ada peningkatan. Pada 1976 kelompok fais main pistol kami pun melakukan hal yang sama. Pada hari-hari itu kami beranggapan, kekerasan dan hantaman ke pihak fasis hampir merupakan tindak keadilan." "Saya menjalani profesi fulltime sebagai teroris Brigade Merah sejak 1979. Pekerjaan yang merepotkan. Antara lain: menunggu seseorang keluar dari rumahnya, padahal tak tahu siapa dia. Menembak orang semacam itu sungguh mendebarkan." Pada akhirnya seorang teroris harus menentukan sikap. Melepaskan diri secara total dari perasaan kemanusiaan dan mempersetankan korban. "Peranan semacam itu disebut profesionalisme dalam tindakan," tutur Bozzo. Dalam pada itu, seorang teroris adalah "alat" yang harus melindungi dirinya sendiri dari semua akibat keganasan yang dilakukannya. Resepnya: harus mengerjakannya dalam tempo secepat mungkin dan dengan cara yang benar-benar efisien. Segalanya harus dilakukan dengan dingin tapi penuh perhitungan, bahkan sampai hal-hal sepele dalam upaya menembak. Ini motto yang disusun Bozzo pada masa menjadi teroris. Ia kemudian mendapat pujian dari atasannya sebagai penembak dingin dan cermat, profesional. Roberto Sandalo dan Gianluigi Cristiani termasuk pula teroris yang mempersetankan nyawa orang ketika mereka membunuh atau melukai korban. Kepada Hallenstein keduanya mengaku, sewaktu melancarkan tembakan, yang dirasakan hanya kebencian - akibat dicekoki keyakinan ideologi. Sandalo berkisah, suatu kali ia bingung tak keruan setelah secara tak sengaja menewaskan seorang polisi lalu lintas dalam suatu perampokan bank. Tapi dari penuturannya tampak, ia bingung dan kaget bukan lantaran sepotong nyawa melayang, tapi karena kok ada kesalahan teknis pada senapannya. Sandalo masih menunjukkan perasaan bangga mengenang masa dinasnya sebagai teroris yang efisien. Sementara itu Bozzo dan Cristiani melihat masa lalwnya dengan perasaan tak keruan, tak pernah mengingatnya sebagai nostalgia atau dengan perasaan bangga yang tersembunyi. Kedua bekas teroris ini agaknya dikecewakan Brigade Merah jauh sebelum mereka ditangkap. Keduanya bahkan sudah pernah mencoba angkat kaki dari kelompok itu. Kini, ketiganya mengaku kecewa bekerja sama dengan polisi. Tapi kekecewaan mereka yang lebih besar sebenarnya terhadap kegagalan grup mereka dulu untuk menggerakkan revolusi. Ada juga alasan-alasan yang bersifat pribadi mewarnai kekecewaan itu. "Saya selalu cekcok dengan atasan saya di Brigade Merah sehubungan dengan asal usul kelas sosial saya," tutur Cristiani. "Saya tak bisa menerima kenyafaan bahwa mereka yang berasal dari keluarga kaya saja yang memegang posisi menentukan di organisasi." Lantas, pada tahun 1979, Brigade Merah membabat Guido Rossa, seorang pekerja pabrik seperti ayah Cristiani. Ia pun menyadari, sifat revolusioner Brigade Merah sudah habis, dan gagal. "Kami telah memenggal hubungan kami dengan golongan rakyat yang mestinya diajak memperjuangkan kehidupan yang lebih baik. Bagi saya, kenyataan itu sangat mengguncangkan," tuturnya. Ia kemudian hanya terlibat setengah hati dalam organisasi. Sepanjang waktu ia mencari akal bagaimana cara keluar. "Dan ternyata saya bukan satusatunya yang mau kabur. Kami memiliki kelompok. Untuk mendapatkan uang guna mengongkosi pelarian ke luar negeri, kami merencanakan menjarah dua bank. Tapi pada 1980 saya tertangkap. Dan sungguh mati, hal itu justru membuat saya merasa tertolong. Aneh, memang." Carlo Bozzo juga telah mencoba lari dari Brigade Merah, beberapa bulan sebelum polisi membekuknya. "Bertahun-tahun," tuturnya, "saya diyakinkan bahwa saya ikut berjuang untuk melahirkan dunia yang lain, demi masyarakat baru yang lebih baik. Tapi perlahan-lahan terungkap perangai kawan-kawan dalam Brigade Meah: ambisi mereka yang picik, yang dibayangi konflik-konflik pribadi yang menjijikkan. Dari situ saya sadar, kalau kami menang, tentunya akan lahir sebuah masyarakat yang sama bobroknya seperti yang ingin kami rombak sekarang." Beberapa bulan sebelum Bozzo ditangkap, suasana dalam organisasi makin menegang. "Saya, waktu itu, membiasakan diri menyelipkan pistol pada saat mengikuti rapat eksekutif Brigade Merah. Untuk jaga diri, kalau-kalau terjadi keributan besar," katanya. Lebih jauh Bozzo menuturkan, "Kami berjuang dalam perang suci yang total tertutup. Sebenarnya kami sekelompok penderita schizophrenia, dikelilingi kehidupan dunia yang memusuhi kami dan sekaligus tak acuh." Dalam sehari, dulu itu, Bozzo harus berganti-ganti identitas. Tunangannya saja tak tahu kehidupannya yang sebenarnya. Bahkan ibunya tak tahu-menahu kegiatannya. Polisi, yang sudah mendapat latihan khusus antiteroris, menghadapi cukup banyak problem menginterogasi orang semacam Bozzo, Cristiani, dan Sandalo, yang kecewa dan sakit hati. Apalagi ketika berusaha meyakinkan mereka agar mau bekerja sama. Kadang-kadang polisi terpaksa menggunakan pendekatan yang brutal dan lembut secara bergantian. Satuan khusus yang telah berhasil membebaskan perwira NATO, Jenderal James Lee Dozier, dari sekapan Brigade Merah pada 1982, mencoba pula ikut menangani - dengan cara menganiaya sebagian teroris yang tertangkap. Biasanya, begitu tanda-tanda mau bekerja sama mulai tampak, pihak interogator menggencarkan pendekatannya yang halus. "Kami tunjukkan pada mereka bahwa kami juga manusia, bukan gergasi ganas yang selalu mereka benci dan mereka takuti," kata seorang perwira polisi. "Kami menggunakan jargon sayap kiri milik mereka. Dan kami mengizinkan pula mereka ngomong berhari-hari, bahkan bulanan, dengan anggota polisi yang sebaya dengan mereka dan memiliki latar belakang sama, sehingga mereka kadang-kadang membina persahabatan yang intim dengan polisi itu." "Tapi, tanpa menawari grasi, rasanya tak mungkin mengajak mereka bekerJa sama. Termasuk jaminan keamanan dari sergapan bekas kawan-kawan mereka dulu dan kesempatan untuk mendapatkan kehidupan baru." Sehabis interviu dengan para penerima grasi istimewa di persembunyian mereka, Hallenstein menyertai Roberto Sandalo pergi ke stasiun utama di Genoa. "Saya amati kesigapannya yang erofesional untuk mengecek ada bahaya atau tidak," tutur si reporter. "Jika mereka membuntuti saya," kata Sandalo, "mereka tak akan langsung membunuh saya. Kemungkinan besar mereka akan menculik saya, dan setidaknya selama sebulan saya akan disekap sebelum akhirnya dibabat. Mereka akan menenggang waktu untuk mendapatkan pengaruh politis, dengan mengabarkan penculikan saya ke media massa." Sandalo dan Hallenstein berjalan menuju sebuah bar di seberang stasiun. Sandalo kelihatan sakit dalam alam bebas. senantiasa diburu rasa takut. Petugas bar yang melayani mereka tentu juga akan panikkalau tahu yang di hadapannya seorang yang paling dibenci dan ditakuti di seluruh Italia. Di luar bar, sambil berjalan menuju stasiun kereta, Sandalo bilang, "Yang paling saya inginkan adalah bekerja. Saya ingin sekali mendapat pekerjaan." Beberapa bulan lalu ia berhasil mendapat kerja pada sebuah perusahaan real estate. Ia bertugas selama enam pekan. Dalam periode itu ia telah berhasil menjual tujuh buah rumah. Toh koran lokal mengetahui siapa ia yang sebenarnya, dan ia pun terpaksa angkat kaki ke kota lain. "Kalau saja pemerintah mau membantu, saya punya kemampuan memimpin. Dalam usia yang masih muda saya telah dimatangkan oleh keadaan. Dulu 200 orang bekerja dengan efisien di bawah arahan saya, sewaktu saya menduduki pos saya dulu di Turin, dalam organisasi teror," katanya. Wajahnya dingin, tak sedikit pun menunjukkan kegetiran atau kesedihan. Mentalnya baja. Maklum, alumnus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini