Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Hingga rapat kerja di DPR RI pada 6 Mei 2021, TNI menyatakan upaya untuk evakuasi badan kapal selam KRI Nanggala-402 masih terus berjalan. Di lokasi KRI Nanggala tenggelam di laut utara Bali pada saat itu disebutkan sudah ada tiga kapal asing dari Cina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Untuk pendeteksian untuk selanjutnya salvage atau evakuasi," kata Kepala Staf TNI AL Laksamana Yudo Margono dalam rapat itu seperti yang videonya bisa disaksikan di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berdasarkan spesifikasi yang disebutkan, satu di antara tiga kapal dari Cina itu (Tansuo-2) memiliki robot berawak yang mampu menyelam hingga kedalaman 10 ribu meter. Kapal itu akan melanjutkan pekerjaan Kapal Swift Rescue dari Singapura, Mega Bakti dari Malaysia, dua kapal perang dengan sonar Australia serta satu pesawat Poseidon milik Amerika Serikat yang telah membantu menemukan lokasi tenggelam KRI Nanggala-402 tersebut.
Kapal selam tua produksi Jerman yang telah berusia pakai 40 tahun itu diketahui karam dan pecah menjadi tiga bagian di kedalaman 838 meter pada 21 April 2021. Sebanyak seluruh 53 awaknya dipastikan tidak ada yang selamat. "Mereka telah kembali ke negara masing-masing pada H+3 temuan," kata Yudo merujuk Swift Rescue dan yang lainnya.
Dua hari sebelumnya, Asisten Perencanaan dan Anggaran (Asrena) Kepala Staf TNI Angkatan Laut, Laksamana Muda Muhammad Ali, menerangkan bahwa baru beberapa bagian kecil dari KRI Nanggala-402 yang sudah berhasil diangkat. Untuk badan kapal, lanjut Ali, memerlukan pengait untuk diikatkan ke Nanggala.
Kemungkinan, kata dia, pengait akan dicantolkan kepada penyelam yang menggunakan peralatan khusus menyelam di kedalaman 838 meter. "Nah ini agak sulit, mungkin akan dibantu robot untuk pasang itu," ujarnya sambil menambahkan tak ada batas waktu yang ditetapkan untuk evakuasi kapal selam bertorpedo tersebut.
Penampakan gelombang bawah laut (internal waves) yang menjalar dari Selat Lombok. Gelombang ini yang disebut TNI AL kemungkinan menyebabkan Kapal Selam NRI Nanggala-402 tenggelam di perairan utara Bali setelah dinyatakan hilang kontak Rabu 21 April 2021. (Sumber: nasa.gov)
James Goldrick, profesor tamu bidang strategi dan kebijakan angkatan laut dan maritim di Australian National University, menilai upaya evakuasi itu mungkin saja dilakukan. Amerika Serikat pernah melakukannya dalam misi rahasia berkode Azorian pada 1974, mengangkat bagian besar dari kapal selam nuklir Soviet dari dasar laut yang disebutnya lebih dalam daripada posisi KRI Nanggala saat ini.
Meski begitu, Goldrick berpendapat, mengangkat logam kapal selam 1.300 ton dari kedalaman lebih dari 800 meter ke permukaan bukan perkara mudah. Selain pasti sangat mahal.
"Mungkin akan lebih baik bagi Angkatan Laut Indonesia, dengan sumber dayanya yang terbatas, membelanjakan anggaran evakuasi itu untuk hal lain yang lebih bermanfaat, termasuk untuk kepentingan empat kapal selam yang masih ada," katanya dalam artikel di Marine Link, 3 Mei lalu.
Terlebih, Goldrick menambahkan, tidak ada jaminan penyebab pasti tragedi KRI Nanggala-402 bisa terungkap. Kapal selam, dia menerangkan, adalah mesin yang besar dan kompleks. Sistem black box seperti yang ada pada pesawat terbang pun disebutnya tak akan bisa mencakup seluruh problem yang mungkin muncul di Nanggala.
Pendekatan terbaik, menurut sang guru besar, adalah menelisik video bangkai kapal selam itu disertai pemetaan yang lebih mendetail dari situs lokasi serta seluruh sebaran serpihannya di dasar laut. "Dipadukan dengan evakuasi secara selektif komponen tertentu saja, ini akan bisa menyediakan beberapa jawaban," kata dia.
Penemuan KRI Nanggala yang begitu cepat--ditemukan tiga hari setelah dinyatakan submiss, tak jauh dari lokasi kapal selam itu terakhir terlihat--diduga Goldrick pertanda masalah, apapun itu, terjadi saat Nanggala mulai menyelam. Dia membandingkan dengan setahun masa pencarian San Juan, kapal selam Argentina yang tenggelam bersama 44 awaknya di Samudera Atlantik pada 2017 lalu.
Menurut Goldrick, tidak mungkin untuk bisa langsung mengetahui apa pemicu masalah di Nanggala saat ini. Pemicu, dia menganalisa, bisa beragam termasuk kegagalan mekanis atau material yang membimbing kepada air laut membanjiri satu atau lebih kompertemen dalam kapal selam. "Tak perlu kehilangan banyak daya apung (buoyancy) bagi sebuah kapal selam untuk bisa kehilangan kendali atas kedalaman," katanya.
Atau, penyebab lain, bisa saja kebakaran. Ini adalah yang paling dicemaskan para awak kapal selam. Lainnya adalah human error. "Tapi awak kapal selam sudah sangat terlatih dan memiliki SOP yang ketat. Kegagalan material adalah penyebab yang paling mungkin," katanya menduga-duga.
KRI Nanggala-402 dikabarkan hilang kontak di perairan utara Bali, Rabu pagi, 21 April 2021. Kapal selam buatan Jerman tahun 1981 itu diketahui merupakan armada pemukul milik TNI Angkatan Laut (AL) kelas Cakra yang berada di bawah kendali Satuan Kapal Selam Komando Armada RI Kawasan Timur. TEMPO/Fahmi Ali
Apapun pemicunya, tragedi KRI Nanggala-402 tak terhindari begitu dia melewati batas kedalaman selamnya. Seperti diketahui kapal selam sekelas Nanggala memiliki batas kedalaman 260 meter. Lebih dari itu dikenal sebagai crush depth dan risiko kapal akan pecah meningkat dengan cepat ketika terjerumus semakin dalam.
Pada kedalaman 800 meter, kapal selam KRI Nanggala-402 tak memiliki peluang untuk bisa tetap utuh.