Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kera besar nenek moyang siapa ?

Tulang belulang kera raksasa atau gigantophitecus ditemukan di tham khuyen, vietnam. diteliti tim as untuk mencari asal-usul manusia. para ahli cina menduga, gigantophitecus nenek moyang yeti. (ilt)

13 Desember 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari seratus tahun lalu, Charles Darwin mengawali sebuah perdebatan panjang yang terus bergaung sampai kini. Bukunya, The Origin of Specis, yang mengemukakan teori evolusi telah melahirkan tafsiran keras: manusia adalah hasil proses evolusi kera -- kendati Darwin tak bicara setegas itu. Betulkah kita keturunan kera? Pertanyaan masih mengusik baik bagi awam maupun para ilmuwan. Karena itu, berita tentang ditemukannya fosil baru senantiasa merangsang pemburuan. Pekan ini, salah satu rangkaian perburuan itu kembali dilakukan. Dua antropolog Amerika Serikat, awal bulan ini, mendapat izin pemerintah Vietnam untuk meneliti tulang belulang kera raksasa atau gigantophitecus yang ditemukan di Tham Khuyen, Provinsi Langson -- yang terletak di utara negeri itu, dan berbatasan dengan Provinsi Gauanxi, Cina. Kedua ahli itu, Dr. John W. Olsen dari Universitas Arizona dan Dr. Russell L. Ciochon dari Universitas California, Berkeley, menyatakan sangat gembira mendapat izin yang ditunggu-tunggu tersebut. Buruknya hubungan AS-Vietnam sesudah Perang Vietnam telah menghambat niat meneliti kedua ilmuwan itu selama tiga tahun. "Pertama kali kami mendengar tentang kawasan peninggalan itu di tahun 1983," ujar Olsen. Berita itu didapat Olsen dan Ciochon dari beberapa antropolog Vietnam, ketika kedua ahli AS itu sedang membuat penelitian di Cina. Situs di Provinsi Longson itu, menurut para antropolog Vietnam, ditemukan secara kebetulan ketika dilakukan penggalian bahan pupuk. Apakah yang telah ditemukan? Para antropolog Vietnam itu mengutarakan, tim paleontologi Uni Soviet sudah lebih dulu melakukan penelitian, tapi tak pernah dipublikasikan. Di Tham Khuyen, tim Soviet menemukan rahang gigantophitecus yang dikenal sebagai primata (makhluk menyusui paling utama) terbesar -- tingginya 3 meter dan beratnya mencapai 300 kilogram. Di situs itu, ditemukan pula peninggalan pithecantropus erectus, awal manusia modern, primata yang rupanya mirip kera tapi berdiri tegak. Yang penting pada penemuan baru di Tham Khuyen justru bukan penemuan fosil pithecantropus erectus, yang merupakan nenek moyang manusia. Sisa-sisa awal manusia modern sudah lama ditemukan di mana-mana. Di antaranya ditemukan di Indonesia, di tepi Bengawan Solo. Karena itu, nenek moyang manusia ini dikenal pula dengan nama pithecantropus erectus soloensis. Dari hasil penemuan ahli Uni Soviet yang disampaikan para antropolog Vietnam itu, yang menarik perhatian adalah untuk pertama kalinya fosil gigantophitecus dan pithecantropus erectus ditemukan bersamaan di suatu tempat. Kenyataan ini diharapkan bisa menjawab pertanyaan: Benarkah teori yang menyebutkan manusia keturunan kera? Di samping itu, rahang gigantophitecus juga merupakan penemuan penting. Selama ini temuan gigantophitecus yang digunakan untuk menduga ukuran dan bentuk primata itu hanyalah gigi-gigi yang tak lengkap. Penemu pertamanya seorang ahli paleontologi Belanda, G.H.R. von Koeningswald, di tahun 1935. Menurut ahli paleontologi dan bekas Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Teuku Jacob, isu perihal gigantophitecus memang berawal dengan ditemukannya gigi-gigi primata itu di toko-toko obat di Hong Kong, 51 tahun lalu. Penemunya antara lain seorang ahli Kanada bernama Blacki -- yang menemukan 1.000 gigi. "Karena itu, kera raksasa pemilik gigi itu dinamakan gigantophitecus blacki," kata Jacob. Dalam penelitian selanjutnya, kata Jacob, gigi-gigi sejenis ditemukan pula di Bilaspore, India. Penemuan yang lebih baru ini ternyata tidak memperjelas kedudukan kera raksasa gigantophitecus, karena terdapat perbedaan usia peninggalan yang cukup jauh. Yang ditemukan di Hong Kong diduga berusia sekitar 500.000 tahun, sementara yang ditemukan di Bilaspore, India, berasal dari zaman 3 juta tahun lalu. Dari hasil penemuan yang miskin mengenai gigantophitecus muncul teori yang berpendapat bahwa pithecantropus erectus dan juga manusia berasal dan kera raksasa yang diduga hidup di Zaman Pleistosin, yaitu sekitar 3 juta sampai 100.000 tahun lalu. Hasil penelitian yang samar dalam menentukan usia peninggalan kera raksasa itu telah menimbulkan kontroversi, karena panjang pendeknya perbedaan waktu antara gigantophitecus dan pithecantropus erectus sangat menentukan masa evolusi. Bila perbedaan itu pendek, sulit untuk mengatakan manusia adalah keturunan gigantophitecus. Namun, di sisi lain, hasil berbagai penyelidikan yang tidak lengkap masih percaya gigantophitecus musnah jauh sebelum pithecantropus erectus muncul. Prof. Teuku Jacob cenderung taka percaya manusia berasal dari gigantophitecus yang berevolusi. Ia lebih condong memegang teori yang percaya manusia berasal dari Ramapitecus, yang bentuknya lebih kecil dari gigantophitecus dan hidup jauh lebih dahulu dari kera raksasa itu, yaitu antara 7 dan 4 juta tahun lalu. Dasar pendapat yang diyakini Jacob, kera raksasa gigantophitecus hidup bersamaan dengan nenek moyang manusia. Pendapat ini agaknya akan mendapat tunjangan baru melalui peninggalan di Tham Khuyen. Sebab, para ahli paleontologi Soviet menemukan ada tanda-tanda yang menunjukan nenek moyang manusia yang lebih telah memusnahkan gigantophitecus. Dr. Pavel Boriskovsky dari tim Uni Soviet itu memperkirakan peninggalan yang ditemukan di Tham Khuyen berusia antara 1,5 juta tahun dan 100.000 tahun lalu. "Pernyataan ini membuat kami sangat penasaran," ujar Olsen. "Kami yakin, tim Uni Soviet itu telah menemukan sesuatu yang sangat penting tapi tidak memiliki keahlian untuk memastikannya." Dengan meneliti peninggalan di Vietnam itu, Olsen mengharapkan bisa menemukan bukti yang meruntuhkan sama sekali pendapat bahwa pithecantropus erectus adalah hasil proses evolusi dari gigantophitecus. Ia sendiri memperkirakan, kera raksasa dengan tinggi 3 meter itu musnah sekitar 300.000 tahun lalu. Prof. Teuku Jacob cenderung berpendapat sama. "Bisa dibayangkan, 500.000 tahun lalu bentuknya begitu besar, sekarang jadi kecil-kecil," katanya. "Proses evolusi tak mungkin membawa perubahan begitu besar dalam waktu begitu singkat." Kendati berharap akan bisa membuktikan banyak hal, Olsen tak yakin bisa menemukan banyak peninggalan gigantophitecus di Vietnam. Ia berpendapat, nenek moyang manusia telah memusnahkan kera raksasa itu habis-habisan. Pola pemusnahan ini terlihat pada situs pithecantropus erectus di Afrika. Manusia awal berbentuk kera itu telah memusnahkan sejenis binatang raksasa lainnya dengan jalan memakannya habis, kecuali rahang dan gigi-giginya. Maka, tidak aneh bila tim ahli Uni Soviet hanya menemukan rahang kera raksasa itu di Tham Kuyen. Akhirnya, Olsen berharap akan bisa membuktikan pendapatnya, gigantophitecus adalah primata yang musnah dan tidak mempunyai keturunan. Ia bahkan bukan nenek moyang orang utan, gorila, atau simpanse. "Namun, para ahli Cina berkeyakinan, gigantophitecus masih mempunyai keturunan di masa kini," ujar Olsen. "Keturunan itu adalah Manusia Yeti, yang hidup di padang es Pegunungan Himalaya." Jim Supangkat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus