PRESIDEN Richard Nixon pergi sendirian, diam-diam, ke Camp David. Sesampai di sana, langsung naik ke atas bukit dan duduk di batu besar. Sang presiden bermaksud berdialog dengan Dewa. Oh, Dewa, musibah apa yang engkau timpakan ke kepala hamba? Musibah apa, Richard? Bukankah kamu sudah aku bantu memenangkan pemilu disertai pesan wanti-wanti jangan main curang? Apanya lagi yang masih kurang? Itu, lho, Dewa, kasus Watergate dengan segala rupa pemberitaan pers yang bikin kepala pening, penyelidikan Senat yang tak habis-habisnya. Bukankah saya sudah menyetop Perang Vietnam, sudah melenyapkan kemiskinan, sudah menindas bandit di jalanan, sudah menghalau polusi? Kenapa, sih, soal kecurangan pemilu saja diuber-uber? Tolonglah hambamu ini, Dewa. Kamu bandel, sih, kata Dewa. 'Kan sudah kuperingatkan jangan bawa gombal-gombal itu ke sampingmu. Mereka itu lebih mirip pencoleng dari pembantu. Bahkan pernah kutelepon kamu, mau bilang langsung, tapi pembantumu Ehrlichman dan Haldeman itu tampaknya menghalang-halangiku. Mendengar itu Richard Nixon melongo. "Masya Allah, mereka tak pernah lapor ada telepon dari Anda. Terlalu. Gegabah." "Bahkan sesudah itu masih kucoba kirim kawat supaya kamu cepat menghubungiku," kata Dewa. "Itu pun tak pernah disampaikan kepadaku. Satu-satunya kawat yang saya terima cuma waktu Anda mendukung pengebomanku atas Vietnam." "Begitulah model pembantu-pembantumu itu, Richard." Sambil menjambak-jambak rambutnya, Nixon mencari akal, apa usaha terakhir upaya bisa lolos dari kemelut. Tingkat kegawatan sudah begitu rupa, satu-satunya penolong adalah uluran tangan Dewa. Sang presiden mulai membujuk. "Agar saya bisa lolos dari skandal, apa saya perlu menyerahkan korban kepada Anda?" "Siapa yang kamu jadikan korban, Richard?" Jeb Magruder, Richard Kleindienst, John Dean III." "Terus?" "John Mitchell juga boleh." "Terus?" "Saya bisa tambah Haldeman dan Ehrlichman. Pokoknya, saya ikhlas korbankan mereka, asal saya sendiri bisa lolos." "Begini, Richard. Sekuat tenaga, aku mau tolong, tapi kalau minta yang masuk akal, dong. Jangan mengharap keajaiban," kata Dewa. Betul juga, sesudah itu Richard Nixon terpelanting. Telepon berdering di kamar kerja Presiden Ronald Reagan. Disangka dari Penasihat Keamanan Nasional John Poindexter. Ternyata dari kolumnis Art Buchwald. "Kata anakku, Anda tadi menelepon, Ron? Aku kebetulan lagi ke dokter hewan, kucingku si Genit lagi pilek. Ada yang bisa kutolong?" "Ah, cuma mau tanya sedikit. Kalau mau sowan Dewa, apa mesti naik bukit?" "Dulu memang begitu, sekarang tidak. Anda bisa melakukannya dari tempat tidur, asal Nancy menyingkir dulu. Ada apa lagi, sih?" "Ruwet, Mas. Pembantuku ternyata kecil nyalinya, sehingga kritikan langsung ke diriku. Aku jadi merasa terpencil, untung ada hiburan si Bonco, monyet simpanse yang kubawa dari Hollywood tempo hari, ingat?" "Tentu. Bahkan aku masih ingat monyet jahanam itu main-main komputer hingga Andropov terhina, dan Anda segera minta maaf. Ngomong-ngomong, apa Khomeini tidak membantumu?" "Bantu? Boro-boro bantu, malah dia mengejekku. Brengsek betul orang gaek itu." "Sabarlah. Siapa tahu subversi Anda di Nikaragua bisa menggulingkan rezim kiri Sandinista hingga Daniel Ortega kapok." "Mudah-mudahan. Doain aku, ya?" kata Reagan. "Tentu. Lagi pula, Anda bukan presiden AS pertama yang bikin subversi di negeri orang. Pendahulu Anda, Dwight Eisenhower, juga bantu pemberontak di Indonesia, bukan?" "Tapi kedodoran!" sela Reagan. "Soal kedodoran, sih, soal lain. Namanya saja usaha, bisa gol bisa kapiran," ujar Art Buchwald sambil meletakkan gagang telepon, dan langsung naik ke tempat tidur. Kucingnya yang pilek sudah tidur lebih dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini