ADAKAH risiko takut hantu? Ada, kata orang Desa Kebun, Kecamatan Kamal, Madura, kini. Yakni, bisa ditahan. Contohnya, Kodim, warga desa, yang akhir November lalu meringkuk di dalam tahanan. Inilah ceritanya. Dua orang yang berteman, suatu malam di hari kejadian berjalan pulang. Tiba-tiba, sesampai mereka di jalan setapak. "Hantu," teriak Amli. Temannya, Kodim -- namanya memang begitu -- tanpa pikir panjang langsung menyabetkan celuritnya pada sosok yang bergerak-gerak di bawah pohon turi. "Ada gendruwo," teriak keduanya sambil lari terbirit-birit. Tidjan, yang rumahnya tak jauh dari tempat kejadian, mendengar suara erangan, dan celotehan yang tidak dimengertinya. Tentu, itulah hantu. Merasa ngeri sendirian menghadapi hantu, ia lalu membangunkan tetangga lainnya. Baru setelah terkumpul beberapa penduduk Desa Kebun, Tidjan menuju tempat suara. Orang-orang itu ingin menyaksikan hantu yang selama ini dipercayai menghuni sepanjang jalan setapak yang membelah kebun jagung di desa itu. Benar, ada sesosok wujud, putih, Tapi, lho, hantu kok mirip manusia? Memang, ini tidak mirip orang Madura atau Indonesia, tapi pokoknya manusia. Manusia putih itu mengerang dan menunjuk-nunjukkan kakinya yang kena celurit. Singkat kata, manusia "hantu" itu kemudian diangkut ke RSU Bangkalan. Baru kemudian diketahui lebih jelas, manusia itu bernama Erick Marty, berumur 37 tahun, turis dari Prancis. Marty, seorang pengantar pos di negerinya, akhir November lalu berkelana di obyek-obyek wisata Bangkalan. Seorang diri ia berjalan. Di hari ia dicelurit Kodim, karena lelaki yang suka bertualang ini kemalaman, sementara ia tak berani mengetuk pintu rumah penduduk, untuk numpang istirahat. "Mestinya tak ada yang mengerti bahasa Prancis dan Inggris di tempat terpencil ini," katanya -- setelah diterjemahkan. Lalu ia memutuskan memilih tempat sunyi di bawah pohon turi di jalan setapak itu kira-kira 30 meter dari jalan raya. Ia membungkus diri dengan tas-tidur, lalu memejamkan mata, dan seterusnya. "Hantu Putih" itu kini dirawat di RSUP Dr. Soetomo, Surabaya, diurus oleh konsul Prancis di kota itu. Marty ternyata menerima semua ini dengan bijaksana. "Saya tak marah, tidak apa-apa, saya tetap suka Indonesia," katanya. Merci, Monsier, maafkan Kodim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini