Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Kini, serat optik di Jakarta

Indonesia mulai memakai kabel serat optik untuk telepon, jauh lebih baik dari kabel tembaga. perusahaan pribumi tidak usah takut karena pemerintah hanya memakai 10% dari kebutuhan kabel seindonesia.(ilt)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJAK zaman ketok kawat dan telepon engkol, kabel tembaga merupakan andalan utama yang menghubungkan pesawat satu dengan lainnya. Kini jaringan telekomunikasi di seluruh dunia tetap menggunakan kabel tembaga itu. Hanya sejak beberapa tahun terakhir, mula-mula secara eksperiment kemudian secara komersial, di berbagai negeri mulai dipergunakan kabel yang terbuat dari bahan kaca, optical fibre atau serat optik (TEMPO, 22 Maret 1980). Sejak awal bulan ini teknologi baru itu juga hadir di Indonesia. Jaringan serat optik itu menghubungkan STO (Sentral Otomat) Gambir dengan STO Jatinegara 11 di Jakarta sepanjang 7,8 km. Sistem itu mulai dioperasikan 7 Oktober lalu. Seluruh jaringan serta pemasangannya merupakan sumbangan Phillips Telecomunicatie Industrie BV dengan NFK Kabel BV, dua perusahaan yang bernaung dalam kelompok Phillips, raksasa industri elektronika dari Negeri Belanda. "Instalasi itu kami berikan secara donasi," ujar G. Vos dari Phillips Indonesia. "Biaya operasinya selama setahun pun kami tanggung." Jika Perumtel dalam rencana perluasannya mau mempergunakan kabel serat optik berarti tak perlu lagi membuat terowongan baru seperti jika memakai kabel tembaga. "Cukup menyelipkan kabel serat optik itu di sela kabel tembaga dalam terowongan yang sudah ada," kata Ir. Henny Huisman, konsultan pada NFK Kabel. Perbedaan antara kabel tembaga konvensional dengan kabel serat optik memang sangat menyolok. Diameter kabel tembaga sekitar 6 cm dengan berat hampir 12 ton per kilometer. Kabel seperti ini mampu menyalurkan sekaligus 1.200 percakapan telepon. Tapi kabel serat optik yang berdiameter hanya 8 mm--seperti yang dipasang baru-baru ini di Jakarta -- mampu menyalurkan sampai 3.840 percakapan sekaligus, sementara beratnya hanya sekitar 70 kg per kilometer! Karena berat, kabel tembaga tersedia dalam potongan 300-400 m, terdiri dari 4 000 helai kawat. Artinya untuk setiap jarak 10 km, setiap helai kawat perlu disambung 25 kali. Suatu pekerjaan yang jelimet dalam ruang kerja yang sempit seperti manual. "Gangguan telepon seperti salah sambung atau terdengar suara orang lain, kemungkinan terjadi karena salah sambung di manual di bawah jalan itu," ujar Ir. Huisman. Sementara kabel serat optik yang dipasang antara Gambir dan Jatinegara hanya terdiri dari 4 helai serat kaca, dengan panjang setiap potongan sekitar 1.000 m. Jadi dalam 10 km hanya diperlukan 10 kali 4 sambungan! Pada saat ini, dari empat helai serat optik hanya dua helai yang dipergunakan untuk menyalurkan 480 percakapan telepon sekaligus. Jika kelak lalu-lintas percakapan meningkat, dua helai lagi bisa diaktifkan untuk 480 percakapan lagi. Bahkan sistemnya bisa juga ditingkatkan hingga mencapai kapasitas maksimum, yaitu dua kali 1.920 percakapan aral 3.840 percakapan sekaligus! Dalam jarak yang sama, ini berarti lebih 3 kali lipat kemampuan kabel tembaga, sementara diameternya 10 kali lebih kecil dan berat kabel bahkan 170 kali lebih ringan! Keuntungan lain dari kabel serat optik ialah karena hambatannya relatif rendah, hingga tidak banyak diperlukan repeater (peralatan penguat isyarat) dalam jaringan. Cukup setiap 20 km. Dalam jarak 7,8 km antara Gambir dan Jatinegara, tidak diperlukan repeater itu. Sebaliknya pada sistem kabel tembaga karena isyaratnya cepat melemah, setiap 3-4 km dibutuhkan sebuah repeater. Perbedaan yang lebih pokok: dalam sistem kabel serat optik, isyarat listrik (dalam sistem kabel tembaga) diubah menjadi isyarat cahaya melalui dioda pemancar cahaya atau laser semikonduktor. Pada ujung penerimaan, semua isyarat cahaya itu kembali diubah menjadi isyarat listrik dan selanjutnya melalui sistem konvensional sampai pada pesawat pelanggan. Repeater dalam sistem serat optik itu juga menggunakan prinsip ini. Isyarat cahaya diubah jadi isyarat listrik. Setelah diubah kembali menjadi isyarat cahaya dikirim melalui segmen kabel optik berikutnya. Saat ini para ahli meneliti kemungkinan untuk meniadakan tahap pengubahan itu dan yang diperkuat isyarat listrik itu sendiri. Selain itu, kabel serat optik kebal terhadap pengaruh electromagnetis. Karena itu kabel serat kaca ini kalau dipakai untuk pesawat radio & TV, tidak akan ada storing atau gambar kacau di pesawat TV. Begitu pula untuk penerimaan siaran TV di balik gunung, dapat ditolong oleh kabel serat optik-TV tak perlu lagi memasang stasiun transmisi di puncak gunung, cukup memasang kabel serat optik dari stasiun terdekat ke stasiun relay di pemukiman di balik gunung itu. Apakah pengaruh pemakaian kabel serat optik terhadap perusahaan kabel tembaga di Indonesia? "Jangan takut bahwa kami akan mematikan perusahaan kabel pribumi. Kalau Perumtel mau pasang 1,25 juta saluran baru, saya yakin tak mungkin semua perusahaan kabel di Indonesia mampu menyediakan," jawab Huisman. "Kemungkinan tak akan sampai 50% kabel itu dapat disediakan perusahaan perusahaan kabel lokal. Sedangkan kabel serat optik kalau mau dipakai pemerintah, paling cuma mengambil jatah 10% dari kebutuhan kabel seluruh lndonesia," tambahnya. Sistem kabel serat optik telah dipasang Phillips & NIF, selama ini antara lain di Nederlands, Jerman, Arab Saudi, Taiwan, Meksiko dan Denmark. Di luar Phillips & NKF, ada pula saingan dari AS, Jepang, Swedia. American Telepho?e & Telegraph Company (AT & T), misalnya mengklaim proyek optical fibre cablenya yang terbesar di dunia, yakni panjang 4.000 km untuk Britisb Post Office (PTT Inggris). Proyek ini selcsai tahun 1982 ini dengan biaya ? 5 juta (Rp 7,5 milyar). Di AS sendiri AT & T sedang memasang jaringan sepanjang 963 km menghubungkan Washington-Boston, dan New York-Connecticut. Jepang pun lewat NEC (Nippon Electric Company) sudah memproduksi kabel serat kaca ini. Pasarannya selain untuk PTT Jepang, juga mulai dipakai di Amerika Latin, antara lain di Rio de Janeiro (Brazil). Cina tidak mengimpor instalasinya, tapi mengimpor informasi teknis melalui misi dagang asing dengan Jepang, lalu membuat sendiri. Antara lain telah dipasang sendiri oleh Cina di Beijing dan Hunan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus