Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Puncak-puncak salju kilimanjaro

Kisah pendakian john reader di puncak gunung kilimanjaro, afrika timur, untuk mencapai titik macan tutul (menurut novel ernest hemingway "salju-salju kilimanajaro. (sel)

23 Oktober 1982 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ERNEST Hemingway, dalam novelnya 'Salju-Salju Kilimanjaro', bilang: "Dekat ke puncak barat, ditemukan bangkai macan tutul yang telah mengering dan membeku. Tak seorang pun dapat menjelaskan apa yang dicarinya di ketinggian itu." Ketika suatu saat penulis karangan ini, John Reader, belum lama berselang berkunjung ke Kilimanjaro, ia membawa serta dua potong kalimat Hemingway itu. Dan akibatnya ia ditertawakan Simon teman seperkunjungan. "Jika seekor sapi saja mati tujuh tahun lalu, kau kira masih ada makhluk hidup lain yang kuat bertahan?" tanya Simon. "Dan kapan macan-macan tutul itu konon ditemukan? 1926? Lebih 50 tahun yang lalu! Masih ingin mendaki terus untuk menemu kannya? " Dengan tawa bersisa, Simon melangkah ke balik bayang-bayang lereng kawah yang nyaman, menghindar dari matahari dan angin. Pada ketinggian 19 ribu kaki (5.900 meter) seperti di kawah "Kilimanjaro mata seseorang memang terus-menerus berusaha menemukan tempat berlindung. Dorongan untuk istirahat selalu datang: tidur barang sepicing, umpamanya, untuk menghindar dari angin, udara yang tipis, juga dari usaha ngotot yang sia-sia. Beberapa hari sebelumnya, pada ketinggian yang jauh lebih rendah, Reader, seperti dituturkannya kemudian dalam majalah Smithsonian, mulai merasakan keletihan yang makin meningkat--dan mulai menghitung-hitung kemampuannya. Karena itu ia pun benar-benar menerapkan jadwal istirahat pada jangka tertentu. "Untuk Titik Macan Tutul (demikian ia menamakan puncak itu) prinsip ini sangat sesuai," tulis Reader. Kawah di puncak itu sendiri menjanjikan pendakian yang sulit -- seperti yang dikemukakan Simon. Karena itu Simon pagi-pagi sudah menyatakan tidak akan ikut dalam perburuan macan tutul yang sudah mati setengah abad yang lalu. Hemingway, seperti yang dikisahkan dalam novel terkenalnya itu, mengaku menemukan almarhum macan tutul itu di sana. Tapi sebenarnya tak ada catatan bahwa pengarang besar itu berhasil mendaki pegunungan untuk membuktikan di sana benar-benar ada mayat macan yang mati membeku. "Sementara itu ia sudah membuahkan karya yang besar," kata Reader. Dan meninggalkan pertanyaan yang merangsang keinginan tahu: apa yang dicari macan tutul di ketinggian itu? Apa, coba! *** Kilimanjaro adalah gunung yang perkasa. Jarang ada yang menjulang tinggi secara sendirian begitu. Tinggi 19 ribu kaki, gunung berapi itu berdiri kukuh di dataran yang 'hanya' setinggi 2.500 kaki dari muka laut. Ia mulai 'tumbuh' beberapa juta tahun yang lalu, dari suatu proses geologi yang membentuk lembah-lembah dan pegunungan Afrika. Ada tiga kepundan utama di sana. Erosi telah mengikis yang satunya, Shira, yang terletak di sebelah barat-menjadi dataran terbuka dilingkung bukit-bukit yang sebelumnya merupakan lingkaran kawah. Mawenzi, di sebelah timur, belakangan tidak aktif. Kendati sebagian onggokan kerucutnya telah rompal, bagian intinya masih berdiri dalam bentuk tiang penuh gerogotan, tampak rapuh dan menyeramkan. Kibo adalah satu-satunya kepundan yang masih aktif. Tumbuh di bahu Shira-Mawenzi--dan itulah puncak Kilimanjaro, kerucut yang hebat sekali, indah dimahkotai lapisan es. Hanya 1% mil persegi memang--dibanding 5,8 juta mil persegi lapisan es yang menyelaput permukaan bumi. "Namun itulah gejala alam yang penuh magi," komentar Reader. Dan suatu misteri yang agaknya sangat tidak sesuai dengan keadaan setempat, yang hanya tiga derajat di khatulistiwa. "Bertahun-tahun setelah penemuannya, justruorang-orang pintar Eropa menolak mempercayai adanya puncak es itu sebagai suatu kenyataan." Dikagetkan oleh ketetapan hatinya sendiri, Reader meninggalkan rekannya Simon yang terkantuk-kantuk. Ia melangkah menuju selatan, ke arah tempat yang bernama Johannes Notch. Di sini pendakian ke Titik Macan Tutul tidak begitu curam ketimbang melalui potong kompas. Kendati ia tahu Simon mungkin benar, dan bahwa bangkai beku macan tutul itu boleh jadi sudah lama lenyap, Reader tetap pada tekadnya. "Saya tetap dirangsang harapan bahwa saya akan menemukan suatu bukti macan mati itu-sepotong tulang, sebiji gigi," katanya. "Bahkan jika semua itu tak ada, 'kuingin melihat tempatnya mati." Kawah itu berdiri di atas karangkarang yang longgar. Dindingnya mencuat tak beraturan--karang-karang tajam menyeramkan. Berwarna cokelat, lempeng-lempeng dindingnya diberarti salju dan teras-teras es glasial. Matahari bersinar dengan garangnya, angin menikam tajam, udara begitu tipisnya, sehingga setiap tapak langkah memerlukan tarikan napas yang dalam. Kepala memberat, jantung berdegup kencang. Perut kosong mengundang lapar, tapi bau makanan memancing mabuk. "Sejumlah makhluk dapat saja hilang begitu saja di Kilimanjaro ini, tdnpd suatu kekuatan penyelamatan dari luar mampu menolongnya," kata yang empunya kisah. Mereka memiliki sebuah tenda, sleeping bag (kantung tidur), kompor, bahan bakar, makanan. Namun, kata Reader, rangsangan dan semangatlah yang merupakan 'komoditi' yang paling penting--padahal justru ini yang paling sulit dipertahankan. Di sekitar Johannes Notch ia mulai mendaki, mengambil pintasan yang mudah menuju ke lingkaran kawah. Dinding kawah setinggi 100 kaki-dan Titik Macan Tutul sekitar 500 kaki, di utara. "Kutemukan tiga kaleng berkarat tersembunyi di antara karang, satu kosong, yang lain penuh minyak tanah," ia melaporkan. Di suatu dataran sempit dekat batu karang--pertanda puncak Titik Macan Tutul--ditemukannya sebuah lempeng berlapis seng sebesar talam. Benda itu di tengahnya berlubang, yang mungkin dibuat orang untuk keperluan tertentu. Tapi tak ada tanda-tanda pernah didirikan sebuah pos atau perkemahan di sana. Tidak juga ditemukan sesuatu yang berhubungan dengan Macan Tutul. Tidak sepotong tulang, sebiji gigi --juga tidak sepatah kata di "talam", yang memberi petunjuk itulah bekas lokasi matinya macan tutul. "Hanya sepotong metal itu, dan pemandangan menyeramkan dari retuntuhan volkanis penuh lapisan es serta siraman matahari yang sedang tenggelam. Sungguh terpencil entah di mana." Ia terduduk di situ beberapa menit. Tak ditemui kunci pemecahan. Misalnya, ngapain macan tutul itu tersasar di ketinggian sana. Tapi yang jelas, apa pun alasan yang mendorong binatang celaka itu ke situ, tempat itu merupakan suatu akhir-kemajuan yang mungkin dicapai 'seorang' makhluk. Itulah batas akhirnya. Macan itu terpaku membeku di situ, dan mati. *** Anehnya, Kilimanjaro terselubung rahasia dan mithos melebihi ketinggiannya Terpisah dari mahkota esnya yang gemerlapan, gunung itu, di atas segala-galanya, tegak setinggi hampir empat mil dan sejauh 180 mil dari pantai Afrika Timur. Nah, padahal di pantai ini, dulu pernah berlangsung perdagangan yang ramai oleh orang-orang Phoenisia, Yunani, Arab, Cina, Portugis, Inggris dan Prancis. Pada hari yang cerah, Kilimanjaro dapat terlihat dari jarak 100 mil, tapi oleh berbagai sebab, puncak Afrika yang gemerlapan itu rupanya tak dapat menjerat perhatian para pengembara kuno itu. Tak ada disebut dalam kitab-kitab lama. Gunung tertinggi di Afrika itu tetap tak dikenal dunia luar. Sampai datangnya seorang misionaris Jerman, Johannes Rebmann, yang menatapnya pertama kali di bulan Mei 1848. Dari bahasa setempat ia mengetahui bahwa Kilimanjaro berarti 'gunung agung' atau 'gunung kafilah'--kendati asal mula kata itu sendiri masih tetap diperdebatkan Laporannya diterbitkan di London setahun kemudian, dan menimbulkan heboh berkepanjangan dikalangan para ahli ilmu bumi. Gunung yang ternyata cukup tinggi untuk menangkap salju itu tegak di pantai Afrika Timur. Ini mendukung pe ndapat sementara ahli bahwa Sungai Nil berhulu di kawasan timur benua hitam itu. Kilimanjaro adalah sumber air Sungai Nil, kalangan itu berpendapat. Sebaliknya, para penentang mencanangkan bahwa sumber Nil adalah sebuah danau di jantung benua. Akhirnya golongan inilah yang terbukti benar. Toh adanya caping salju di puncak Kilimanjaro akhirnya memperoleh "pembenaran dunia". Tiga belas tahun setelah Rebmann melihatnya, sebuah ekspedisi berangkat ke sana--dipimpin seorang yang bernama sedepa: Baron Karl Klaus von der Decken, aristokrat muda kaya Jerman. Geolog ekspedisi tersebut, Richard Thornton, mencatat sejumlah observasi di puncaknya yang bersalju, yang diperkirakan setinggi 20 ribu kaki dari permukaan laut. Sekitar 6.100 meter. Kini Kilimanjaro termasuk dalam daerah kekuasaan Republik Tanzania, dan didaki beberapa kali dalam setahun. Wisatawan sering tampak berkunjung di lereng timur, dalam jumlah yang tetap. Mereka menghabiskan empat malam di sana, di pondok-pondok yang disediakan sebuah lembaga bantuan Norwegia. Pakaian, makanan dan perlengkapan disediakan pemandu menuntun perjalanan, buruh-buruh angkut membawa peralatan. Toh itu tetap perjalanan yang sulit dan berbahaya. Ketika akan mendaki puncak, mereka masih harus menempuh 50 mil perjalanan kaki--dan mulai berusaha menyesuaikan diri dengan ketinggian yang belum pernah, atau belum biasa, mereka hadapi. "Tanpa dapat menunjukkan sesuatu tentang macan tutul, aku kembali ke kemah," tulis Reader selanjutnya. Mereka memasak ayam kampung yang sudah membeku, tapi hanya Simon yang memakannya. "Dan aku muntah begitu Simon menghabiskan santapannya." Simon menunjukkan kekhawatirannya, memeluk rekannya ketika kembali muntah-muntah--ingin mengetahui apakah Reader hanya masuk angin atau sakit lebih parah. Reader sendiri kepingin tahu: apakah ia muntah karena mabuk atau sakit lebih gawat Pulmonary edema, misalnya, adalah tekanan berat akibat pengaruh ketinggian--sejenis osmoso yang membanjiri paru-paru dengan cairan dari darah yang menghalang-halangi masuknya oksigen. Gejala awalnya tak lain mabuk dan muntah-muntah itu. Tapi bau makanan dipersalahkan Reader sebagai penyebabnya. "Tidak," katanya kepada Simon, "aku hanya masuk angin." Ia pun kemudian bergulung ke dalam kantung tidur. Pada pukul enam mereka berdua masuk ke kemah dan mengancingkan resleting tenda. Suhu berada di bawah titik beku, dan melorot ke 15 derajat menjelang pagi. Jatuh tertidur, tapi kurang nyenyak, sering terganggu dengan mimpi-mimpi menakutkan. Dipakainya balaclava--sarung kepala yang hanya menampakkan muka. Tapi barang celaka itu menggeser menutupi mulutnya ketika ia tertidur, dan menghalangi pernapasannya. Maka ia pun kembali terbangun dengan rasa takut mencekam: apakah ia sudah mati lemas? Gangguan-gangguan itu membuat kepalanya sakit berdenyut. Matanya cekung dan berat. Batu-batu karang di kawah mulai terasa bergoyang. Beberapa malah meletup seperti letusan pistol, yang lain pernah melantunkan gaung yang menggoyahkan lantai. Lapisan es juga pecah, menciptakan pemandangan yang menakutkan--jangan-jangan beterbangan menimpa mereka. "Belakangan terdengar suara berderak di dekat kepalaku, ketika air di dalam botol dan di dalam pot yang kami tinggalkan di atas kompor membeku." Reader merasa terseret ke Kilimanjaro oleh 'ketunggalan' gunung itu. Dan seperti setiap wisatawan, "aku percaya kesan yang kudapat sangat istimewa " Ia telah membaca 'Salju-Salju Kilimanjaro' lama sebelum ia menyaksikan dengan mata-hidungnya sendiri. Malah ia melihatnya pertama sebelum mendakinya sendiri--dari sebuah ruang kantor di Nairobi, dari jalan ke cottage yang d itempatinya di Bukit Riara, dan Pebukitan Ngong, dari bukit-bukit Chyulu, dari dataran Amboseli, dari mobil, dari jendela pesawat. "Aku sering menatap Kilimanjaro selama bertahun-tahun mangkal di Nairobi. Dan dari keakraban itu tumbuh ambisi mendaki gunungnya, memotret saljunya. Kukira aku juga harus menyaksikan sisa-sisa macan tutul itu. Hemingway telah berhasil menimbulkan teka-teki dan kiasan untuk nasib buruk pengarang yang menyongsong kematiannya--yang menjadi pusat karakter ceritanya. Namun bagiku, itu juga rangsangan keras untuk penjelajahan gunung itu sendiri." Dalam empat penjelajahan yang terpisah, Reader menghabiskan waktu lima minggu di Kilimanjaro. Rombongan lain yang tak terikat suatu kepentingan khusus, seperti para wisatawan, menggunakan dua pemandu untuk tiap kelompok. Kelompok Reader juga menggunakan rute yang biasa ditempuh wisatawan, malah juga menginap di pondok-pondok yang biasanya mereka pakai. Namun kebanyakan Reader memilih lintasan-lintasan sendiri yang sepi. Di hutan di atas Mweka dimulai sebuah pendakian. Mereka berkemah di sebuah tempat terbuka di dekat hutan, dan berjalan-jalan ke arah barat di sekitar Kibo, pada ketinggian 14 ribu kaki Perjalanan itu melingkupi 60 mil dalam waktu delapan hari-mereka memang tidak terburu-buru. Dua malam pertama mereka habiskan di Lembah Karanja dan di Baranco Besar, di bawah gletser selatan. Tidur di lapangan terbuka, bintang Bimasakti merayap di atas kepala. "Pemandu kami memasang api sepanjang malam. 'Untuk mengusir macan tutul dan anjing liar,' katanya, di samping untuk menghangatkan tubuh. Namun masih saja uap es membungkusi kantung tidur kami pada paginya." Dari gletser-gletser selatan, mereka merangkaki daerah sepanjang pegunungan bagian selatan barat daya dan di atas dataran Shira. Lalu memotong ke sisi utara. Di sini ditemui satu-satunya sumber air yang lebih mirip bekas kubangan kerbau. Lintasan yang menjemukan itu memakan dua hari. Mendaki dan menuruni jurang-jurang yang tak terhitung banyaknya. Dalam keadaan demikian, mereka sering tergoda berkali-kali memandang ke bawah, ke atas Loitokito. Di sana dulu, pada 1950-an, Hemingway menjadi 'penguasa kehormatan' kawasan itu. Mereka memotong punggung bukit dan menjelajahi lereng bawah Mawenzi,, dan akhirnya mendaki Kibo itu sendiri. Penaklukan puncaknya sudah bisa dikatakan dimulai pada ketinggian sekitar 15.500 kaki. Dan medannya pun sudah berbeda: tanahnya lebih longgar. Dimulai di sekitar pos Kibo, berakhir di Titik Gillmans pada lingkaran kawah. Menempuh jarak inimemerlukan pengalaman--dan cukup mendebarkan, walau si Reader mengaku ketagihan untuk mengulangnya kembali. Titik Gillmans kurang sedikit dari tiga ribu kaki di atas pos Kibo--meski dalam kenyataan jarak yang mesti ditempuh mencapai 11 ribu kaki. "Pendakian akan lebih mudah jika dilakukan menurut cara-cara para pendaki gunung," Reader menyimpulkan "Boleh anda samakan dengan mendaki sembilan kaki Empire State Building sambung-menyambung. Atau seperti mendaki tangga sekitar 2 mil." Dan pada ketinggian 15.500 kaki--di sini pendakian terakhir dimulai--kepadatan oksigennya lebih kecil dari separuh kepadatan oksigen di Manhattan, New York, atau di anak tangga pertama. GEORGE Mallory, pendaki yang mati di Gunung Everest (Himalaya) pada 1924, suatu kali pernah berkata: "Saya mendaki gunung karena ia ada di sana." Tanggapan yang tampaknya sederhana ini akan lebih mudah dipahami jika seseorang pernah mencapai puncak tinggi sebuah gunung. "Gunung-gunung tinggi adalah tempat terganas di muka bumi ini," menurut Reader. "Begitu ganasnya hingga hanya sedikit yang mampu bertahan hidup di sana." Keganasan itu melahap selubung kehijauan, memusnahkan unsur-unsur kehidupan dan menggerogoti kulit bumi sampai ke kerak-keraknya yang paling tua. Manusia terlempar dari tempat-tempat semacam itu. Kawah Kilimanjaro, misalnya, adalah kawasan purbayang paling tidak menyenangkan. Ia membangkitkan rasa ingin tahu dan rasa takut. "Terbangun dari malam-malam penuh kenangan di kawah, dorongan mengadakan penjelajahan kembali muncul bersama datangnya matahari pagi. Kami sarapan granola dan teh panas manis, lalu melangkah terseret-seret melintasi padang es menuju ke kaki kerucut yang lebih dalam." Dan sejam kemudian mereka telah berdiri di puncak kawah. Lereng di bawah dipenuhi noda-noda merah, cokelat dan kuning emas deposit sulfur. Uap menguap dari fumarole di kandungan sulfur. Di pusat kawah-dalam muncul kerucut lain yang lebih kecil--dan dari lingkarannya, moncong cerobongnya seperti siap runtuh ke dalam perut gunung berapi itu. "Kami mengumpulkan barang-barang kami, dan sisa-sisa tenaga kami, lalu merangkak turun melalui lerengnya. Tanah di dekat fumarole terasa hangat dan lembut--bisa saja kaki terbenam ke dalamnya. Tercium bau tajam sulfur. Oksigen menipis, langkah terseot-seot dan lamban. Ketika aku sampai, aku tahu bahwa, seperti macan tutul Hemingway, aku sudah sampai pada batas kemampuanku." *** Kawah Kilimanjaro yang bundar relatif masih muda. Lapisan es telah membungkus puncaknya dari waktu ke waktu sejak gunung api itu melampaui garis es khatulistiwa. Maju-mundur gletser tampaknya punya hubungan dengan zaman es di belahan bumi utara. Pada sekitar 70 ribu sampai 10 ribu tahun yang lalu, misalnya, ketika es turun ke garis lintang Berlin di Eropa dan Cincinnati di Amerika Utara puncak Kilimanjaro sepenuhnya di pagut lapisan tebal es, dengan lubang dasar kawahnya mencapai 10 ribu kaki. Gunung-gunung dengan bentuk yang mengesankan banyak muncul pada masa ini. Glasiasi (pengesan) paling akhir di Kilimanjaro terjadi ketika belahan bumi utara berada dalam cengkeraman Masa Es Kecil. Sejak itu puncak esnya makin menyusut. Dan jika kecenderungan ke arah iklim yang lebih sedang berlanjut, puncak es Kilimanjaro akan sirna seluruhnya. Ya, salju-salju Kilimanjaro mulai meleleh--dengan cepatnya. OH "sisa-sisa"lapisan es yang ada sekarang, tak syak lagi, tetap tontonan yang agung mengesankan seperti yang digambarkan Hans Meyer ketika ia mendaki pertama kali Kilimanjaro pada 1889. Dan Kawah Kilimanjaro sendiri, tempat Reader dkk menghabiskan sejumlah hari, bisa merupakan tempat berkencan dengan maut. "Tapi juga merupakan awal kejadian." Lingkungannya yang 'belum jadi' memang mirip tampang awal bumi. Melakukan penurunan dari kawah, misalnya, yang merupakan kepulangan yang menyenangkan, rutenya dipenuhi tan.la-tanda awal kehidupan yang sedang membentuk dirinya. Langka air, iklim yang ekstrim dan radiasi matahari yang kuat, merupakan pengahalang terhadap kelangsungan kehidupan makhluk di sana. Curah hujan rata-rata sekitar lima inci per tahun. Suhu bisa melonjak 105 derajat pada siang hari dan melorot 15 derajat pada malamnya. Dan udara yang tipis hanya mampu menapis sedikit saja radiasi ultra violet matahari. "Takbanyak yang bisa hidup dalam kondisi seperti ini." Di bawah lingkaran kawah keadaannya lebih bagus. Curah hujan naik dengan menurunnya ketinggian, dan suhu pun lebih membaik. Kilimanjaro dilingkup lima kawasan ekologi, yang dijelajahi beberapa kali oleh Reader dalam minggu-minggu kunjungannya itu. Kawasan puncak ditandai oleh hadirnya gletser-gletser dan kelangkaan tetumbuhan. Tiga kaasan yang hcrbeda lainnya ditandai dengan puncak, dataran dan semak-semak. Ini merupakan 'kunci' keperkasaan Kilimanjaro yang indah. Karena gunung itu bcgitu tingginya, dan menjulang manunggal di garis khatulistiwa, dengan kemiringan lereng yang begitu tajamnya, menuruni gunung ini dari puncak ke kakinya bagai perlawatan dari kutub utara ke khatulistiwa. Dari padang es ke hutan tropika: Dari kawasan belantara beriklim sedang ke padang rumput beriklim panas. Dan dari padang pasir ke padang penuh tumbuhan, paya, danau dan lembah-lembah hijau. Ekosistem Kilimanjaro merupakan taman percontohan dari seluruh belahan bumi ini, konon. Menilik tetumbuhannya, kesimpulan di atas itu tak jauh meleset. Semacam semak mencapai tinggi 12 kaki, dan tampaknya kebcratan pucuh, menyuguhkan penampilan yang tak seimbang. Batangnya sendiri tampak hukuh, ditutupi daun-daun kering yang bentuknya seperti bulu kempa. Sejumlah cabang-cabangnya tampak seperti tetumbuhan yang diserang penyakit. Di ujung-ujung cabang tumbuh daun-daun mirip daun bunga mawar--hanya lebih kecil--tempat munculnya sang bunga. Seperti yang dapat diduga, isolasi memaksa tetumbuhan melakukan adaptasi. Di malam hari, daun-daunnya yang lebih tiga inci panjangnya itu rapat melingkupi kelopak. Paginya seluruh tanaman itu terbungkus uap es, sementara daun-daunnya mulai membuka diri dengan datangnya sinar matahari. Penguapan air dilakukan agar dapat melayani sistem aliran air yang tcrjadi oleh mencairnya salju. Sementara itu, batangnya sendiri menjadi semacam waduk penyimpan air. Dan daun-daun kering tadi merupakan dinding penahan rembesan. Lobelia raksasa, kendati lebih kecil dari sejenis semak-semak tadi, juga menghadapi persoalan serupa dan mengalami adaptasi yang sama. Lingkungan menjadi lebih menyenangkan, dan akhirnya rombongan memasuki kawasan hutan. "Hutan adalah klimaks tumbuh-tumbuhan," tulis Reader. Dan hutan, semua orang tahu, muncul di daerah yang cukup hujan dan matahari. Hutan yang berada di wilayah kawah Kilimanjaro yang lebih bawah, adalah klimaks penjelajahan itu. Kawasan ini menerima curah hujan tertinggi, menikmati anugerah kombinasi matahari dan iklim yang ekstrim, menumbuhkan pohon-pohon anggun dan mengandungkan biomas yang terbesar. "Juga tempat yang menyenangkan setelah turun dari puncak." * * * Pagi terakhir Reader di kawah, mereka mendaki puncak Uhuru, 19.340 kaki dari permukaan laut. "Uhuru adalah puncak Kilimanjaro dan titik tertinggi di Afrika." Mereka menuju ke selatan melintasi padang-padang es--kawasan tanpa batu-batu dan karang-karang besar. Lingkaran kawah timur tampil dengan silhuet yang jelas. Matahari, tidak lagi terlalu tinggi, menerangi dinding dalamnya. Awan-awan putih mengitari lingkaran kawah, bersaing warna dengan birunya langit, warna cokelat batu-batu karang, dan warna es. AKHIR pergumulan yang panjang dengan lumpur di sekitar kawah menuju puncak Uhuru itu boleh jadi puncak pengalaman di Kilimanjaro. "Namun harus kuakui, aku menemukan sebuah antiklimaks. Kucapai puncaknya, berdiri di sana dengan Afrika dan sebagian besar dunia di bawah telapak kakiku. Kutemui kebebasan, memang. Tapi tidak kemenangan. Macan tutul Hemingway tidak kutemukan. Cerobong kepundan tak terjamah. Bayangan tentang dinding-dinding es yang tak terekam malah benar-benar memberi kesan lebih dalam ketimbang saat-saat berada di puncak." "Ketika aku kembali turun ke kawasan hutan, dada terasa lapang. Bagai pulang ke rumah sendiri. Di sana tersedia air, bahkan makanan jika aku mau mencarinya Kata orang, manusia memulai kehidupan dari hutan. Tak salah jika aku merasa lega dan aman di sini. Makanan yang terhidang di sekitar, banyak persamaannya dengan keadaannya pada jutaan tahun yang lalu. Tempat singgah, tempat berteduh, tempat menyenangkan, dan tanpa sangsi lagi merupakan kampung halaman sang macan tutulù"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus