ERNEST Hemingway, dalam novelnya 'Salju-Salju Kilimanjaro',
bilang: "Dekat ke puncak barat, ditemukan bangkai macan tutul
yang telah mengering dan membeku. Tak seorang pun dapat
menjelaskan apa yang dicarinya di ketinggian itu."
Ketika suatu saat penulis karangan ini, John Reader, belum lama
berselang berkunjung ke Kilimanjaro, ia membawa serta dua potong
kalimat Hemingway itu. Dan akibatnya ia ditertawakan Simon teman
seperkunjungan. "Jika seekor sapi saja mati tujuh tahun lalu,
kau kira masih ada makhluk hidup lain yang kuat bertahan?" tanya
Simon. "Dan kapan macan-macan tutul itu konon ditemukan? 1926?
Lebih 50 tahun yang lalu! Masih ingin mendaki terus untuk menemu
kannya? "
Dengan tawa bersisa, Simon melangkah ke balik bayang-bayang
lereng kawah yang nyaman, menghindar dari matahari dan angin.
Pada ketinggian 19 ribu kaki (5.900 meter) seperti di kawah
"Kilimanjaro mata seseorang memang terus-menerus berusaha
menemukan tempat berlindung.
Dorongan untuk istirahat selalu datang: tidur barang sepicing,
umpamanya, untuk menghindar dari angin, udara yang tipis, juga
dari usaha ngotot yang sia-sia.
Beberapa hari sebelumnya, pada ketinggian yang jauh lebih
rendah, Reader, seperti dituturkannya kemudian dalam majalah
Smithsonian, mulai merasakan keletihan yang makin meningkat--dan
mulai menghitung-hitung kemampuannya. Karena itu ia pun
benar-benar menerapkan jadwal istirahat pada jangka tertentu.
"Untuk Titik Macan Tutul (demikian ia menamakan puncak itu)
prinsip ini sangat sesuai," tulis Reader. Kawah di puncak itu
sendiri menjanjikan pendakian yang sulit -- seperti yang
dikemukakan Simon. Karena itu Simon pagi-pagi sudah menyatakan
tidak akan ikut dalam perburuan macan tutul yang sudah mati
setengah abad yang lalu.
Hemingway, seperti yang dikisahkan dalam novel terkenalnya itu,
mengaku menemukan almarhum macan tutul itu di sana. Tapi
sebenarnya tak ada catatan bahwa pengarang besar itu berhasil
mendaki pegunungan untuk membuktikan di sana benar-benar ada
mayat macan yang mati membeku. "Sementara itu ia sudah
membuahkan karya yang besar," kata Reader. Dan meninggalkan
pertanyaan yang merangsang keinginan tahu: apa yang dicari macan
tutul di ketinggian itu? Apa, coba!
***
Kilimanjaro adalah gunung yang perkasa. Jarang ada yang
menjulang tinggi secara sendirian begitu. Tinggi 19 ribu kaki,
gunung berapi itu berdiri kukuh di dataran yang 'hanya' setinggi
2.500 kaki dari muka laut. Ia mulai 'tumbuh' beberapa juta tahun
yang lalu, dari suatu proses geologi yang membentuk
lembah-lembah dan pegunungan Afrika.
Ada tiga kepundan utama di sana. Erosi telah mengikis yang
satunya, Shira, yang terletak di sebelah barat-menjadi dataran
terbuka dilingkung bukit-bukit yang sebelumnya merupakan
lingkaran kawah. Mawenzi, di sebelah timur, belakangan tidak
aktif. Kendati sebagian onggokan kerucutnya telah rompal, bagian
intinya masih berdiri dalam bentuk tiang penuh gerogotan, tampak
rapuh dan menyeramkan.
Kibo adalah satu-satunya kepundan yang masih aktif. Tumbuh di
bahu Shira-Mawenzi--dan itulah puncak Kilimanjaro, kerucut yang
hebat sekali, indah dimahkotai lapisan es. Hanya 1% mil persegi
memang--dibanding 5,8 juta mil persegi lapisan es yang
menyelaput permukaan bumi. "Namun itulah gejala alam yang penuh
magi," komentar Reader. Dan suatu misteri yang agaknya sangat
tidak sesuai dengan keadaan setempat, yang hanya tiga derajat di
khatulistiwa. "Bertahun-tahun setelah penemuannya,
justruorang-orang pintar Eropa menolak mempercayai adanya puncak
es itu sebagai suatu kenyataan."
Dikagetkan oleh ketetapan hatinya sendiri, Reader meninggalkan
rekannya Simon yang terkantuk-kantuk. Ia melangkah menuju
selatan, ke arah tempat yang bernama Johannes Notch. Di sini
pendakian ke Titik Macan Tutul tidak begitu curam ketimbang
melalui potong kompas. Kendati ia tahu Simon mungkin benar, dan
bahwa bangkai beku macan tutul itu boleh jadi sudah lama lenyap,
Reader tetap pada tekadnya. "Saya tetap dirangsang harapan bahwa
saya akan menemukan suatu bukti macan mati itu-sepotong tulang,
sebiji gigi," katanya. "Bahkan jika semua itu tak ada, 'kuingin
melihat tempatnya mati."
Kawah itu berdiri di atas karangkarang yang longgar. Dindingnya
mencuat tak beraturan--karang-karang tajam menyeramkan. Berwarna
cokelat, lempeng-lempeng dindingnya diberarti salju dan
teras-teras es glasial. Matahari bersinar dengan garangnya,
angin menikam tajam, udara begitu tipisnya, sehingga setiap
tapak langkah memerlukan tarikan napas yang dalam. Kepala
memberat, jantung berdegup kencang. Perut kosong mengundang
lapar, tapi bau makanan memancing mabuk.
"Sejumlah makhluk dapat saja hilang begitu saja di Kilimanjaro
ini, tdnpd suatu kekuatan penyelamatan dari luar mampu
menolongnya," kata yang empunya kisah. Mereka memiliki sebuah
tenda, sleeping bag (kantung tidur), kompor, bahan bakar,
makanan. Namun, kata Reader, rangsangan dan semangatlah yang
merupakan 'komoditi' yang paling penting--padahal justru ini
yang paling sulit dipertahankan.
Di sekitar Johannes Notch ia mulai mendaki, mengambil pintasan
yang mudah menuju ke lingkaran kawah. Dinding kawah setinggi 100
kaki-dan Titik Macan Tutul sekitar 500 kaki, di utara.
"Kutemukan tiga kaleng berkarat tersembunyi di antara karang,
satu kosong, yang lain penuh minyak tanah," ia melaporkan.
Di suatu dataran sempit dekat batu karang--pertanda puncak Titik
Macan Tutul--ditemukannya sebuah lempeng berlapis seng sebesar
talam. Benda itu di tengahnya berlubang, yang mungkin dibuat
orang untuk keperluan tertentu. Tapi tak ada tanda-tanda pernah
didirikan sebuah pos atau perkemahan di sana. Tidak juga
ditemukan sesuatu yang berhubungan dengan Macan Tutul.
Tidak sepotong tulang, sebiji gigi --juga tidak sepatah kata di
"talam", yang memberi petunjuk itulah bekas lokasi matinya macan
tutul. "Hanya sepotong metal itu, dan pemandangan menyeramkan
dari retuntuhan volkanis penuh lapisan es serta siraman matahari
yang sedang tenggelam. Sungguh terpencil entah di mana." Ia
terduduk di situ beberapa menit. Tak ditemui kunci pemecahan.
Misalnya, ngapain macan tutul itu tersasar di ketinggian sana.
Tapi yang jelas, apa pun alasan yang mendorong binatang celaka
itu ke situ, tempat itu merupakan suatu akhir-kemajuan yang
mungkin dicapai 'seorang' makhluk. Itulah batas akhirnya. Macan
itu terpaku membeku di situ, dan mati.
***
Anehnya, Kilimanjaro terselubung rahasia dan mithos melebihi
ketinggiannya Terpisah dari mahkota esnya yang gemerlapan,
gunung itu, di atas segala-galanya, tegak setinggi hampir empat
mil dan sejauh 180 mil dari pantai Afrika Timur. Nah, padahal di
pantai ini, dulu pernah berlangsung perdagangan yang ramai oleh
orang-orang Phoenisia, Yunani, Arab, Cina, Portugis, Inggris dan
Prancis. Pada hari yang cerah, Kilimanjaro dapat terlihat dari
jarak 100 mil, tapi oleh berbagai sebab, puncak Afrika yang
gemerlapan itu rupanya tak dapat menjerat perhatian para
pengembara kuno itu. Tak ada disebut dalam kitab-kitab lama.
Gunung tertinggi di Afrika itu tetap tak dikenal dunia luar.
Sampai datangnya seorang misionaris Jerman, Johannes Rebmann,
yang menatapnya pertama kali di bulan Mei 1848. Dari bahasa
setempat ia mengetahui bahwa Kilimanjaro berarti 'gunung agung'
atau 'gunung kafilah'--kendati asal mula kata itu sendiri masih
tetap diperdebatkan Laporannya diterbitkan di London setahun
kemudian, dan menimbulkan heboh berkepanjangan dikalangan para
ahli ilmu bumi.
Gunung yang ternyata cukup tinggi untuk menangkap salju itu
tegak di pantai Afrika Timur. Ini mendukung pe ndapat sementara
ahli bahwa Sungai Nil berhulu di kawasan timur benua hitam itu.
Kilimanjaro adalah sumber air Sungai Nil, kalangan itu
berpendapat. Sebaliknya, para penentang mencanangkan bahwa
sumber Nil adalah sebuah danau di jantung benua. Akhirnya
golongan inilah yang terbukti benar.
Toh adanya caping salju di puncak Kilimanjaro akhirnya
memperoleh "pembenaran dunia". Tiga belas tahun setelah Rebmann
melihatnya, sebuah ekspedisi berangkat ke sana--dipimpin seorang
yang bernama sedepa: Baron Karl Klaus von der Decken, aristokrat
muda kaya Jerman. Geolog ekspedisi tersebut, Richard Thornton,
mencatat sejumlah observasi di puncaknya yang bersalju, yang
diperkirakan setinggi 20 ribu kaki dari permukaan laut. Sekitar
6.100 meter.
Kini Kilimanjaro termasuk dalam daerah kekuasaan Republik
Tanzania, dan didaki beberapa kali dalam setahun. Wisatawan
sering tampak berkunjung di lereng timur, dalam jumlah yang
tetap. Mereka menghabiskan empat malam di sana, di pondok-pondok
yang disediakan sebuah lembaga bantuan Norwegia. Pakaian,
makanan dan perlengkapan disediakan pemandu menuntun
perjalanan, buruh-buruh angkut membawa peralatan. Toh itu tetap
perjalanan yang sulit dan berbahaya. Ketika akan mendaki puncak,
mereka masih harus menempuh 50 mil perjalanan kaki--dan mulai
berusaha menyesuaikan diri dengan ketinggian yang belum pernah,
atau belum biasa, mereka hadapi.
"Tanpa dapat menunjukkan sesuatu tentang macan tutul, aku
kembali ke kemah," tulis Reader selanjutnya. Mereka memasak ayam
kampung yang sudah membeku, tapi hanya Simon yang memakannya.
"Dan aku muntah begitu Simon menghabiskan santapannya." Simon
menunjukkan kekhawatirannya, memeluk rekannya ketika kembali
muntah-muntah--ingin mengetahui apakah Reader hanya masuk angin
atau sakit lebih parah.
Reader sendiri kepingin tahu: apakah ia muntah karena mabuk
atau sakit lebih gawat Pulmonary edema, misalnya, adalah tekanan
berat akibat pengaruh ketinggian--sejenis osmoso yang
membanjiri paru-paru dengan cairan dari darah yang
menghalang-halangi masuknya oksigen. Gejala awalnya tak lain
mabuk dan muntah-muntah itu. Tapi bau makanan dipersalahkan
Reader sebagai penyebabnya. "Tidak," katanya kepada Simon, "aku
hanya masuk angin." Ia pun kemudian bergulung ke dalam kantung
tidur.
Pada pukul enam mereka berdua masuk ke kemah dan mengancingkan
resleting tenda. Suhu berada di bawah titik beku, dan melorot ke
15 derajat menjelang pagi. Jatuh tertidur, tapi kurang nyenyak,
sering terganggu dengan mimpi-mimpi menakutkan. Dipakainya
balaclava--sarung kepala yang hanya menampakkan muka. Tapi
barang celaka itu menggeser menutupi mulutnya ketika ia
tertidur, dan menghalangi pernapasannya. Maka ia pun kembali
terbangun dengan rasa takut mencekam: apakah ia sudah mati
lemas? Gangguan-gangguan itu membuat kepalanya sakit berdenyut.
Matanya cekung dan berat.
Batu-batu karang di kawah mulai terasa bergoyang. Beberapa malah
meletup seperti letusan pistol, yang lain pernah melantunkan
gaung yang menggoyahkan lantai. Lapisan es juga pecah,
menciptakan pemandangan yang menakutkan--jangan-jangan
beterbangan menimpa mereka. "Belakangan terdengar suara berderak
di dekat kepalaku, ketika air di dalam botol dan di dalam pot
yang kami tinggalkan di atas kompor membeku."
Reader merasa terseret ke Kilimanjaro oleh 'ketunggalan' gunung
itu. Dan seperti setiap wisatawan, "aku percaya kesan yang
kudapat sangat istimewa " Ia telah membaca 'Salju-Salju
Kilimanjaro' lama sebelum ia menyaksikan dengan mata-hidungnya
sendiri. Malah ia melihatnya pertama sebelum mendakinya
sendiri--dari sebuah ruang kantor di Nairobi, dari jalan ke
cottage yang d itempatinya di Bukit Riara, dan Pebukitan Ngong,
dari bukit-bukit Chyulu, dari dataran Amboseli, dari mobil, dari
jendela pesawat.
"Aku sering menatap Kilimanjaro selama bertahun-tahun mangkal di
Nairobi. Dan dari keakraban itu tumbuh ambisi mendaki gunungnya,
memotret saljunya. Kukira aku juga harus menyaksikan sisa-sisa
macan tutul itu. Hemingway telah berhasil menimbulkan teka-teki
dan kiasan untuk nasib buruk pengarang yang menyongsong
kematiannya--yang menjadi pusat karakter ceritanya. Namun
bagiku, itu juga rangsangan keras untuk penjelajahan gunung itu
sendiri."
Dalam empat penjelajahan yang terpisah, Reader menghabiskan
waktu lima minggu di Kilimanjaro. Rombongan lain yang tak
terikat suatu kepentingan khusus, seperti para wisatawan,
menggunakan dua pemandu untuk tiap kelompok. Kelompok Reader
juga menggunakan rute yang biasa ditempuh wisatawan, malah juga
menginap di pondok-pondok yang biasanya mereka pakai. Namun
kebanyakan Reader memilih lintasan-lintasan sendiri yang sepi.
Di hutan di atas Mweka dimulai sebuah pendakian. Mereka berkemah
di sebuah tempat terbuka di dekat hutan, dan berjalan-jalan ke
arah barat di sekitar Kibo, pada ketinggian 14 ribu kaki
Perjalanan itu melingkupi 60 mil dalam waktu delapan hari-mereka
memang tidak terburu-buru.
Dua malam pertama mereka habiskan di Lembah Karanja dan di
Baranco Besar, di bawah gletser selatan. Tidur di lapangan
terbuka, bintang Bimasakti merayap di atas kepala. "Pemandu kami
memasang api sepanjang malam. 'Untuk mengusir macan tutul dan
anjing liar,' katanya, di samping untuk menghangatkan tubuh.
Namun masih saja uap es membungkusi kantung tidur kami pada
paginya."
Dari gletser-gletser selatan, mereka merangkaki daerah sepanjang
pegunungan bagian selatan barat daya dan di atas dataran Shira.
Lalu memotong ke sisi utara. Di sini ditemui satu-satunya sumber
air yang lebih mirip bekas kubangan kerbau.
Lintasan yang menjemukan itu memakan dua hari. Mendaki dan
menuruni jurang-jurang yang tak terhitung banyaknya. Dalam
keadaan demikian, mereka sering tergoda berkali-kali memandang
ke bawah, ke atas Loitokito. Di sana dulu, pada 1950-an,
Hemingway menjadi 'penguasa kehormatan' kawasan itu. Mereka
memotong punggung bukit dan menjelajahi lereng bawah Mawenzi,,
dan akhirnya mendaki Kibo itu sendiri.
Penaklukan puncaknya sudah bisa dikatakan dimulai pada
ketinggian sekitar 15.500 kaki. Dan medannya pun sudah berbeda:
tanahnya lebih longgar. Dimulai di sekitar pos Kibo, berakhir di
Titik Gillmans pada lingkaran kawah. Menempuh jarak
inimemerlukan pengalaman--dan cukup mendebarkan, walau si Reader
mengaku ketagihan untuk mengulangnya kembali.
Titik Gillmans kurang sedikit dari tiga ribu kaki di atas pos
Kibo--meski dalam kenyataan jarak yang mesti ditempuh mencapai
11 ribu kaki. "Pendakian akan lebih mudah jika dilakukan menurut
cara-cara para pendaki gunung," Reader menyimpulkan "Boleh anda
samakan dengan mendaki sembilan kaki Empire State Building
sambung-menyambung. Atau seperti mendaki tangga sekitar 2 mil."
Dan pada ketinggian 15.500 kaki--di sini pendakian terakhir
dimulai--kepadatan oksigennya lebih kecil dari separuh kepadatan
oksigen di Manhattan, New York, atau di anak tangga pertama.
GEORGE Mallory, pendaki yang mati di Gunung Everest (Himalaya)
pada 1924, suatu kali pernah berkata: "Saya mendaki gunung
karena ia ada di sana." Tanggapan yang tampaknya sederhana ini
akan lebih mudah dipahami jika seseorang pernah mencapai puncak
tinggi sebuah gunung. "Gunung-gunung tinggi adalah tempat
terganas di muka bumi ini," menurut Reader. "Begitu ganasnya
hingga hanya sedikit yang mampu bertahan hidup di sana."
Keganasan itu melahap selubung kehijauan, memusnahkan
unsur-unsur kehidupan dan menggerogoti kulit bumi sampai ke
kerak-keraknya yang paling tua. Manusia terlempar dari
tempat-tempat semacam itu. Kawah Kilimanjaro, misalnya, adalah
kawasan purbayang paling tidak menyenangkan. Ia membangkitkan
rasa ingin tahu dan rasa takut.
"Terbangun dari malam-malam penuh kenangan di kawah, dorongan
mengadakan penjelajahan kembali muncul bersama datangnya
matahari pagi. Kami sarapan granola dan teh panas manis, lalu
melangkah terseret-seret melintasi padang es menuju ke kaki
kerucut yang lebih dalam." Dan sejam kemudian mereka telah
berdiri di puncak kawah.
Lereng di bawah dipenuhi noda-noda merah, cokelat dan kuning
emas deposit sulfur. Uap menguap dari fumarole di kandungan
sulfur. Di pusat kawah-dalam muncul kerucut lain yang lebih
kecil--dan dari lingkarannya, moncong cerobongnya seperti siap
runtuh ke dalam perut gunung berapi itu.
"Kami mengumpulkan barang-barang kami, dan sisa-sisa tenaga
kami, lalu merangkak turun melalui lerengnya. Tanah di dekat
fumarole terasa hangat dan lembut--bisa saja kaki terbenam ke
dalamnya. Tercium bau tajam sulfur. Oksigen menipis, langkah
terseot-seot dan lamban. Ketika aku sampai, aku tahu bahwa,
seperti macan tutul Hemingway, aku sudah sampai pada batas
kemampuanku."
***
Kawah Kilimanjaro yang bundar relatif masih muda. Lapisan es
telah membungkus puncaknya dari waktu ke waktu sejak gunung api
itu melampaui garis es khatulistiwa. Maju-mundur gletser
tampaknya punya hubungan dengan zaman es di belahan bumi utara.
Pada sekitar 70 ribu sampai 10 ribu tahun yang lalu, misalnya,
ketika es turun ke garis lintang Berlin di Eropa dan Cincinnati
di Amerika Utara puncak Kilimanjaro sepenuhnya di pagut lapisan
tebal es, dengan lubang dasar kawahnya mencapai 10 ribu kaki.
Gunung-gunung dengan bentuk yang mengesankan banyak muncul pada
masa ini.
Glasiasi (pengesan) paling akhir di Kilimanjaro terjadi ketika
belahan bumi utara berada dalam cengkeraman Masa Es Kecil. Sejak
itu puncak esnya makin menyusut. Dan jika kecenderungan ke arah
iklim yang lebih sedang berlanjut, puncak es Kilimanjaro akan
sirna seluruhnya. Ya, salju-salju Kilimanjaro mulai
meleleh--dengan cepatnya.
OH "sisa-sisa"lapisan es yang ada sekarang, tak syak lagi, tetap
tontonan yang agung mengesankan seperti yang digambarkan Hans
Meyer ketika ia mendaki pertama kali Kilimanjaro pada 1889. Dan
Kawah Kilimanjaro sendiri, tempat Reader dkk menghabiskan
sejumlah hari, bisa merupakan tempat berkencan dengan maut.
"Tapi juga merupakan awal kejadian." Lingkungannya yang 'belum
jadi' memang mirip tampang awal bumi. Melakukan penurunan dari
kawah, misalnya, yang merupakan kepulangan yang menyenangkan,
rutenya dipenuhi tan.la-tanda awal kehidupan yang sedang
membentuk dirinya.
Langka air, iklim yang ekstrim dan radiasi matahari yang kuat,
merupakan pengahalang terhadap kelangsungan kehidupan makhluk di
sana. Curah hujan rata-rata sekitar lima inci per tahun. Suhu
bisa melonjak 105 derajat pada siang hari dan melorot 15 derajat
pada malamnya. Dan udara yang tipis hanya mampu menapis sedikit
saja radiasi ultra violet matahari. "Takbanyak yang bisa hidup
dalam kondisi seperti ini." Di bawah lingkaran kawah keadaannya
lebih bagus. Curah hujan naik dengan menurunnya ketinggian, dan
suhu pun lebih membaik.
Kilimanjaro dilingkup lima kawasan ekologi, yang dijelajahi
beberapa kali oleh Reader dalam minggu-minggu kunjungannya itu.
Kawasan puncak ditandai oleh hadirnya gletser-gletser dan
kelangkaan tetumbuhan. Tiga kaasan yang hcrbeda lainnya
ditandai dengan puncak, dataran dan semak-semak. Ini merupakan
'kunci' keperkasaan Kilimanjaro yang indah.
Karena gunung itu bcgitu tingginya, dan menjulang manunggal di
garis khatulistiwa, dengan kemiringan lereng yang begitu
tajamnya, menuruni gunung ini dari puncak ke kakinya bagai
perlawatan dari kutub utara ke khatulistiwa. Dari padang es ke
hutan tropika: Dari kawasan belantara beriklim sedang ke padang
rumput beriklim panas. Dan dari padang pasir ke padang penuh
tumbuhan, paya, danau dan lembah-lembah hijau. Ekosistem
Kilimanjaro merupakan taman percontohan dari seluruh belahan
bumi ini, konon.
Menilik tetumbuhannya, kesimpulan di atas itu tak jauh meleset.
Semacam semak mencapai tinggi 12 kaki, dan tampaknya kebcratan
pucuh, menyuguhkan penampilan yang tak seimbang. Batangnya
sendiri tampak hukuh, ditutupi daun-daun kering yang bentuknya
seperti bulu kempa. Sejumlah cabang-cabangnya tampak seperti
tetumbuhan yang diserang penyakit. Di ujung-ujung cabang tumbuh
daun-daun mirip daun bunga mawar--hanya lebih kecil--tempat
munculnya sang bunga.
Seperti yang dapat diduga, isolasi memaksa tetumbuhan melakukan
adaptasi. Di malam hari, daun-daunnya yang lebih tiga inci
panjangnya itu rapat melingkupi kelopak. Paginya seluruh tanaman
itu terbungkus uap es, sementara daun-daunnya mulai membuka diri
dengan datangnya sinar matahari. Penguapan air dilakukan agar
dapat melayani sistem aliran air yang tcrjadi oleh mencairnya
salju. Sementara itu, batangnya sendiri menjadi semacam waduk
penyimpan air. Dan daun-daun kering tadi merupakan dinding
penahan rembesan.
Lobelia raksasa, kendati lebih kecil dari sejenis semak-semak
tadi, juga menghadapi persoalan serupa dan mengalami adaptasi
yang sama.
Lingkungan menjadi lebih menyenangkan, dan akhirnya rombongan
memasuki kawasan hutan. "Hutan adalah klimaks tumbuh-tumbuhan,"
tulis Reader. Dan hutan, semua orang tahu, muncul di daerah yang
cukup hujan dan matahari. Hutan yang berada di wilayah kawah
Kilimanjaro yang lebih bawah, adalah klimaks penjelajahan itu.
Kawasan ini menerima curah hujan tertinggi, menikmati anugerah
kombinasi matahari dan iklim yang ekstrim, menumbuhkan
pohon-pohon anggun dan mengandungkan biomas yang terbesar. "Juga
tempat yang menyenangkan setelah turun dari puncak."
* * *
Pagi terakhir Reader di kawah, mereka mendaki puncak Uhuru,
19.340 kaki dari permukaan laut. "Uhuru adalah puncak
Kilimanjaro dan titik tertinggi di Afrika." Mereka menuju ke
selatan melintasi padang-padang es--kawasan tanpa batu-batu dan
karang-karang besar. Lingkaran kawah timur tampil dengan silhuet
yang jelas. Matahari, tidak lagi terlalu tinggi, menerangi
dinding dalamnya. Awan-awan putih mengitari lingkaran kawah,
bersaing warna dengan birunya langit, warna cokelat batu-batu
karang, dan warna es.
AKHIR pergumulan yang panjang dengan lumpur di sekitar kawah
menuju puncak Uhuru itu boleh jadi puncak pengalaman di
Kilimanjaro. "Namun harus kuakui, aku menemukan sebuah
antiklimaks. Kucapai puncaknya, berdiri di sana dengan Afrika
dan sebagian besar dunia di bawah telapak kakiku. Kutemui
kebebasan, memang. Tapi tidak kemenangan. Macan tutul Hemingway
tidak kutemukan. Cerobong kepundan tak terjamah. Bayangan
tentang dinding-dinding es yang tak terekam malah benar-benar
memberi kesan lebih dalam ketimbang saat-saat berada di puncak."
"Ketika aku kembali turun ke kawasan hutan, dada terasa lapang.
Bagai pulang ke rumah sendiri. Di sana tersedia air, bahkan
makanan jika aku mau mencarinya Kata orang, manusia memulai
kehidupan dari hutan. Tak salah jika aku merasa lega dan aman di
sini. Makanan yang terhidang di sekitar, banyak persamaannya
dengan keadaannya pada jutaan tahun yang lalu. Tempat singgah,
tempat berteduh, tempat menyenangkan, dan tanpa sangsi lagi
merupakan kampung halaman sang macan tutulù"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini