Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awalnya hanya ada air di dalam kegelapan. Tuhan besar Bumba sendirian. Suatu hari Bumba sakit perut. Ia memuntahkan matahari, menciptakan cahaya. Panas matahari menyebabkan air mengering, membentuk daratan. Masih kesakitan, Bumba memuntahkan bulan dan bintang-bintang, menciptakan malam. Terakhir, ia memuntahkan buaya, macan tutul, kura-kura, dan akhirnya, manusia.
Penggalan kosmogoni suku Boshongo itu dikisahkan sejak ribuan tahun sebelum tarikh Masehi. Bagi suku Sub-Sahara di Afrika Tengah ini, air telah ada sejak awal mula alam semesta. Suku Boshongo, yang dikenal sebagai petani, pemburu, dan peramu, memiliki tradisi lisan yang kuat. Mereka turun-temurun menuturkan kisah penciptaan jagat raya dalam bahasa Bantu.
Profesor Stephen Hawking pernah menyitir mitos suku Boshongo itu dalam kuliah umum tentang asal-usul alam semesta di kampus University of California, Berkeley, Amerika Serikat, pada 13 Maret 2007. Hawking menamainya "The Big Bumba Theory", mengutip teks bahan kuliah J. Robert Oppenheimer, pakar fisika teori asal Amerika sekaligus pembuat bom atom pertama.
Hawking mengatakan mitos penciptaan milik suku Boshongo, seperti banyak mitos sejenis yang lain, mencoba untuk menjawab pertanyaan klasik umat manusia. "Mengapa kita di sini? Dari mana kita berasal?" kata kosmolog paling populer ini ketika itu. Pelbagai teori mencoba mengurai pertanyaan seputar asal-muasal organisme, bumi, semesta, serta air.
Dalam ranah ilmiah, riwayat air di bumi tak lepas dari sejarah pembentukan tata surya. Salah satu teori terdahulu menyebutkan air datang terlambat ke bumi. Air mulai terbentuk setelah bumi mewujud sekitar 4,5 miliar tahun lalu. Itu pun air tak langsung mengisi dua pertiga permukaan bumi seperti sekarang. Bumi di masa awalnya masih sangat panas. Segala bentuk cairan langsung lenyap menguap di permukaan planet.
Teori lain menyebutkan bumi pada mulanya kering akibat proses pembentukan berenergi tinggi. Air kemudian datang dari efek benturan dengan komet atau asteroid "basah", yang sebagian besar berupa es dan gas. Tabrakan dengan meteor dan asteroid raksasa menimbulkan banyak kehancuran, tapi juga menyumbang bahan baku air bagi bumi.
Namun jarum jam langsung berputar jauh ke belakang, tatkala tim ilmuwan dari Woods Hole Oceanographic Institution (WHOI) di Woods Hole, Massachusetts, Amerika Serikat, memaparkan temuan terbarunya dalam jurnal Science edisi 31 Oktober 2014. Penelitian WHOI menunjukkan air sudah ada di bagian dalam tata surya sejak 135 juta tahun setelah pembentukan tata surya. Para ilmuwan menemukan bukti bahwa bahan baku air telah lama tersimpan di dalam obyek berbatu dekat bumi, dan mungkin juga di dalam bumi.
"Lautan selalu berada di sini (bumi). Lautan tidak diperoleh dari proses akhir, seperti yang diperkirakan sebelumnya," kata pemimpin tim, Adam Sarafian, dalam situs WHOI, Selasa, 30 Desember 2014. Entah kebetulan entah tidak, temuan paling anyar tentang asal-usul air ini mirip dengan cuplikan mitos suku Boshongo. Air telah ada jauh sebelum planet-planet terbentuk, termasuk bumi.
Selama ini hipotesis yang menyebutkan pembentukan air dan planet berjalan berbarengan ditepis oleh banyak ilmuwan. Alasannya, setiap molekul air—tersusun atas dua atom hidrogen dan satu atom oksigen—akan seketika menguap terkena panas planet atau tertiup angin ke angkasa. Itu sebabnya, air permukaan seperti di bumi saat ini baru bisa muncul jutaan tahun kemudian setelah planet cukup dingin.
Namun temuan tim ilmuwan WHOI membuktikan sebaliknya. Dari potongan meteorit kondrit karbon, mereka menelusuri ulang sejarah air di bumi. Kondrit karbon adalah jenis meteorit paling primitif di jagat raya. Materi ini terbentuk dalam pusaran debu, pasir, es, dan gas, yang juga memunculkan matahari sekitar 4,6 miliar tahun lalu. Meteorit primitif ini menyerupai komposisi tata surya. "Di dalamnya ada cukup banyak air dan selama ini diyakini sebagai sumber air di bumi," kata anggota tim, Sune Nielsen, dalam artikel di jurnal Science.
Batuan magma beku berwarna hitam seukuran jeruk bali ini ditemukan oleh Badan Antariksa Amerika Serikat (NASA) di Antartika pada 2000. Meteorit paling murni dan mengandung materi organik ini dulu pernah dianalisis, tapi para ilmuwan tidak menemukan jejak air atau bahan pembentuk air. Kini Sarafian dan tim kembali meneliti meteorit purba itu. Kali ini mereka berfokus pada kandungan molekul di dalamnya.
Kondrit karbon merupakan bagian dari asteroid 4-Vesta, obyek terbesar kedua di sabuk asteroid di antara Jupiter dan Mars. Asteroid ini terbentuk di daerah yang sama dengan bumi dalam tata surya. Diameternya 530 kilometer dan diperkirakan memiliki massa 9 persen dari massa seluruh sabuk asteroid. Vesta memiliki permukaan lava batuan beku basaltik yang merekam tanda unik dari salah satu waduk hidrogen tertua di tata surya.
Dengan spektrometer massa ion sekunder, para peneliti menganalisis lima sampel meteorit yang berusia sekitar 14 juta tahun setelah tata surya terbentuk. Dengan begitu, batuan angkasa ini cukup ideal untuk menentukan sumber air di bagian dalam tata surya, tepat saat bumi berada di fase awal pembentukan. "Ini pertama kalinya isotop hidrogen diukur dalam kondrit karbon," kata Francis McCubbin dari University of New Mexico, yang terlibat penelitian.
Sarafian mengatakan air telah ada di bagian luar tata surya yang cukup dingin, lebih dari 4,5 miliar tahun lalu. Tepatnya sekitar 15 juta tahun setelah obyek-obyek padat mulai terbentuk di sekitar matahari muda. Namun, di bagian dalam tata surya, tempat bumi muda dan asteroid Vesta berada, suhu terlalu panas. Badai matahari akan mengirimkan uap air kembali ke daerah luar tata surya.
Bumi terus berkembang dan berubah selama 4 miliar tahun selanjutnya, sedangkan Vesta tetap membeku. "Vesta memberi kita gambaran tentang bagaimana bentuk awal bumi ketika pertama kali terbentuk," kata Sarafian di situs Space. Vesta dan bumi rupanya juga berbagi sidik jari kimia.
Untuk menentukan sumber air dalam tubuh bumi, para ilmuwan mengukur rasio antara dua isotop stabil hidrogen: deuterium dan hidrogen. Daerah yang berbeda di tata surya ditandai dengan rasio isotop yang sangat bervariasi. Dalam penelitian ini, rasio isotop pada kondrit karbon dibandingkan dengan Vesta, obyek yang mengkristal selama pembentukan bumi. Dengan begitu, mereka bisa mengukur kapan tepatnya air muncul di bumi.
Dan, benar saja, hasil pengukuran menunjukkan bahwa Vesta mengandung komposisi isotop hidrogen yang sama dengan kondrit karbon di bumi. Temuan ini, dipadukan dengan data isotop nitrogen, menunjukkan kondrit karbon sebagai sumber utama air di bumi. Ini berarti air di bumi bertambah pada saat yang sama seperti halnya batuan. "Bumi terbentuk sebagai planet basah dengan air di permukaannya," Sarafian menuturkan.
Lompatan dari temuan ini cukup mengejutkan. Penelitian sebelumnya, yang menelusuri jejak molekul kimia air di batuan bulan, menunjukkan air telah muncul sekitar 150 juta setelah kelahiran tata surya. Ini berarti sejarah air dari sampel meteorit Vesta merentang jauh lebih tua. "Kemunculan air lebih awal menandakan kehidupan juga mungkin dimulai sangat awal," ujar Nielsen.
Selain itu, planet-planet lain diyakini dulu berupa planet basah seperti bumi. Hingga akhirnya mereka berkembang menjadi lingkungan yang sangat ekstrem. "Planet-planet telah 'memegang' air dengan caranya sendiri," Sarafian menambahkan. "Fakta ini akan membuat kita memikirkan kembali bagaimana planet terbentuk."
Pakar astronomi Institut Teknologi Bandung, Profesor Suryadi Siregar, mengatakan meteorit kondrit karbon memang dijadikan standar untuk meneliti asal-muasal tata surya. Ia merupakan sisa-sisa materi pembentuk tata surya yang tidak sempat menjadi planet. Dengan mempelajari kondrit karbon, para ilmuwan bisa mengungkap peristiwa miliaran tahun silam. "Umurnya tidak jauh beda dengan bumi dan terbentuk dari zat yang sama," katanya.
Suryadi tidak sepenuhnya setuju dengan temuan tim ilmuwan WHOI. Air di bumi, menurut dia, terbentuk dari hasil penguapan, sublimasi, dan pengembunan yang kemudian turun dalam bentuk hujan. Air dari hujan inilah yang disimpan dalam perut bumi dan permukaan tanah, dalam skala besar menjadi lautan. Namun semua proses itu terjadi setelah bumi terbentuk. "Faktor utama bukan dari komet atau meteor, melainkan dari bumi sendiri," ujarnya.
Lain halnya dengan jejak air di luar bumi. Suryadi mengatakan molekul air juga terserak di tata surya, hanya wujudnya berbeda. Molekul air di bumi dapat bertahan dalam bentuk cair sehingga mengisi permukaan planet. Sedangkan air di luar bumi dapat berwujud bongkahan es jika terletak jauh dari matahari. Sebaliknya, air akan menguap di lokasi dengan temperatur tinggi. "Bentuknya seperti air yang mengambang di atmosfer," kata Suryadi.
Pendapat senada disampaikan Profesor Morris Podolak, ahli planetologi dan evolusi komet di Department Geosains di Tel Aviv University, Israel. Dikutip dari situs Haaretz, Podolak mengatakan alam semesta, yang dimulai dari Big Bang, terbentuk dari gas hidrogen dan helium. Oksigen dan unsur lain yang lebih berat baru terbentuk dalam proses sekunder. "Matahari adalah generasi kedua, terbuat dari bahan yang berasal dari bintang generasi sebelumnya," katanya.
Dengan kondisi itu, tepat sebelum matahari lahir, ruang angkasa dipenuhi oleh hidrogen, helium, dan oksigen. Di kekosongan tata surya itulah matahari, bumi, dan planet-planet mulai terbentuk. Maka tak mengherankan jika ada hipotesis yang menyebutkan molekul air—terdiri atas dua atom hidrogen dan satu atom oksigen—juga mengisi kekosongan itu. Molekul air primordial itu bahkan disebut lebih tua daripada matahari.
Mahardika Satria Hadi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo