Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Paksa Badan Pengemplang Pajak

Pemerintah memberlakukan cekal dan gijzeling pada pengemplang pajak. Penegakan hukum jadi persoalan.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PENGEMPLANG pajak, bersiap-siaplah kena hukuman paksa badan kalau terus membandel tak melunasi utang pajak. Gebrakan Kementerian Keuangan di akhir tahun lalu itu memang penting dan perlu. Soalnya, dilaporkan ada 487 penunggak pajak yang belum membayar Rp 3,32 triliun ke kas negara. Bahkan 168 di antaranya tergolong "benar-benar nekat" sehingga dilarang pergi ke luar negeri. Bila terus membangkang, pengemplang bisa kena gijzeling atawa paksa badan.

Kendati baru sebatas pengumuman, bolehlah langkah pemerintah ini mendapat apresiasi. Sejauh ini, Direktorat Jenderal Pajak tidak mengumumkan nama mereka. Selain memenuhi ketentuan hukum, barangkali langkah persuasif dimaksudkan agar mereka yang mangkir segera membayar. Agaknya dengan pertimbangan yang sama pula sepuluh wajib pajak bandel dengan tunggakan pajak Rp 24,5 miliar, yang terancam gijzeling, tidak disiarkan.

Gijzeling diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa. Tapi paksa badan ini belum banyak dipraktekkan di sini. Pro dan kontra mewarnai topik ini. Pada 2008, misalnya, Jaksa Agung saat itu, Hendarman Supandji, beranggapan gijzeling melanggar hak asasi manusia. Namun, mengingat semakin pentingnya pajak untuk pembangunan, langkah lebih tegas diperlukan. Pengemplang pajak kelas kakap, terutama yang tak punya iktikad baik, perlu dipenjarakan sampai melunasi utang pajaknya.

Kepatuhan warga negara membayar pajak memang tergolong rendah. Dengan pendapatan pajak sekitar Rp 1.200 triliun, rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto hanyalah 12 persen. Rasio ini masih jauh dari target jangka pendek, yakni 19 persen, dan sasaran jangka menengah sebesar 26 persen. Rasio itu praktis tak membaik sejak era reformasi.

Potensi penerimaan pajak banyak yang belum tergarap. Indonesia memiliki 12 juta perusahaan, tapi tak sampai separuhnya yang membayar pajak. Wajib pajak individu hanya 520 ribu jiwa, sangat kecil dibandingkan dengan jumlah penduduk yang 250 juta jiwa. Artinya, negeri ini punya banyak penumpang gratis. Mereka tak mau membayar pajak, tapi ikut menikmati berbagai macam fasilitas publik.

Memang, banyak faktor yang menghambat niat rakyat membayar pajak. Yang terutama adalah rendahnya kepercayaan kepada pemerintah akibat korupsi di berbagai lini. Ketidakpercayaan ini diperburuk ulah petugas pajak yang menilap pajak dalam jumlah jumbo. Gayus Tambunan dan Dhana Widyatmika hanyalah dua dari sekian banyak petugas pajak yang selingkuh. Orang pajak model beginilah yang membuat penerimaan pajak jauh lebih rendah dari seharusnya.

Penegakan hukum yang lembek juga menjadi masalah. Persidangan kasus pajak cenderung berlarut-larut dan bernuansa kolusif. Misalnya, persidangan kasus pajak Asian Agri pada 2002-2005, yang merugikan negara Rp 1,3 triliun, sampai sekarang belum seratus persen tuntas. Itu sebabnya masyarakat perlu aktif mengawasi persidangan pajak dan penindakan pengemplang pajak.

Kini publik perlu ikut menyoroti penanganan 168 pengemplang pajak yang sudah dicekal itu. Retorika kosong menindak pengemplang pajak sudah waktunya dibuang jauh. Agar lebih memiliki efek jera, nama pengemplang pajak sebaiknya diumumkan—dengan mengubah undang-undang yang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Bila wajib pajak tak terbukti bersalah, undang-undang mesti menyediakan mekanisme rehabilitasi.

Reformasi perpajakan mesti dilakukan segera. Dengan itu, target tambahan pajak Rp 600 triliun tahun ini tidak mustahil dicapai.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus