Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Teh Hijau Penangkal Kanker

Seorang peneliti di Universitas Airlangga berhasil membuktikan manfaat teh hijau untuk menyembuhkan kanker.

5 Januari 2015 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada 2007, Andriani Primardiana divonis menderita kanker paru-paru stadium metastasis. Artinya, sel-sel kanker telah menjalar ke jaringan atau organ tubuh di sekitarnya. "Saya sering sesak napas, pucat, dan pingsan," katanya pekan lalu. Harapan untuk mengobatinya juga pupus. "Sudah enggak bisa diapa-apakan. Saya juga alergi kemoterapi, jadi suami saya tidak memperbolehkan saya menjalaninya," ujar perempuan 48 tahun ini.

Suaminya, Prof Dr Djoko Purwanto, Apt MSi, saat itu berada di Jepang untuk melakukan penelitian teh hijau buat mencegah dan mengobati kanker. Vonis kanker tentu saja hantaman berat untuk keduanya. Tapi pasangan itu juga beranggapan ada berkah di balik cobaan ini—blessing in disguise. Pertama, Djoko semakin tertantang untuk membuat penelitiannya berhasil, agar dapat menyembuhkan sang istri.

Kedua, Djoko bisa menjadikan istrinya obyek penelitian pribadi. "Kalau uji cobanya ke orang lain, kan, ribet dan kalau ada apa-apa bisa jadi masalah besar. Nah ini kan penelitian dilakukan pada istrinya sendiri," tutur Andriani, lalu tertawa. "Gusti Allah milih sampeyan gawe penelitianku (Tuhan memilihkan kamu untuk penelitianku)," kata Djoko kepada istrinya saat itu.

Djoko sebenarnya telah meneliti teh sejak 1996, sehingga ia dijuluki "Profesor Teh" di lingkungan kampusnya, Universitas Airlangga, Surabaya. "Teh itu memiliki komponen aktif bernama Epigallocatechin gallate (EGCG), yang bersifat antioksidan, bisa menyembuhkan kanker," ujarnya Rabu pekan lalu. EGCG terbukti secara ilmiah memiliki kemampuan aktif memerangi penyakit. Sifat antioksidan teh bahkan 100 kali lebih tinggi dibanding vitamin C dan 25 kali lipat dibanding vitamin E.

Ia menyebutkan ada empat jenis teh yang dikenal, yakni teh hijau, pu-erh, oolong, dan teh hitam. "Di antara keempat ini, yang paling tinggi kadar EGCG-nya adalah green tea," katanya. Karena itu, konsentrasi penelitian Djoko ada pada jenis ini. Djoko tak menampik, ia bukanlah satu-satunya orang yang meneliti khasiat teh hijau. Para peneliti dunia juga tengah memelototi teh hijau untuk mencegah dan mengobati kanker dan HIV. "Tapi, yang istimewa, yang kami teliti ini teh hijau asli Indonesia," ujarnya tentang teh hijau dengan nama ilmiah Camellia sinensis itu.

"Kami" yang dimaksudkan oleh Djoko adalah dirinya dan rekan penelitiannya, Dr Retno Pudji Rahayu, drg, MKes. Sementara Djoko meneliti efek teh hijau pada pencegahan dan pengobatan kanker, Retno meneliti dampaknya pada pengobatan AIDS/HIV.

Teh hijau Indonesia ini sama dengan teh asal lembah Assam di India. Keunggulan teh lokal ini, kata Djoko, ialah kadar EGCG-nya yang lebih besar sekitar tujuh persen dibanding teh hijau varietas unggulan Jepang. Satu gram teh Jepang hanya mengandung 40-50 miligram EGCG. "Sedangkan satu gram teh hijau Indonesia mengandung 70 miligram EGCG," ujarnya. Sayangnya, karena EGCG itu tidak stabil, kerap pengolahan teh yang buruk akan menurunkan kadar EGCG tersebut.

Di tengah penelitian itulah istrinya mengidap kanker. Ia pun meminta izin Retno menjadikan Andriani sebagai obyek penelitian pribadi. Sejak saat itu, Djoko melakukan serangkaian observasi terhadap istrinya.

Andriani diwajibkan meminum seduhan teh hijau tiga kali sehari. Karena hal ini tidak memberatkan, sekali minum tak hanya cukup satu cangkir. "Aturannya, satu sendok teh hijau diseduh ke dalam 200 cc air putih," katanya. Ia juga diminta mengkonsumsi kapsul ekstrak teh hijau penelitian suaminya. Ekstrak dalam dosis tinggi itu diberikan dengan pertimbangan sel-sel kanker dalam tubuh Andriani telah menjalar. "Jadi saya diberi dosis kelipatan dari tikus uji coba penelitian suami saya. Kadang dinaikkan dosisnya, kadang diturunkan."

Kesabaran keduanya lantas membuahkan hasil. Perlahan-lahan, sel kanker Andriani mengecil, hingga ia dinyatakan telah terbebas dari sel-sel kanker jahat di tubuhnya. Saat pemeriksaan rutin pada Oktober tahun lalu, dalam tes carcinoembryonic antigen, sel-selnya dinyatakan telah normal. Keberhasilan ini diakui oleh Djoko. "Dengan menggunakan teh hijau, lama-lama kankernya mengecil dan hilang. Alhamdulillah sudah sembuh," katanya.

Selain membuat istrinya membaik, penelitian itu berhasil mengantar Djoko menjadi guru besar kimia farmasi Universitas Airlangga, akhir November tahun lalu. Hanya, Djoko tidak bisa memasukkan hasil penelitian pribadi pada istrinya itu dalam laporan penelitiannya karena uji klinis pada manusia perlu prosedur lebih rumit. Baik Retno maupun Djoko mengakui penelitian ini baru sebatas uji laboratorium, meneliti secara in vitro. "Artinya, semuanya direaksikan di luar tubuh. Belum ke manusia," kata Djoko.

Mahal dan ribetnya prosedur uji klinis tidak membuat Djoko berhenti membagikan keberhasilannya untuk dimanfaatkan orang lain. Bersama rekan-rekannya di Institute of Tropical Disease Universitas Airlangga, Djoko berupaya membuat ekstrak teh hijau dalam bentuk obat tradisional. "Nanti produk khusus teh hijau ini berupa serbuk untuk diminum dan dilarutkan seperti teh," ujarnya. Bedanya dengan teh hijau di pasar, kandungan EGCG teh itu akan diperkaya.

Meski tehnya berlabel obat tradisional, ia tak mau sembarangan. Jamu untuk kanker dan HIV itu bakal menyertakan bukti ilmiah. "Yang penting bermanfaat bagi masyarakat lebih dulu. Saya memang tidak membuat ini komersial, jadi untuk sementara akan diproduksi seribu buah untuk kalangan sendiri."

Ia dan istrinya kompak menyebarkan pengetahuan mengenai bahaya kanker. "Suami saya menjelaskan bahaya kanker sekaligus makanan apa saja yang menimbulkan kanker. Saya kebagian mengisi pelatihan," kata Andriani. Tak hanya di Pulau Jawa, mereka kerap diundang hingga ke Kalimantan.

Andriani, alumnus Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Airlangga, mengisi hari-harinya untuk membantu para penderita kanker. Ada 28 orang yang ia dampingi untuk berjuang melawan penyakitnya. "Saya motivasi mereka, saya ajak juga minum teh hijau untuk meningkatkan kualitas hidup mereka. Yang datang sebenarnya jauh lebih banyak, sampai-sampai, oleh satpam perumahan, saya dikira orang pinter," ujarnya. "Tapi tehnya enggak kami jual. Kami beli teh hijau kualitas ekspor dari perkebunan PTPN XII di Jember dan Lawang, Malang," katanya.

Mengapa digratiskan? Andriani dan sang suami telah bertekad, penelitian khasiat teh hijau untuk kanker tersebut tak boleh berujung pada komersialisasi semata. Djoko ingin penelitiannya dapat dinikmati kalangan menengah ke bawah. Harapannya, semakin banyak pasien kanker yang sembuh dan masyarakat terhindar dari kanker. "Kami pingin mendapat pahala," katanya.

Artika Rachmi Farmita


Juga untuk Mencegah HIV

Dalam penelitian teh hijau, Prof Dr Djoko Purwanto bekerja sama dengan Dr Retno Pudji Rahayu. Bedanya, sementara Djoko meneliti khasiat teh hijau pada kanker, Retno meneliti khasiatnya pada penanganan HIV. Pada literatur di dunia penelitian, selain antikanker, EGCG memiliki kemampuan antifungi dan antivirus.

Retno menjelaskan, di dalam HIV terdapat beberapa komponen reseptor glikoprotein (GP). "Nah, saya baru mencoba penelitian terhadap GP 120 dan GP 41 yang ada pada permukaan membran virus (envelope)," katanya. Retno menjelaskan, teh diekstraksi menjadi dua bentuk. Pertama, hanya diambil EGCG-nya. Sedangkan yang kedua tetap dalam bentuk ekstrak. Hasil ekstraksi ini lalu diuji coba pada kultur HIV. Hasilnya, ekstrak teh hijau mampu menghilangkan virus yang terdapat dalam kultur, sehingga sel virusnya tidak bisa masuk. Artinya, "Ia bisa menghambat ikatan protein atau, singkatnya, menghilangkan HIV ini," ujarnya.

Selain menguji coba ekstrak teh dengan kultur HIV, ia menguji cobanya pada sel-sel sistem kekebalan tubuh manusia (CD4). Hasilnya pun serupa. Ekstrak teh ini mampu mempengaruhi komponen-komponen dalam virus. Golongan katekin (EGCG), menurut Retno, mudah bereaksi dengan protein. "Karena GP 120 diikat, virusnya enggak bisa masuk."

Karena virus memiliki banyak komponen, dia mengaku memiliki banyak pekerjaan rumah agar hasil penelitiannya optimal. "Akan kami coba ke komponen virus selain GP 120 dan GP 41. Saya ingin meneruskan ini ke komponen yang lain dalam teh hijau, yaitu theaflavin."

Artika

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus