Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Laser Penghancur Limbah Nuklir

31 Agustus 2003 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Wajah Ken Ledingham berpijar-pijar. Bersama peneliti lain dari Jerman dan Inggris, ia sanggup memotong daur hidup sampah radioaktif dari jutaan tahun menjadi tinggal hitungan menit. Sukses ini memunculkan optimisme bagi upaya mencari penyelesaian masalah sampah radioaktif yang selama ini bikin pusing.

Yang dipakai Ledingham tak lain dari laser raksasa yang dinamai laser Vulcan. Laser seukuran hotel kecil plus perumahan ini berada di Rutherford Appleton Laboratory di Oxfordshire, Inggris. Dengan kekuatan listrik jutaan miliar watt, laser raksasa ini menghasilkan gelombang pendek bertenaga super yang selanjutnya ditembakkan ke lempengan emas tipis. Radiasi sinar gama yang dihasilkan akan mencelatkan sebiji neutron dari iodine-129 dan mengubahnya menjadi iodine-128.

Iodine-129 adalah satu di antara banyak isotop radioaktif yang dihasilkan ketika uranium terbakar di reaktor nuklir. Usia hidup iodine-129 sendiri 15,7 juta tahun—artinya, selama waktu jutaan tahun itu ia akan tetap bersifat radioaktif. Sedangkan iodine-128 hanya berumur 25 menit.

Menurut Ledingham, teknik yang sama bisa digunakan untuk limbah radioaktif lain seperti technetium-99, strontium-90, dan isotope caesium. Tapi proses yang berbeda diperlukan bagi limbah nuklir jenis lain seperti plutonium dan amerisium.

Sebagian ilmuwan mengkritik temuan itu, terutama pada kebutuhannya akan energi listrik yang luar biasa besar. Selain itu, dari sisi ekonomi, kalangan industri menilainya tak efisien untuk dibangun.

Teknologi Pembuat Organ

Mohammad Kaazempur-Mofrad membawa harapan baru di bidang biologi molekuler. Di hadapan para ahli yang tergabung dalam American Society for Microbiology, peneliti dari Massachusetts Institute of Technology and Harvard Medical School itu Selasa pekan lalu mempresentasikan temuannya. Dalam hitungan menit, Kaazempur mampu membangun sistem pembuluh darah fungsional, yakni cabang pembuluh darah penyuplai nutrisi dan oksigen ke dalam jaringan.

Temuan itu terobosan terhadap rekayasa jaringan konvensional. Selama ini, metode lama memang sukses membentuk jaringan struktural seperti kulit, tapi tak mampu membangun sistem jaringan pembuluh darah pendukung yang menyuplai oksigen dan nutrisi untuk membangun organ-organ fungsional seperti hati.

Hambatan itulah yang diterabas Kaazempur. Dia menggunakan komputer untuk merancang jaringan cabang pembuluh vena dan arteri—dengan lebar 10 mikron hingga 3 milimeter. Jaringan buatan kemudian ditambahi lapisan silikon sepanjang 15 sentimeter dan sambungannya digunakan sebagai dasar untuk membuat lapisan polimer biodegradasi. Dua lapisan ini digabungkan dengan lapisan membran mikroporus yang menghasilkan sistem pembuluh darah artifisial mini. Sel endothelial lalu disuntikkan ke jaringan di satu sisi membran dan sel hati diinjeksikan di sisi lainnya. Sel ini melapisi bagian dalam tabung nano-polimer. Tabung polimer ukuran nano (sepersemiliar meter) ini mirip dengan jaringan pembuluh darah asli.

Setelah diujicobakan pada tikus, menurut Kaazempur, ternyata 95 persen sel hati yang ditanamkan dengan metode itu bisa bertahan hidup.

Pohon Kopi Minus Kafein

Merebaknya kepedulian publik pada efek kafein bagi kesehatan mendorong dilakukannya berbagai upaya untuk meminimalkan kandungan kafein dalam kopi. Yang telah ada adalah mengurangi kadar kafein dalam proses produksi. Kini Hiroshi Sano meminimalisasi kafein langsung pada pohonnya.

Bersama rekan-rekannya di Nara Institute of Science and Technology, Jepang, Hiroshi menggunakan teknik yang disebut interferensi RNA. Dengan cara ini, ia mampu melemahkan gen yang merangsang produksi kafein pada tanaman kopi. Riset yang dilakukan selama tujuh tahun memperlihatkan tanaman kopi transgenik yang turun kadar kafeinnya hingga 70 persen.

Kafein diproduksi oleh zat kimia yang disebut xanthosine dalam tiga langkah pembentukan. Setiap tahap melibatkan proses kimiawi yang dinamai metilasi. Hiroshi dan timnya melemahkan gen kedua yang terlibat selama proses metilasi. Akibatnya, kafein pun mandul diproduksi.

Cita rasa kopi yang dihasilkan tak berubah meski kadar kafeinnya jauh menurun. Dan menurut Hiroshi, harganya bisa lebih murah. Soalnya, dalam lini produksi, tak perlu repot-repot lagi melakukan pengurangan kadar kafein.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum