Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH Paryati hitam lebam. Sisa-sisa operasi masih tampak jelas di batang hidungnya yang patah. Gadis dusun dari Cilacap, Jawa Tengah, itu baru berusia 22 tahun. Enam bulan lalu ia mengadu nasib ke Singapura, menjadi pembantu rumah tangga. Oleh agennya, ia disalurkan ke sebuah keluarga Melayu di kawasan Jurong.
Tapi malang tak dapat ditolak. Nyonya majikannya ternyata galak, lagi pula ringan tangan. Paryati tak tahan. Ia pun minggat, lalu lari mengadu ke Kedutaan Besar RI (KBRI). "Tak terhitung kepala saya dibenturkan tembok atau dipukul alat masak," tuturnya ketika ditemui wartawan TEMPO di tempat penampungan KBRI, awal Agustus lalu. Kini, atas bantuan konsulat, pengaduannya tengah diselidiki polisi setempat.
Nasib rekan sekampungnya, Fitriyah, lebih nahas lagi. Remaja 15 tahun ini sekarang jadi tuli sebelah dan gegar otak. Juga lantaran dianiaya induk semangnya. "Ketika baru datang, tubuh Fitri memar-memar," ujar Kepala Konsuler KBRI di Singapura, Saroni. Menurut dia, hampir setiap hari ada saja pembantu Indonesia yang datang ke kedutaan, meminta perlindungan dan pertolongan.
Di bangsal penampungan KBRI yang hanya seluas 120 meter persegi itu, bersama Paryati dan Fitri, ada 20 lebih bedinde asal Indonesia yang bernasib serupa. Sambil merenungi nasib getir, mereka tengah menunggu dipulangkan ke Tanah Air. Beberapa sudah tak sabar. "Saya dibawa di koper saja, Pak. Yang penting bisa pulang kampung," ujar Salimah, asal Cilacap, dengan mimik serius.
Paryati dan Fitri masih tergolong "beruntung", sebenarnya. Sebagian rekan seprofesinya yang lain tak sekadar lebam atau patah hidung. Mereka bahkan harus kehilangan nyawa di negeri orang. Data terakhir yang dirilis KBRI sangatlah mengagetkan. Ternyata, selama lima tahun terakhir sejak 1999, sedikitnya 90 pembantu Indonesia tewas di Negeri Singa. Rinciannya: 56 orang mengalami kecelakaan, 26 bunuh diri, dan sisanya masih dalam penyelidikan. Yang mengherankan, rata-rata mati remuk-redam setelah terempas dari gedung-gedung apartemen yang menjulang tinggi.
Angka ini bahkan lebih parah ketimbang di Malaysia ataupun Arab Saudi, dua negara yang menyimpan banyak cerita nestapa tentang tenaga kerja Indonesia. Di Malaysia, misalnya, pembantu Indonesia ada 160 ribu orang, tapi yang meninggal "hanyalah" 13 orang. Itu pun terjadi saat kisruh gelombang pemulangan besar-besaran di tahun 2002. Di Arab Saudi, rasionya bahkan lebih kecil. Dari satu juta babu Indonesia yang bekerja di sana, yang tewas sebanyak 19 orang, termasuk 10 orang di antaranya karena bunuh diri.
Karena itulah, terhadap tragedi yang menyesakkan dada ini, Menteri Tenaga Kerja Jacob Nuwa Wea langsung bereaksi keras. "Saya tidak percaya mereka bunuh diri. Enggak bakat orang kita bunuh diri. Mereka sudah biasa prihatin," tuturnya curiga. Menteri Jacob mengancam, jika peristiwa itu terus berlangsung, pemerintah akan menyetop arus tenaga kerja ke negeri jiran. "Di Hong Kong saja tidak sebegitu parah," katanya lagi.
Saat ini di Singapura ada sekitar 70 ribu bedinde asal Indonesia. Ini sekitar separuh dari total pembantu asing yang bekerja di sana.
Jumlah babu Indonesia di Negeri Singa, kata Noorashikin dari The Working Committee 2 (TWC2), lembaga pemerhati masalah ketenagakerjaan di Singapura, belakangan meningkat pesat. Titik baliknya terjadi sejak 1995, setelah meletup kasus Flor Contemplacion. Ketika itu, Flor, seorang pembantu asal Filipina, dihukum gantung setelah dinyatakan terbukti membunuh teman dan anak majikannya. Sempat memicu krisis politik di dalam negeri, Filipina lalu mengetatkan peraturan penyaluran tenaga kerjanya. Akibatnya, banyak agen lalu mengalihkan jalur rekrutmen ke Indonesia, yang tenaga kerjanya dikenal tak rewel menuntut macam-macam dan rela digaji rendah.
Kasus bunuh diri yang teranyar adalah yang menimpa diri Saminten. Di suatu subuh 11 April lalu, pembantu yang dikenal sopan dan rajin itu ditemukan mati gantung diri di kamar mandi. Apa penyebabnya hingga kini masih misterius. Tapi, dari surat-surat yang ditulis untuk keluarganya di Kediri, Saminten nekat bunuh diri setelah didera stres berat antara lain karena beban kerja yang mahaberat (lihat, Saminten, Jasad yang Terlunta).
Penelusuran TEMPO di Singapura mendapatkan berbagai pengakuan bahwa banyak babu Indonesia memang didera tekanan mental yang hebat, tak diperlakukan secara manusiawi, bahkan dianiaya majikannya.
Di sebuah apartemen Mc Road, misalnya, seorang pembantu menyodorkan tangannya yang terlihat lebam akibat hantaman benda tumpul.
Kesaksian Siti Nurkhasanah Muhidin kian menguatkan kenyataan itu. Pada 20 Februari lalu, sekitar pukul 02.00 tengah malam, Nur nekat kabur dengan melompat dari lantai tujuh sebuah flat di daerah Pasir Ris. Ia kabur dengan cara nekat itu setelah terus-menerus disiksa induk semangnya dan empat hari dikurung di dalam kamar. Hanya mukjizat yang membuatnya bisa tetap hidup. Meski terluka parah, nyawa Nur masih terselamatkan.
Tak cuma itu, beberapa bahkan diperlakukan di luar batas. Sebuah koran di Singapura, misalnya, pernah memberitakan kasus seorang babu Indonesia yang dipaksa memakan, maaf, tahi majikannya.
Beban kerja pun luar biasa berat. Tujuh hari dalam seminggu, dari subuh sampai tengah malam, tak henti mereka membanting tulang. Tak seperti rekan-rekannya dari negara lain seperti Filipina dan Sri Lanka, yang sekurangnya mendapat dua hari prei dalam sebulan, pembantu Indonesia nyaris bekerja tanpa jatah libur.
Sudah begitu, gaji mereka tergolong paling kecil. Begitu diterima bekerja, rata-rata mereka diupah Sin$ 230 (sekitar Rp 1,2 juta). Padahal yang berasal dari Filipina paling tidak mendapatkan Sin$ 320.
Keterampilan pembantu Indonesia memang paling minim. Khususnya kemampuan berbahasa Inggris. Ini, kata Helen Tan, pemilik Good Year Agency, penyalur pembantu rumah tangga di Singapura, merupakan salah satu faktor penting yang kerap memicu kejengkelan majikan.
Hal ini diamini Duta Besar RI untuk Singapura, Moch. S. Hidayat. "Memang, kendala komunikasi bisa memicu kekerasan. Misalnya majikan minta diambilkan iron, yang diambil malah besi betulan. Padahal yang dimaksud adalah iron setrika," katanya.
Sebagaimana terlihat dalam data di atas, selain kekerasan majikan, kecelakaan kerja menjadi penyebab terbanyak yang merenggut nyawa pembantu Indonesia di Singapura. Korbannya yang terakhir adalah Windy, 20 tahun. Di pagi buta 27 Juli kemarin, tubuh pembantu asal Malang itu remuk setelah terjun bebas dari lantai delapan apartemen tempat ia bekerja, ketika sedang menjemur pakaian.
Menteri Jacob Nuwa Wea menyesalkan insiden semacam ini masih saja terus terjadi. Soalnya, pada Agustus tahun lalu pemerintah Indonesia dan Singapura telah meneken kesepakatan. Isinya: melarang majikan menyuruh pembantu bekerja dengan membahayakan jiwanya, seperti menjemur pakaian di teras flat yang tinggi dengan menggunakan galah, atau membersihkan jendela luar rumah susun. "Saya minta pembantu Indonesia menolak melakukan pekerjaan berbahaya itu," ujar Menteri Jacob.
Kepada TEMPO, pejabat Menteri Tenaga Kerja Singapura, Ng Eng Hen, menyatakan tak sependapat dengan kesimpulan yang menyatakan banyak pembantu Indonesia meninggal akibat dianiaya majikan. "Sulit untuk menuduh bahwa berbagai kasus bunuh diri itu disebabkan oleh perlakuan kasar majikan," ujarnya.
Menteri Eng Hen menjelaskan, pemerintahnya telah membuat banyak kebijakan untuk melindungi pembantu asing. Satu yang terpenting, pada tahun 1998 Singapura telah mengamendemen ketentuan sanksi bagi pelaku penganiayaan terhadap tenaga kerja asing. "Hukumannya dilipatgandakan 1,5 kali. Begitu pula dendanya," Eng menambahkan.
Hasilnya, masih kata Eng, kini terlihat. Menurut catatan polisi, jumlah kekerasan fisik dan seksual terhadap pembantu asing makin tipis. Pada 1997, tercatat ada 192 kasus. Tapi pada tahun 1999, setelah amendemen itu, jumlahnya turun menjadi 82 kasus saja.
Namun, tren itu disangsikan Noorashikin dari TWC2. Menurut dia, kecenderungan menurun itu hanya sebatas data pelaporan ke polisi. "Bisa jadi angkanya tetap besar karena tak dilaporkan tapi diselesaikan lewat jalur kekeluargaan," ujarnya. Ia menunjuk sebuah indikasi. Sampai sekarang, organisasinya menerima 10-30 pengaduan setiap harinya. Untuk itu, TWC2 kini tengah gencar mengkampanyekan perlunya undang-undang khusus perlindungan pembantu rumah tangga di Singapura.
Gelombang pengaduan pun tak henti mengalir ke Indonesian Domestic Workers, semacam asosiasi bedinde asal Indonesia di Negeri Singa. Saban hari, kata Nining Johar, salah satu aktivisnya, telepon help-line mereka selalu sibuk. "Mulai dari yang mau berkonsultasi memasak menu ala Singapura, kiat menghadapi majikan yang galak, sampai permintaan bantuan mi instan dari mereka yang lagi terkurung di rumah majikan."
Terbakar Nyala Petromaks
PEMBANTU rumah tangga (PRT) asal Indonesia di Singapura ibarat laron yang merubung lampu petromaks. Sebagian bernasib terang, sebagian lain malah mendapat malang. Tak hanya mendapat perlakuan tak manusiawi, nyawa mereka bahkan melayang di negeri orang. Berikut ini catatan nasib mereka, yang biasanya hanya berakhir di laci meja para pejabat.
Mati Memburu Dolar | ||||
---|---|---|---|---|
Tahun | Jumlah meninggal | Kecelakaan | Bunuh diri | Masih diselidiki |
1999 | 13 | 13 | - | - |
2000 | 19 | 13 | 6 | - |
2001 | 24 | 12 | 12 | - |
2002 | 18 | 11 | 7 | - |
2003 | 16 | 7 | 1 | 8 |
Total | 90 | 56 | 26 | 8 |
Sumber: KBRI Singapura, Konsorsium Pembela Buruh Migran Indonesia, Komnas Perempuan |
Singapura
Malaysia
Arab Saudi
Bagaimana Mereka Dianiaya
The Working Committee 2, sebuah organisasi pemerhati masalah ketenagakerjaan, menyimpulkan: pembantu asal Indonesia, selain dibayar paling murah, paling rentan penganiayaan. Riset mereka terhadap 147 kasus penyiksaan pembantu di Singapura sejak 1998 menyodorkan data sebagai berikut.
Penganiaya:
- Majikan wanita dua kali lebih banyak daripada pria
- 35 persen adalah majikan dari kalangan profesional (pekerja kerah putih)
Jenis penganiayaan: | |
Luka fisik | 68% |
Kerja di luar batas | 12% |
Dilecehkan | 11% |
Diperkosa (termasuk percobaan) | 4% |
Kurang makan | 5% |
Dikurung | 1% |
Dibayar terlalu rendah | 5% |
Tak tercatat | 2% |
Sumber: The New Paper, 5 Juli 2003 |
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo