KEGEMBIRAAN usai menikmati libur musim panas di Kanada tak berbekas di wajah Presiden Prancis Jacques Chirac. Kepulangannya disambut musibah yang hingga minggu lalu merenggut nyawa ribuan penduduk Prancis.
Penyebabnya tak lain dari gelombang udara panas yang berembus sejak paruh pertama Agustus. Suhu udara tercatat mencapai angka 40 derajat Celsius. Prancis tak terpanggang sendirian. Hampir seluruh Eropa hingga Amerika Utara saat ini tengah mengalami musim panas yang teramat membakar.
Dari Inggris, badan meteorologi setempat melaporkan catatan suhu hingga 37,8 derajat Celsius. Tertinggi sejak 13 tahun lalu, ketika suhu hinggap di angka 37,1 derajat Celsius. Portugal melaporkan sedikitnya sembilan orang tewas akibat gelombang panas yang membakar hutan. Tingginya suhu udara di Jerman membuat para petani mengalami kerugian besar akibat tanaman yang rusak, jauh melebihi kerugian yang disebabkan banjir pada 2002. Di Spanyol harga ayam mendadak melambung ke awang-awang ketika gelombang panas membunuh jutaan ternak yang ada di sana.
Di Swiss hawa panas juga menghantam puncak-puncak gunung Alpen. Gletser yang selama ini perkasa menutupi puncak Aplen pun meleleh. Padahal pegunungan ini menjadi sumber bagi sejumlah sungai yang membelah kota-kota besar di Eropa. Ancaman banjir pun menampak di pelupuk mata. Suhu udara di permukaan Alpen menghangat menjadi 15_20 derajat Celsius.
Itu di Eropa. Di belahan bumi lainnya kemarau panjang sedang mencekik. Air mendadak menyusut di Pulau Jawa. Hujan, yang biasanya jatuh pada penghujung Agustus, mendadak raib.
Yang mengherankan, tak ada peristiwa iklim luar biasa yang bisa membuat segala peristiwa itu terjadi. Menurut Paulus Agus Winarso, anggota Dewan Riset Nasional dan peneliti iklim di Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) serta Kementerian Lingkungan Hidup, data cuaca berada pada rentang wajar. Termasuk El Nino yang tidak sebengal tahun 1997.
Lalu apa yang membuat berbagai peristiwa ekstrem ini terjadi? Moekti Harsoejachmoen, peneliti perubahan iklim di Yayasan Pelangi, sebuah LSM lingkungan, mewaspadai pemanasan global. "Setidaknya, ini merupakan indikator untuk mewaspadai pemanasan global," katanya.
Pemanasan global memang tengah menjadi perdebatan di Eropa. Asher Minns, peneliti dari Britain's Tyndall Centre for Climate Change Research, tidak menyebut pemanasan global sebagai biang keladi. Tapi, katanya, apa yang tengah terjadi "makin menguatkan dugaan pemanasan global".
Pemanasan global sendiri bukan barang baru dalam diskursus perubahan iklim. Sudah lama para ahli memberikan peringatan akan efek gas rumah kaca yang dipicu ulah manusia selama ratusan tahun. Ini, menurut Moekti, disebabkan pemanfaatan energi dan pola konsumsi energi yang tidak bersahabat. Sebagaimana diketahui, sumber energi utama yang dipakai manusia berasal dari bahan baku fosil yang banyak menghasilkan emisi karbon.
Menurut catatan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), emisi gas yang terperangkap di atmosfer bumi akan meningkatkan temperatur bumi 1,4 hingga 5,8 derajat Celsius dalam 100 tahun ke depan. Padahal suhu bumi sudah mengalami peningkatan 0,6 hingga 1 derajat Celsius sejak seabad lalu. Kondisi ini membuat badan meteorologi dunia, World Meteorological Organization (WMO), mengingatkan bahwa jumlah dan intensitas peristiwa ekstrem akan meningkat, seperti gelombang panas yang menerpa Eropa.
Gelombang panas itu, menurut ahli cuaca di Program Studi Meteorologi Institut Teknologi Bandung, Dr. Bayong Thasyono, merupakan massa udara yang bergerak dengan temperatur tinggi. Yang membuatnya menjadi bencana adalah ketika perubahan temperatur terjadi secara mendadak atau kelewat ekstrem. Kalau ini terjadi, manusia dan binatang bisa sakit, bahkan bangunan dan jalan aspal bisa pecah.
Sialnya lagi, pada musim panas ini siang hari lebih lama—rata-rata 18 jam. Artinya, radiasi sinar matahari diterima bumi lebih lama. Padahal Eropa merupakan wilayah angin turun (subsidiensi). Tak mengherankan bila gelombang panas seolah tertumpah ke wilayah ini.
Sebetulnya, Bayong menilai bahwa cuaca sekarang ini dalam kondisi normal. Hanya, lingkungan bumi semakin parah. Transpirasi (penguapan dari tanaman) berkurang. Radiasi matahari pun masuk semena-mena. Selain itu, menurut Moekti, perubahan tata guna lahan yang terjadi di seluruh dunia ikut memperparah pemanasan.
Semestinya, bumi punya kemampuan menghadapi tekanan. "Sayangnya, perilaku manusia telah melucuti kemampuan bumi," ujar Moekti.
Manusia jugalah yang, karenanya, kini harus memanen gelombang panas dan kemarau panjang.
Agus Hidayat, Bobby Gunawan (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini