Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PEKUBURAN muslim Choa Chu Kang di Singapura begitu senyap. Sesekali cuma terdengar kicau burung dan deru mobil peziarah. Di depan sebuah makam yang rapi berumput hijau dan berpembatas balok semen, seorang perempuan berkerudung biru tertunduk khusyuk. Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa-doa permohonan. Setelah usai, tangannya menjulur, mengusap pusara yang tertancap di Plot 1696 Blok 24, yang bertuliskan "Saminten. Kembali ke Rahmatullah Ta'ala, Jum'at 9 Safar 1424, bersamaan 11 April 2003".
"Saya belum pernah bertemu almarhumah. Tapi dia adalah kawan dan saudara kami juga. Kami akan mengajak teman-teman menziarahinya setiap Lebaran," ujar Nining Johar, si pelayat itu, sembari bangkit dari tempat ia bersimpuh.
Nining, seperti juga Saminten, adalah pembantu rumah tangga Indonesia yang mengadu peruntungan di Singapura. Tapi ia jauh lebih beruntung. Wanita asal Bandung ini masih bertahan hidup. Nasibnya tak semengenaskan Saminten, satu dari 90 bedinde dari negeri ini yang dilaporkan mati secara tragis di Negeri Singa hanya dalam tempo tiga tahun, sejak Januari 1999 lampau.
Menurut kesaksian How Hee Fatt, warga Singapura yang menjadi majikan Saminten, perempuan lugu itu ditemukan tak lagi bernyawa pada suatu subuh, 11 April lalu, di flat mereka di Jalan Ang Mo Kio. Ketika itu, masih pukul 05.10, ayahnya bangun ingin melepas hajat. Tapi kamar mandi terkunci dari dalam dengan lampu yang terang menyala. Si kakek, yang masih terkantuk-kantuk, mengira Saminten lagi berada di dalam. Ia lalu membatalkan niatnya, dan segera kembali mendengkur.
Hee Fatt, seorang ahli komputer, baru terbangun persis pukul 06.00 saat weker berdering kencang. Begitu bangkit, ia melihat ada keanehan. Tak ada botol susu yang biasanya telah disiapkan Saminten untuk salah satu anaknya yang baru berusia dua tahun.
Istri Hee Fatt segera ke belakang mencari Saminten. Dapur kosong. Yang dia temukan hanyalah kamar mandi yang terkunci dari dalam itu. Setelah ditunggu sekian lama tak ada tanda-tanda aktivitas apa pun di dalam, si nyonya muda lalu menggedor pintu. Tapi tetap tak ada jawaban. Keluarga itu sontak curiga. Mereka lalu membukanya secara paksa, dan seisi rumah pun menjerit kaget. Saminten, pembantu mereka yang baru bekerja sebulan, tergantung mati di pipa air. Lehernya patah tercekik sarung batik cokelat miliknya sendiri.
Hee Fatt lalu menghubungi nomor darurat 999. Lima belas menit kemudian, polisi Divisi Ang Mo Kio datang bersama ambulans dan tenaga medis. Tapi nyawa Saminten tak tertolong. Pada pukul 06.28, perempuan malang itu dipastikan tewas. Polisi menggeledah seisi apartemen dan hanya menemukan empat lembar surat serta sejumlah obat-obatan ringan milik Saminten. Apa latar belakang kematiannya, hingga kini tak jelas terungkap.
Saminten lahir di Kediri, 24 tahun silam. Baru pada 1 Maret lalu ia mengadu untung ke Negeri Singa, melalui agen tenaga kerja bernama PT Sumber Dharma Bhakti, Malang, yang berkongsi dengan PT Good Year Agency di Singapura.
Sebelum bekerja, ia harus mendekam selama lima hari di penampungan Good Year di Singapura. Di situlah tekanan mulai ia rasakan. "Mas, agennya kereng (keras—Red) banget," demikian ditulis Saminten dalam surat pertama dan terakhirnya kepada suaminya, Rofingi, di Kediri, akhir Maret lalu.
Saminten mulai bekerja di rumah keluarga How pada 6 Maret. Tugasnya berat: menangani semua pekerjaan rumah tangga, dari mencuci, memasak, membersihkan apartemen, sampai mengurus dua anak yang masih balita. Belum lagi melayani segala keperluan kedua orang tua Hee Fatt yang juga tinggal di situ. "Kalau nyuci sampai empat bak. Tangan saya sampai lecet-lecet, kuku seperti mau mengelupas. Dari pagi sampai tengah malam tak ada habisnya bekerja," Saminten mengeluh dalam surat yang ditulisnya dalam bahasa Jawa.
Beban itu jauh lebih berat ketimbang saat ia bekerja di Malaysia dulu. Selama tiga tahun, juga sebagai pembantu rumah tangga, di negeri Mahathir ia hanya perlu bekerja sampai sore hari. "Di Malaysia, saya sudah bisa tidur jam 10 malam. Tapi di sini, sejak bangun pukul lima hingga tidur lagi jam 12 malam, saya bekerja terus tiada henti. Saya rodo getun (agak menyesal). Tapi biarlah kujalani saja, sudah telanjur sampai di sini, apalagi kalau ingat masih punya utang," demikian ditulis Saminten.
Diakui Rofingi, di kampung, mereka memang dililit utang. Jumlahnya Rp 2,7 juta, cukup besar untuk hitungan orang desa seperti mereka. Duit itu dipinjam dari seorang kerabat sebagai ongkos persiapan Saminten ke Singapura.
Terhadap keluhan itu, keluarganya paling hanya bisa berkirim surat balik sambil menyabar-nyabarkannya. "Ten, kalau tangan dan kuku sakit, minta ngaso (istirahat). Kalau tidak bisa, ya, pakai sarung tangan. Kalau tidak punya, minta sama majikan. Saya pernah di Singapura. Majikan di situ memang galak-galak, tidak seperti di Malaysia. Tapi mereka hanya galak di mulut," demikian Sumarni, kakak kandungnya, berusaha membesarkan hati sang adik melalui surat.
Tapi Saminten rupanya tak setahan itu. Apalagi, sudah tenaganya diperah, dia masih "dikerjai" pula oleh agen. Gajinya disunat—katanya sebagai ganti rugi ongkos pengiriman—hingga tujuh bulan lamanya, bukan enam bulan seperti perjanjian semula. Jumlahnya pun dipangkas dari 270 dolar Singapura jadi hanya 230 dolar. Alhasil, selama masa pemotongan upah, Suminten (nama asli Saminten) cuma mengantongi 10 dolar Singapura tiap bulannya. "Cuma cukup untuk beli sabun dan bedak," tuturnya, nelangsa.
Hee Fatt, sang majikan, menyanggah telah memperlakukan bedindenya secara tak manusiawi. Dia mengaku tiap hari Saminten bekerja dari pukul 6 pagi hingga 10 malam, "Tapi dia tak pernah komplain kelebihan beban kerja. Kami sekeluarga menyayangi dia. Dia pembantu yang baik dan sopan. Kami tak tahu apa alasan dia mengakhiri hidupnya dengan cara itu." Sepengetahuan Hee Fatt, sebelum meninggal, Saminten beberapa kali menerima surat dari keluarganya di Kediri. Tapi ia tak pernah tahu apa isinya.
Agen lokal yang menyalurkan Saminten, PT Sumber Dharma Bakti, tak bersedia memberi penjelasan. Tanggapan hanya diperoleh dari pihak Good Year Agency, mitra PT Sumber Dharma Bakti di Singapura. Helen Tan, bos Good Year, membantah suara miring yang tertuju ke arahnya. "Kami memperlakukan semua pembantu dengan baik. Kami agen kecil. Semua kami latih dan ditampung di rumah saya sendiri," katanya, "Saminten rajin, percaya diri, dan sangat sopan."
Helen menyatakan sama sekali tak menyangka hidup Saminten bisa berakhir seperti itu. Menurut Helen, seminggu sebelum kejadian, ia masih berkomunikasi dengan Saminten untuk mengurus izin kerjanya di Kementerian Tenaga Kerja Singapura. Saat itu ia mengaku sempat bertanya apakah Saminten kerasan dan punya keluhan. Jawabannya, kata Helen, "Semua baik-baik saja."
Ternyata, yang terjadi kemudian jauh dari baik-baik saja. Apalagi buat keluarga Saminten di Kediri. Sampai kini mereka tak pernah bisa melihat jenazah almarhumah. Penyebabnya, manajemen PT Sumber Dharma Bakti lepas tangan begitu saja dan tak mau memulangkan jasad Saminten ke Tanah Air. "Agennya berkali-kali kami undang untuk mengurus jenazah Saminten, tapi tak pernah datang," ujar Sa'roni dari Kedutaan Besar RI di Singapura.
Akhirnya, setelah hampir dua bulan terlunta-lunta di kamar mayat, konsulat RI memakamkan jasad malang itu di kesunyian pekuburan Choa Chu Kang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo