Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Efektif Literasi Digital daripada Larangan Medsos

Mengajarkan anak-anak literasi digital jauh lebih efektif daripada melarang mereka menggunakan medsos. Belajar dari Finlandia.

23 Januari 2025 | 15.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ilustrasi anak membuka laman media sosial TikTok. Shutterstock

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ringkasan Berita

  • Australia menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan aturan larangan media sosial bagi anak di bawah usia 16 tahun, berlaku sejak 29 November 2025.

  • Mengajarkan anak-anak tentang penggunaan Internet secara aman jauh lebih efektif ketimbang melarang mereka menggunakan medsos.

  • Finlandia memiliki pendekatan komprehensif dan terpadu dalam pendidikan literasi digital untuk membekali warga negara dari segala usia dengan keterampilan yang diperlukan untuk menghadapi dunia digital secara efektif.

DIBERLAKUKANNYA aturan tentang larangan menggunakan media sosial (medsos) bagi anak di bawah usia 16 tahun oleh pemerintah federal Australia memicu perdebatan luas. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Australia menjadi negara pertama di dunia yang memberlakukan aturan larangan medsos bagi anak. Undang-undang yang terkait dengan larangan tersebut resmi disahkan pada 29 November 2024 dan aturan ini sudah mulai diuji coba pada Januari 2025, sebelum resmi berlaku penuh 12 bulan setelah disahkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kebijakan ini akan berdampak pada jutaan anak muda, keluarga, dan pendidik di negara tersebut. Namun apakah aturan ini akan benar-benar efektif? 

Meskipun tujuan larangan ini adalah melindungi anak-anak dari ancaman kekerasan daring, kebijakan tersebut tampaknya lebih merupakan reaksi untuk meraih dukungan politik saja.

Proses belajar menggunakan perangkat laptop di SDN 01 Malasari, Bogor, Jawa Barat, 9 April 2022. Antara/Muhammad Adimaja

Di era digital seperti sekarang, kemajuan teknologi terus berkembang dan komunikasi daring telah menjadi bagian penting dari kehidupan sehari-hari. Mengajarkan anak-anak tentang penggunaan Internet secara aman rasanya akan jauh lebih efektif ketimbang melarang mereka menggunakan media sosial. Pendekatan ini tidak hanya melindungi anak-anak dari bahaya, tapi juga memastikan mereka tetap melek teknologi.

Di Australia, beberapa pihak telah menyuarakan kekhawatiran mereka. Anggota parlemen independen, Zoe Daniel, misalnya, menyoroti potensi meningkatnya konten tidak aman di media sosial. Menurut dia, orang dewasa akan merasa lebih bebas berbagi apa pun di media sosial setelah anak-anak dilarang mengakses platform tersebut.

“Apa yang kita lakukan adalah seperti mengatakan, ‘Baiklah, kami akan mengunci semua anak di bawah usia 16 tahun, kemudian membiarkan orang dewasa melakukan apa pun yang mereka inginkan di sana’. Kita juga tahu bahwa beberapa anak tetap akan menemukan cara untuk mengaksesnya,” katanya.

Daniel bukan satu-satunya yang menyuarakan kritik. Mantan anggota Partai Buruh yang kini menjadi senator independen dari Australia Barat, Fatima Payman, juga menyuarakan keprihatinan serupa. Dengan menggunakan istilah slang TikTok, ia menekankan bahwa kaum muda sering merasa suara mereka tidak didengar oleh parlemen.

Mengapa Larangan Bermedia Sosial Adalah Pendekatan Keliru?

Bagi anak muda, medsos adalah tempat mereka menjalani sebagian besar kehidupan sosial. Melarang akses ini sepenuhnya dapat memutus hubungan mereka dengan teman sebaya dan berdampak negatif pada kesejahteraan sosial mereka.

Penelitian kami yang dipublikasikan dalam jurnal Frontiers in Education edisi 26 Agustus 2021 terhadap siswa sekolah menengah internasional membuktikan bahwa anak-anak yang tinggal jauh dari keluarga dan teman lebih rentan mengalami kesepian serta isolasi sosial. Meski penelitian ini berfokus pada siswa internasional, temuan tersebut relevan untuk memahami risiko yang dihadapi anak muda secara umum.

Selain itu, melarang akses media sosial hingga anak berusia 16 tahun tidak menjamin perlindungan dari konten berbahaya. Anak-anak justru bisa menghadapi risiko yang lebih besar saat mereka pertama kali terekspos konten medsos tanpa pembekalan yang memadai.

Contoh terbaru, misalnya, belum lama ini pemerintah Australia mencabut visa seorang bintang OnlyFans yang mencoba merekrut remaja laki-laki berusia 18 tahun dalam acara “Schoolies” untuk membuat konten di laman OnlyFans-nya. Sementara visa bintang OnlyFans itu dicabut, kreator OnlyFans lain yang berbasis di Australia mengunggah konten di TikTok yang menunjukkan video para pemuda antre untuk bertemu dengan mereka.

Jadi, meskipun kasusnya sudah ditangani, perilaku predator serupa bisa terus muncul. Tanpa pendidikan atau sistem pendukung yang tepat, anak-anak tidak akan siap mengenali dan menghadapi risiko tersebut.

Kalau anak-anak tidak diberi kesempatan belajar menavigasi media sosial sebelum berusia 16 tahun, bagaimana mereka akan menghadapi risikonya setelah itu? Dalam hal ini, menurut saya, pendidikan tentang ketahanan digital menawarkan solusi yang lebih berkelanjutan.

Pendekatan Finlandia

Finlandia adalah contoh negara yang memiliki pendekatan komprehensif dan terpadu dalam pendidikan literasi digital. Sistem dirancang untuk membekali warga negara dari segala usia dengan keterampilan yang diperlukan guna menghadapi dunia digital secara efektif.

Sistem pendidikan Finlandia mengintegrasikan literasi digital sebagai elemen dasar dalam kurikulum mereka. Finlandia mengajarkan teknologi di semua jenjang pendidikan untuk mempersiapkan siswa menghadapi era digital. 

Sejak taman kanak-kanak, siswa diperkenalkan dengan alat digital, keamanan siber, dan teknologi untuk mempelajari perilaku online yang bertanggung jawab. Akademikus Finlandia, Sirkku Lähdesmäki dan Minna Maunula, menekankan bahwa

“Menciptakan hubungan yang aman serta memberdayakan anak dengan media digital adalah tanggung jawab bersama dalam pendidikan yang memerlukan partisipasi aktif dari sekolah dan keluarga.”

Personel kepolisian Polda Sulawesi Tenggara memberikan edukasi kepada ratusan pelajar untuk bijak menggunakan media sosial, di Palu, Sulawesi Tenggara, 9 Agustus 2024. Antara/HO-Humas Polda Sulawesi Tenggara

Dengan mengintegrasikan literasi digital dalam sistem pendidikan, keterampilan tersebut tidak diajarkan secara terpisah, melainkan menjadi bagian dari keseluruhan proses pembelajaran.

Literasi digital di Finlandia tidak hanya terbatas pada sekolah formal. Perpustakaan umum dan pusat-pusat komunitas juga menyediakan program-program pengembangan keterampilan bagi orang dewasa, memastikan literasi digital merupakan pembelajaran sepanjang hayat. Bagi Finlandia, kompetensi digital adalah keterampilan kewarganegaraan. 

Pendekatan ini telah dilakukan selama satu dekade, dengan keberhasilan yang cukup besar. Pada 2014, sebagai tanggapan atas maraknya misinformasi, pemerintah Finlandia meluncurkan inisiatif antihoaks yang bertujuan mengajari warga, pelajar, jurnalis, dan politikus tentang cara melawan informasi palsu yang dapat memecah belah masyarakat.

Inisiatif ini merupakan bagian dari pendekatan lintas sektoral untuk mempersiapkan warga negara dari segala usia dalam menghadapi lanskap digital yang kompleks. 

Selain itu, sistem pendidikan direformasi untuk menekankan pentingnya pemikiran kritis. Siswa diajarkan mengidentifikasi bot, mengenali manipulasi gambar dan video, serta memahami ciri akun palsu. 

Upaya ini terbukti efektif, dengan Finlandia menduduki peringkat pertama dari 35 negara dalam indeks literasi media digital selama enam tahun berturut-turut.

Disamakan dengan Merokok

Beberapa politikus di Australia menyamakan dampak negatif penggunaan media sosial dengan merokok dalam hal sifat adiktif dan potensi bahayanya. Perdana Menteri Australia Selatan Peter Malinauskas, misalnya, mengatakan 

“Bukti menunjukkan bahwa akses dini ke media sosial yang membuat ketagihan membahayakan anak-anak kita […] Ini tidak berbeda dengan rokok atau alkohol. Ketika sebuah produk atau layanan membahayakan anak-anak, pemerintah harus bertindak.”

Perbandingan antara media sosial dan rokok menunjukkan tantangan jangka panjang dalam mengatasi masalah ini. Proporsi warga Australia berusia 14 tahun ke atas yang pernah merokok memang menurun secara signifikan selama dua dekade terakhir. Namun keberhasilan ini merupakan hasil dari kampanye perubahan jangka panjang yang dilakukan pemerintah sejak 1990-an. Dan keberhasilan ini tidak terlepas dari kampanye pendidikan publik yang terpadu.

Usulan pemerintah untuk melarang media sosial terlalu menyederhanakan masalah yang kompleks. Perlindungan anak muda membutuhkan solusi jangka panjang, seperti literasi digital, pilihan yang tepat, peningkatan kesadaran, serta kebijakan perlindungan yang kuat—bukan langkah instan jangka pendek yang terburu-buru dan berlebihan.l


Aida Hurem, pengajar di Southern Cross University, Australia, berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Artikel ini pertama kali terbit di The Conversation Indonesia.

Masuk untuk melanjutkan baca artikel iniBaca artikel ini secara gratis dengan masuk ke akun Tempo ID Anda.
  • Akses gratis ke artikel Freemium
  • Fitur dengarkan audio artikel
  • Fitur simpan artikel
  • Nawala harian Tempo
Susan Grantham

Susan Grantham

Susan Grantham adalah seorang dosen komunikasi di Universitas Griffith. Dia berpengalaman lebih dari 15 tahun bekerja di bidang komunikasi strategis dan manajemen media sosial untuk Pemerintah Queensland di berbagai posisi di tingkat manajer dan direktur. Penelitiannya berfokus pada tren media sosial sebagai alat komunikasi strategis bagi pemerintah dan organisasi semu-pemerintah dalam keterlibatan sehari-hari dan selama peristiwa krisis. 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus