WERENG, momok yang ditakuti para petani itu, kini sedang menghadapi ancaman baru. Dalam pertemuan ilmiah yang diselenggarakan Badan Tenaga Atom Nasional (Batan) di Jakarta, pekan lalu, sebuah makalah berbicara perihal "penandaan wereng cokelat dengan 32p" - unsur isotop tidak stabil yang memancarkan sinar radioaktif, alias sinar beta. Makalah ini, yang disajikan Ahmad Nasroh Kuswadi, staf peneliti Bidang Pertanian Pusat Aplikasi Isotop dan Radiasi (PAIR) Batan, muncul di antara 49 makalah yang serba menarik, dan dibahas sekitar 100 hadirin dari pelbagai instansi. Tema seminar itu sendiri cukup penting: "Aplikasi Teknik Nuklir dalam Bidang Pertanian dan Peternakan". Nasroh, alumnus Fakultas Pertanian UGM, 1975, memulai percobaannya Januari lalu. Dengan niat mempelajari peri laku wereng cokelat, misalnya pola migrasi dan dinamika populasi serangga perusak padi itu, Nasroh memilih cara yang tepat untuk memasukkan isotop 32p ke dalam tubuh hewan tersebut. Akhirnya, ia memutuskan menggunakan perantara, yaitu tanaman padi itu sendiri. Pada mulanya, benih padi ditumbuhkan di dalam larutan Kimura, larutan buatan dengan komposisi nutrisi yang khusus dirancang untuk pertumbuhan. Benih yang ditanam dari varietas TN-I (Taichung Native 1), varietas asal Taiwan yang peka terhadap wereng blotipe I. Setelah berumur 14 hari, padi dipindahkan satu-satu ke cawan plastik berisi 50 ml Kimura-B. Larutan terakhir ini mengandung bahan radioaktif 32p dalam konsentrasi 0,1 uCi/ml (mikro Curie per milimeter). Sepuluh hari dalam cawan itu, padi tadi sudah mengandung bahan 32p. Barulah pada setiap tanaman padi dilepaskan seekor wereng betina dewasa, dan dibiarkan terkurung 24 jam. Isotop 32p dalam larutan Kimura-B adalah dalam bentuk persenyawaan KH2PO4. "Isotop 32p itu sudah dibuat di sini," kata Nasroh kepada Putut Tri Husodo dari TEMPO, pekan lalu. Maksudnya, di Pusat Penelitian Teknik Nuklir (PPTN), Bandung. Setelah 24 jam menyedot cairan padi beradioaktif, sang wereng sudah ketularan 31% radioaktivitas dibandingkan dengan tingkat radioaktivitas dalam tiap miligram berat kering batang padi. Melalui penelitiannya, Nasroh juga berhasil menemukan waktu paruh 32p, yaitu empat hari. Waktu paruh adalah kurun waktu penurunan derajat radioaktivitas isotop hingga separuhnya, yang di luar sistem biologi bisa berlangsung 14,3 hari. Mengapa perbedaannya demikian tajam? "Di dalam tubuh wereng, 32p itu mengalami metabolisasi dan ekskresi," ujar Nasroh. Dengan teknik ini, diharapkan penyebaran wereng bisa lebih dipelajari. Misalnya, di daerah "gawat" dihamparkan tanaman padi yang mengandung unsur isotop. Padi itu diserang wereng yang sedang mengganas. Bila di daerah lain terjadi juga amukan wereng, tinggal "menciduk" wereng di tempat itu, dan memeriksa radioaktivitas di dalam tubuhnya. Karena itu, dosisnya harus tepat. Harus dijaga agar bahan radioaktif dalam tubuh wereng tetap mampu "berpijar". Kalau dosisnya terlalu kecil, radiasinya sulit dilacak, mengingat waktu paruh yang singkat tadi. Selain mempelajari pola penyebaran, isotop juga bisa digunakan menaksir tingkat populasi wereng di lapangan. Caranya dengan menyebar wereng yang sudah kemasukan isotop, lalu beberapa waktu kemudian melakukan penangkapan acak di lapangan. "Nah, proporsi wereng beradio isotop itu bisa digunakan menaksir populasi secara keseluruhan," kata Nasroh. Semua usaha pelacakan ini, pada akhirnya, bertujuan menyimpulkan tindakan paling tepat untuk memerangi hama ganas itu. Nasroh, yang sejak 1976 menjadi staf Batan, dan empat tahun kemudian mulai "menggauli" radio isotop, mengaku bahwa penelitiannya belum tuntas. Hal ini dibenarkan Hendratno, kepala Bidang Pertanian PAIR dan lulusan biologi pertanian Universitas Tennesee, AS. "Kami baru mencoba menentukan dosis yang pas, sehingga tidak mengganggu sistem biologi wereng itu sendiri," kata Hendratno.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini