Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsip

Di ladang-ladang pembantaian

Proses pembuatan film the killing fields, persiapan produser, sutradara, skenario, serta riwayat asli dari haing s. ngor aktor pembantu dan dith pran siempunya cerita. (sel)

20 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM The Killing Fields atau Ladang Pembantaian, menurut Dr. Haing S. Ngor, salah seorang pemainnya, "Amat sangat mencerminkan kenyataan, tapi kurang cukup mengemukakan kebenaran, kurang cukup bengis. Penderitaan rakyat Kamboja tak cukup tergambar di dalamnya." Ngor adalah orang Kamboja yang menjadi saksi hidup kebiadaban Khmer Merah pada pembabatan habis rezim Lon Nol di Phnom Penh sejak 1975 - yang difilmkan itu. Empat tahun lamanya ia menanggung azab di bawah rezim prokomunis itu, dan berusaha keras menyembunyikan identitas aslinya sebagai dokter. Sebab, sebagai seorang terpelajar, ia jadi incaran bedil. Setelah Vietnam menduduki. Kamboja, Ngor melarikan diri ke Muangthai, dan kini ia hidup sebagai pengungsi di Amerika Serikat bersama puluhan ribu pengungsi Kamboja lainnya. Permainan Ngor sebagai peran pembantu (tokoh Dith Pran) dalam film itu menghadiahkan sebuah Oscar baginya. Padahal, seumur hidup ia tak pernah mengenal dunia panggung, apalagi film. Dan di Indonesia - setidak-tidaknya - film The Killing Fields termasuk film asing yang sangat menguntungkan. Lebih dari enam minggu bertahan di bioskop Jakarta dan beberapa kota besar di Jawa Barat dan Jawa Tengah - baru pada putaran pertama dan kedua saja. Keadaan alam dan kehidupan rakyat Kamboja yang masih di kawasan Asia Tenggara memang tak banyak beda dengan Indonesia. Lagi pula, peristiwa yang dituturkan film itu terjadi baru 10 tahun lalu, dan diberitakan cukup luas dalam media massa. Tapi, barangkali, yang paling menggugah penonton kita adalah kenyataan bahwa peristiwa yang digambarkannya nyaris menimpa rakyat Indonesia sendiri. Nyaris - seandainya, ya, seandainya Partai Komunis Indonesia dengan Gerakan 30 September-nya 20 tahun yang lalu berhasil menancapkan kekuasaan. Hal lain: Indonesia adalah salah satu negara yang masuk pertimbangan untuk tempat pembuatan film itu, ketika produser dan sutradaranya mulai membuat persiapan sekitar empat tahun lalu. * * * Cerita The Killing Fields didasarkan pada berita-berita perang dari Kamboja yang dikirimkan Wartawan Sydney Schanberg ke korannya, The New York Times. Sejak 1972 Schanberg ditempatkan di Phnom Penh. Ia didampingi Dith Pran, orang Kamboja yang bukan saja jadi penerjemahnya, tapi melakukan segala macam hal untuk memperlancar tugas jurnalistiknya. Lambat laun hubungan Schanberg-Pran lebih mirip hubungan dua saudara. Apalagi ketika Pran, yang bertubuh kurus tapi ulet dan penyabar serta banyak akal, berhasil menyelamatkan Schanberg dan tiga wartawan kulit putih lain dari ancaman hukuman mati Khmer Merah yang mencurigai semua kulit putih . Berkat pemberitaan Schanberg, mata dunia terbuka akan kebengisan Khmer Merah di Kamboja. Lebih dari itu, pemberitaan Schanberg membuahkan Hadiah Pulitzer (1976) - penghargaan jurnalistik yang diidamkan tiap wartawan Amerika. Tapi hadiah ini pula kemudian jadi semacam "ganjalan" bagi Schanberg. Sebab, pada saat itu, nasib Pran - yang dianggapnya penunjang berita yang ditulisnya - tak diketahui. Hanya istri dan empat anak Pran berhasil diungsikan Schanberg ketika rombongan pengungsi Amerika meninggalkan Phnom Penh. Beberapa hari setelah menyelamatkan keluarga Pran, ketika Khmer Merah memerintahkan semua kulit putih hengkang dari Kamboja, Schanberg tak berhasil membawa serta Pran. "Utang nyawa" inilah yang menggelisahkannya - sampai empat tahun kemudian, ketika Schanberg mengetahui bahwa Pran masih hidup Wartawan Amerika itu kemudian berusaha keras mengeluarkannya dari Kamboja. Usaha itu berhasil. Pengalaman Schanberg di Kamboja dan hubungan batinnya dengan Pran itu kemudian dikisahkannya dalam sebuah artikel berjudul "Hidup-matinya Dith Pran: Sebuah Kisah tentang Kamboja", dimuat di majalah The New York - Times 20 Januari 1980. Salah seorang yang membaca tulisan itu adalah produser film Inggris terkemuka, David Puttnam. Ia segera tertarik, dan merasa mendapat ilham untuk sebuah film yang sudah lama diinginkannya untuk dibuat. Puttnam, 44, termasuk ke dalam generasi baru produser Inggris yang tampil pada tahun 1970-an. Sebuah produksinya, Chariots of Fire (1981), dengan tema masalah hukum, dipuji dunia sebagai lambang kebangkitan kembali industri film Inggris. Berkat film itu, ia dianugerahi tanda jasa Order of the British Empire (OBE) oleh Ratu Elizabeth dan gelar doktor kehormatan dalam ilmu hukum dari Universitas Bristol, Inggris. Puttnam sudah lama merasa tidak ada film yang benar-benar bagus yang menggambarkan persahabatan dan akibat politik pada kehidupan orang awam. Ia ingin sekali membuat film seperti itu. Dan bertemulah ia dengan artikel Schanberg. "Yang pertama menarik perhatian saya memang hubungan kental antara Schanberg dan Pran," kata Puttnam setelah membaca tulisan itu. "Tujuan saya ialah menelusuri hal-hal yang sudah diungkapkan The Deerhunter dan Apocalypse Now (dua film bermutu tentang perang Indocina), tapi dari sisi manusianya. Yaitu mencoba mengemukakan sebuah kisah Amerika dengan sentuhan Eropa." Pendekatan Puttnam itu ada latar belakangnya. "Generasi saya menjadi saksi - dengan perasaan lega - atas dipretelinya suatu kekuasaan bersenjata secara berdikit-dikit, sedangkan orang Amerika tak punya masa lampau seperti itu. Keharusan menerima datangnya zaman purnaimperialisme menempatkan kami di Inggris dalam posisi lebih baik ketimbang Amerika," katanya. "Amerika memandang Asia Tenggara sebagai serangkaian konflik dan persoalan masa kini kami menganggapnya sebagai kelanjutan dari sesuatu yang pangkalnya sudah ada berabad-abad yang lalu." Maka, Puttnam segera bersiap-siap. Yang pertama dihubunginya tentu saja Schanberg, si pemberi ilham. Ketika Puttnam menemuinya, ternyata sudah ada beberapa produser lain yang menghubungi wartawan itu. Puttnam menjelaskan kepadanya tentang alasan ia ingin membuat film itu dan tanggapannya atas tulisan Schanberg. "la minta waktu empat bulan untuk berpikir, sebelum mengambil keputusan," tutur Putnam tentang Schanberg. Dan meskipun nilai tawaran yang diajukan Puttnam kalah besar ketimbang produser lain, "Tampaknya, Schanberg sudah lama kurang senang dengan gaya produser Hollywood. Inilah yang menguntungkan saya," katanya. * * * Penulisan skenario diserahkan Puttnam kepada Bruce Robinson, 39. Robinson sebenarnya tak pernah berpendidikan film - bahkan SMP saja tak tamat. Pada usia 15 tahun, Robinson sudah minggat dari sekolah untuk main drama atau film, membawakan peran apa saja. Dua dari karier filmnya yang terpenting ialah bermain di bawah Sutradara Zeffirelli (Romeo and Juliet) dan Truffaut (The Story of Adele H.). Setelah mondar-mandir di dunia film, Robinson mencoba menulis skenario dan novel. Puttnamlah produser pertama yang mau membayar jerih payahnya sebagai penulis. Puttnam pula yang melihat bakat unik pada Robinson:.sanggup memberi jiwa pada hal-hal biasa yang oleh orang lain dianggap "kering". Robinson menghabiskan waktu dua setengah tahun untuk riset dan menulis skripnya, termasuk antara lain menemui Schanberg dan Dith Pran di Amerika serta mengunjungi Asia Tenggara. The Killing Fields adalah proyek kerja samanya yang keempat dengan Puttnam. Ketika tiba di Bangkok untuk riset, Robinson tak tahu apa yang harus dilakukannya. Ia bukan wartawan, dan benci kekerasan. Karena itu, ia pun tak mau nangkring di dekat-dekat kamp pengungsi, apalagi mengunjunginya. Ia cuma tahan seminggu di sana. Dari Jon Swain (wartawan foto Inggris, salah satu dari tiga wartawan kulit putih yang bersama Schanberg diselamatkan Pran), ia memperoleh foto-foto situasi Kamboja yang dapat membantu risetnya. Ia juga membaca segala yang bisa didapatnya, dan berbicara dengan sejumlah wartawan. "Saya pusatkan perhatian saya pada rasa takut yang berkecamuk di kalangan mereka ketika Khmer Merah masuk Phnom Penh dan ketika pesawat terbang (Amerika) yang terakhir membawa pengungsi meninggalkan Kamboja," katanya kemudian. Ketika memulai tulisannya, ia mencurahkan seluruh simpatinya pada Dith Pran dan Kamboja. Tapi semakin jauh skrip ditulisnya, ia semakin tertarik pada Schanberg. "Saya anggap dia orang yang berani karena mempertaruhkan jiwanya untuk menyiarkan berita tentang Kamboja ke seluruh dunia," katanya. "Ketika akhirnya ia membaca skrip saya, ia bilang saya kurang keras menggambarkannya." Puttnam akhirnya menyerahkan skrip itu kepada Roland Joffe, calon sutradara yang dipilih Puttnam. Puttnam tertarik pada reputasi Joffe karena sutradara ini, yang muncul antara lain dengan film TV, sangat cermat membuat persiapan sebelum mulai bekerja. Puttnam juga menganggap Joffe cukup berpengalaman dalam masalah politik: ia mengenal aliran ekstrem kiri dan menentangnya. Lagi pula, Joffe pandai mengatur orang. Menghadapi kawan sekerja yang hanya lima orang ataupun sepuluh ribu, Joffe akan menunjukkan gairah yang sama. Ia mampu menghadapi orang dalam jumlah besar tapi sementara itu memperlakukan mereka sebagai pribadi-pribadi - bukan kelompok. Draft pertama skrip bikinan Robinson terlalu panjang bagi Joffe - ia menganggap alur ceritanya belum terarah benar. Tapi Joffe mengakui, skrip itu ditulis dengan kedahsyatan yang penuh gelora inilah yang membuatnya segera tertarik. "Begitu datang, skrip itu langsung saya baca, sampai pukul 4.30," katanya. "Luar biasa skenario itu. Saya sungguh terpukau. Saya sama sekali tak mengira bahwa dunia pernah mengalami hal seperti itu: situasi yang biadab dan tragis di Kamboja. Sifat hubungan persahabatan Schanberg-Pran membuat saya tertegun seperti dalam dongeng." "Skrip itu menghadapkan saya pada persoalan yang akan kami hadapi setiap hari pada saat shooting. Masalah yang dikemukakan ceritanya amat kompleks dan emosional, dan untuk mewujudkannya orang harus memeras otak dan perlu imajinasi. Latar belakang politik cerita itu tentu saja penting artinya, tapi kenyataan bahwa film ini menyangkut pula obsesi perorangan tidaklah kurang pentingnya. Dalam menghadapi masalah politik yang amat luas, seseorang bisa jadi manusiawi dan secara moral tanpa cela, tapi bisa pula ia lupa pada tanggung jawabnya terhadap hal-hal yang 'nongkrong di depan hidungnya sendiri." "Saya juga jadi terkesima akan etika persahabatan. Utang budi macam apa yang ditanggung seseorang dari kawannya? Pengorbanan apa yang dituntut seseorang dari orang lain? Ada dua macam etika di sini. Etika Barat yang idealistis tapi begitu menuntut, dan etika Timur yang lebih praktis dan, barangkali, pada akhirnya lebih penuh kasih. Aspek pribadi dan aspek politiknya tidak terpisah semakin jauh saya menggarap film ini, hal itu semakin jelas." Joffe masih meneruskan pendapatnya. "Dari segi 'berita', kejadian-kejadian tragis di Kamboja itu pada berebut untuk mendapat perhatian publik, dan tampaknya seperti tak ada hubungannya satu sama lain. Untuk mengatasinya, kami menutup mata terhadap kenyataan bahwa semua itu terjadi di planet kita, pada bangsa lain. Jelas, ini akibat jeleknya kami menghayati dunia. Barangkali karena perang itu terjadi di tempat yang jauh, dan secara rasial dan geografis tak sulit mengambil jarak terhadapnya." Banyak orang Eropa beranggapan, perang di Vietnam itu persoalan Amerika. Tahun 1960-an de Gaulle mengecam pedas Amerika, tapi menyembunyikan kenyataan bahwa di tahun 1940-an dialah yang mendesak Prancis merebut kembali jajahannya di Asia Tenggara itu. Dalam kontroversi waktu, tidaklah sulit menutup mata terhadap semrawutnya perang Vietnam. Setelah Amerika terjun, dan mengubah gaya hidup negara-negara lain yang terlibat, maka tetap tinggal di Vietnam atau angkat kaki dari sana sama saja tragisnya bagi Amerika." "Manusia memang bukan mesin. Hatinya mudah tergerak - baik oleh rasa takut, cinta, atau balas dendam, maupun oleh strategi. Perang tragis di Kamboja ini amat banyak mengandung hal-hal yang kita anggap sudah sewajarnya ada di dunia - sinisme tak kunjung hilang dalam geopolitik negara besar, perang saudara, perjuangan ideologi, nasionalisme, dan kegilaan rasial. Oleh sebagian besar penduduk dunia, Kamboja telah dilupakan atau tak diacuhkan dianggap seakan tidak ada di peta bumi." * * * Sebelum mereka mulai bekerja, tak banyak pengetahuan David Puttnam tentang Kamboja - kecuali bahwa negeri itu "bagai makhluk yang terancam bahaya kepunahan". Ia merasa dirinya patut dipersalahkan: ia ingat dengan jelas, ketika Khmer Merah mulai masuk Phnom Penh, ia "merasa bersyukur negeri itu telah dibebaskan dari kancah peperangan, dan pembunuhan kini akan berakhir". Ia mengakui, "Itulah reaksi saya yang naif, dan ini membuat saya tak habis pikir." Hingga hari ini Puttnam merasa tidak tahu apakah ia korban tak berdosa dari media massa, ataukah hanya seorang idealis yang menginginkan agar kaum nasionalis merebut kekuasaan karena mereka bisa dijamin membuat hal-hal yang menguntungkan negeri. Pengetahuan Roland Joffe tentang Kamboja sama saja sedikitnya sebelum penggarapan. Karena itu, ia tak henti-hentinya mengadakan riset, mewawancarai banyak orang, membaca banyak literatur. Dan ia sangat tertegun merenungkan kejadian-kejadian di negeri itu: "Betapa sejarah kita dibentuk oleh akibat-akibat yang terjadi secara serampangan sebagai reaksi atas tindakan tanpa pikir panjang." Dua bulan sebelum shooting, Joffe mengalami kesibukan amat menegangkan bersama pembantu produser, lain Smith. Roland Joffe sungguh berambisi menjadikan film ini karya yang sehebat-hebatnya. Banyak sekali permintaannya, ini-itu, tanpa memperhitungkan biayanya yang bisa membesar tak keruan. Juru kamera yang dipilih memimpin pemotretan adalah Chris Menges, orang Inggris juga, yang sudah berpengalaman sebelumnya membuat film berlatar politik. Memulai kariernya dengan magang pada pembuat film Amerika, Alan Forbes, Menges belajar membuat karya dokumenter. Ia kemudian bekerja pada Granada Television sebagai juru kamera yang membuat World in Action. Lalu keliling ke Burma, Nepal, Kongo, Vietnam, Muangthai, ia mengabadikan perang dan revolusi. Di Asia Tenggara Menges membuat banyak film dokumenter, dan bertindak sebagai juru kamera selama perang Vietnam. Dalam film cerita The Empire Strikes Back, ia menjadi juru kamera unit ke-2 di bawah pengarahan Peter Suzchitsky. Dua film dokumenter Menges yang telah diputar di televisi Inggris ialah The Opium Trail dan Opium Warlords. Ia memulai pembuatannya tahun 1973 bersama Adrian Cowell mengisahkan Perdagangan obat bius. Selama 18 bulan mendekam dalam rimba belantara Burma untuk membuat film ini Menges mengenal segala macam kekerasan dan keprimitifan hidup, dan bagaimana rasanya terancam maut. Banyak pembantunya yang malah tewas. Dalam Opium Warlords, ia praktis bekerja sendirian, seperti dituturkannya kepada majalah American Cinematograp her, April 1985. Ia sendiri yang mengisi dan mengeluarkan film di kamera, mengatur fokus, dan - sambil memegangi kamera dengan kedua tangannya - men- shoot obyeknya. Setelah melihat film dokumenter itu, Joffe mengatakan, ia ingin The Killing Fields lebih ekstrem daripada film dokumenter yang darurat itu. Maksudnya kamera bertindak sebagai mata yang bergerak dinamis dalam menangkap dan menemukan momen-momen yang terjadi dalam kecamuk perang: orang berkejar-kejaran, terkena ledakan, disergap musuh .... "Yang ingin ditonjolkan ialah keadaan mengerikan dan keindahan Kamboja yang menyimpan dendam, tempat berlangsungnya Ladang Pembantaian itu," kata Joffe, "di samping juga situasi perang yang serba menghancurkan, yang bagaimanapun punya keindahan tersendiri. Kami bicarakan pula bagaimana caranya menembus frame (bingkai) yang membatasi tiap gambar film dengan gerakan kamera, dan bagaimana pula mempelancar gerakan itu. Di samping itu, tentu ada masalah yang sangat teknis. Chris akhirnya menetapkan suatu penataan cahaya yang bisa diterapkan pada saat cuaca cerah, dan keadaan sebaliknya akibat langit mendung di musim hujan." Biaya yang diperhitungkan untuk pembuatan The Killing Fields adalah US$ 15 juta termasuk sedang, tapi duasetengah kali lebih besar dibanding untuk film-film yang pernah digarap Puttnam. Perusahaan Warner Bros, distributornya, mula-mula menampik proyek ini tapi jadi tertarik setelah membaca skenario Bruce Robinson. Mereka membeli hak distribusinya untuk Amerika dan Kanada, mula-mula US$ 5 juta. Setelah melihat beberapa rush copy yang belum di-edit dan belum diisi suara semakin banyak Warner merogoh kocek. Mereka bahkan hadir waktu shooting, sehingga kian mendapatkan gambaran pasti wujud film itu nantinya. Sebab, menurut perkiraan mereka, kalau sukses, film ini bisa mengantungi penghasilan kotor US$ 50 juta. Tapi, meski mendapat dukungan finansial dari para cukong Amerika, "Kami sama sekali tak berkompromi dalam film ini," ujar Puttnam. "Ini bukan film anti-Amerika film ini antiideologi apa pun, dan orang-orang Warners percaya pada saya. Satu-satunya kompromi kami dengan mereka ialah mengenai masa putar. Waktu di-preview-kan, penonton menolaknya jika lebih lama dari dua setengah jam. * * * Kesulitan timbul ketika harus mencari para pemain berkebangsaan Kamboja. Dalam film akhirnya dipakai dua puluh orang pribumi. Untuk ini Susie Figgis ( casting director - orang yang memilih calon pemain) harus berkeliling dunia - dari Manila sampai Paris, di samping Amerika sendiri. Yang membuat sulit adalah karena hampir 99% kelas menengah, atau siapa saja yang bertampang "terpelajar", di Kamboja sudah "disukabumikan" oleh Khmer Merah yang memang antiintelektual ketika mereka merebut kekuasaan. Yang berhasil selamat di kamp-kamp pengungsi Muangthai atau Filipina tinggal kaum terpelajar yang sudah keropos dimakan penderitaan. Mereka ini selamat dari kebengisan Khmer Merah setelah mengalami berbagai azab tak terperi, kehilangan sebagian besar atau seluruh anggota keluarga, dan tinggal di kamp bertahun-tahun. Bersama pembantunya, Pat Golden, Susie menghubungi para pengungsi di Los Angeles, dan menghabiskan banyak waktu untuk improvisasi. Tak jarang pula acara ini malah berubah jadi gelanggang ratap tangis. "Saya berhadapan dengan orang-orang dewasa yang meratap-ratap," kata Susie. "Mereka tampaknya sangat menderita karena sekian lama harus menanggungkan sendiri kesengsaraan, tanpa mendapat kesempatan mencurahkannya kepada orang lain. Mereka merasa dikangkangi sama sekali oleh Vietnam dan ketika diminta mengungkapkan kembali seluruh penderitaan dalam acara improvisasi itu, mereka merasa seperti mendapat peluang mengguyurkan seluruh isi hati mengenai keadaan sesungguhnya negeri mereka. Orang Kamboja, sebagaimana orang Asia umumnya, tak mudah menceritakan penanggungannya kepada orang lain - menangis di depan orang banyak dianggap tak sopan. Dan kami, orang Barat ini, sering menjadi bingung: wajah-wajah mereka tidak mencerminkan kesengsaraan seberat yang mereka tanggung. Mahal seperti ini sering jadi pertimbangan kami ketika bekerja di lapangan." Di Oxford, Inggris, Susie dijamu makan siang oleh seorang pria keturunan Kamboja yang, sebelum revolusi, terbang ke Kamboja dari tempat tinggalnya di Hong Kong. Ia segera mengumpulkan semua sanak saudara dan mengajak mereka pindah ke luar negeri bersamanya karena ia menganggap keadaan sudah gawat. Tapi, seperti penduduk Kamboja lainnya waktu itu, tak seorang sanak saudara percaya kepadanya. Mereka tidak tertarik. Maka, ia pun kehilangan seluruh mereka. Di London Susie memperoleh daftar pengungsi Kamboja yang sudah dimukimkan. Daftar ini memuat secara terinci besarnya keluarga mereka serta keadaan tempat tinggal dan pekerjaan mereka. Seperti mudah diduga, mereka umumnya penganggur atau pekerja part-time di pabrik pakaian. "Dan tak seorang pun yang saya temui mengerti bahasa Inggris," kata Susie. Segala cara ditempuh untuk mendapatkan aktor Kamboja. Susie memasang iklan di koran setempat, dan mengikuti petunjuk orang ke mana pun harus pergi agar bisa ketemu orang Kamboja yang dicari. "Kami senang sekali bertemu dengan seorang pria yang hadir di kedutaan besar Prancis ketika rombongan pengungsi kulit putih terakhir minggat dari Kamboja. Ternyata, ia sahabat duta besar Prancis di Phnom Penh," kata Susie. "la mempertemukan kami dengan beberapa aktor yang pernah membintangi beberapa film yang dibuat Pengeran Sihanouk." Mendapatkan pemain anak-anak yang bisa bicara bahasa Khmer merupakan kesulitan lain. Para orangtua Kamboja menyelundupkan anak-anak mereka yang masih kecil ke luar Kamboja, lalu diadopsi orang Muangthai. Anak-anak itu segera lupa bahasa ibunya. Karena itu, bukan main senangnya Susie ketika menemukan dua anak kecil di Bangkok yang bisa berbahasa asli. Salah seorang dari mereka, gadis kecil, berperan sebagai anak laki-laki dalam film karena Susie tak pernah bisa menemukan anak laki-laki Khmer untuk filmnya. Di Muangthai, yang sudah dekat ke Kamboja, Susie malah tak mudah mendapatkan orang Kamboja yang bisa diajak main. Ia sampai-sampai menelegram seseorang yang tinggal di sebuah gubuk, di suatu tempat tertentu, dan memintanya menyampaikan pesan kepada dua orang Kamboja yang bersembunyi di kuil di pinggir jalan. Setelah ketemu orang yang dimaksud, tak seorang pun dari mereka pernah mengenal acting dalam drama modern atau pertunjukan tradisional sekalipun. "Saya minta mereka berimprovisasi tapi karena semua ucapannya dalam bahasa Khmer, tak sepatah pun saya mengerti," katanya. Tokoh penting berkebangsaan Kamboja dalam The Killing Fields adalah Dith Pran. Sedangkan tokoh utama lainnya adalah Wartawan Schanberg, yang dimainkan oleh Aktor Sam Waterston. Dan memang sudah jadi keinginan Puttnam dan Joffe bahwa pada akhirnya film ini adalah kisah Dith Pran. Dan, seperti kata Joffe, "Sungguh keliru sekali kalau peran itu dibawakan orang lain yang bukan orang Kamboja." Tak kurang dari 1.000 pengungsi Kamboja di seluruh AS yang diwawancarai Joffe untuk mendapatkan orang Kamboja yang bisa memerankan Dith Pran. Akhirnya, enam minggu sebelum pembuatan film dimulai, Joffe menemukan seorang dokter Kamboja, Haing S. Ngor, yang sebetulnya ogah-ogahan ikut tes. "Saya minta ia menggambarkan jatuhnya Phnom Penh dan ketika ia melakukannya, saya menyadari bahwa ia menggambarkan apa yang dilihatnya itu sebagaimana yang dilakukan seorang aktor," kata Joffe. "Saya memintanya lagi mengimprovisasikan adegan lain: sebagai dokter yang meminta perawatnya yang berkebangsaan Amerika - kebetulan diperankan oleh Pat Golden - meninggalkan Kamboja karena keadaan sudah sangat gawat. Tanpa persiapan ia melakukan improvisasi ini demikian baiknya dan membuat Pat betul-betul menangis. Lalu kami minta ia menjalani tes kamera. Hasilnya amat sempurna." * * * Tanpa terasa, sudah enam bulan waktu dihabiskan untuk praproduksi. Produser dan sutradara kemudian mengalihkan perhatian pada tempat-tempat yang akan dipilih. Joffe berkeras agar film menghindar dari opname penuh tipu daya dalam studio suara ( soundstage). Juga pembuatannya harus di pusatkan di Asia Tenggara - lingkungan asalnya. Ada enam negara atau tempat yang disebut-sebut: Muangthai, Filipina, Laos, Indonesia, Malaysia, dan Sabah atau Serawak. Setelah mempertimbangkan banyak hal, pilihan jatuh pada calon pertama, Muangthai. "Pertama-tama, karena paling dekat dengan Kamboja," kata Joffe. Alasan lain: sikap pemerintahnya yang "simpatik kepada para pembuat film", dan juga persamaan geografisnya dengan Kamboja. Selama masa praproduksi, Joffe dan pembantu produser lain Smith, disertai perancang produksi Roy Walker, meninjau Muangthai. Mereka berusaha mencari berbagai tempat yang, jika gambar-gambarnya dipadukan dalam film, akan memunculkan persamaan yang masuk akal dan meyakinkan tentang ibu kota Kamboja, Phnom Penh, tempat terjadinya banyak adegan The Killing Fields. "Shooting kami berlangsung terutama di empat kota Thai," kata Menges "di Phuket, Nakhon Pathom, Bangkok, dan sedikit di kamp pengungsi Khao-i-Dang di perbatasan Thai-Kamboja." Menurut lain Smith, "Pemerintah Muangthai khawatir kalau-kalau film ini membenarkan sikap Vietnam bahwa Khmer Merah biadab, dan jika Vietnam sekarang ini meninggalkan Kamboja, Khmer Merah akan masuk lagi. Tapi kami menjelaskan, film ini bisa memancing perdebatan karena Kamboja dewasa ini sudah tak diacuhkan orang, tak dianggap penting lagi." Kementerian Luar Negeri Muangthai memang menyatakan beberapa keberatan terhadap skrip, tapi tidak memaksakan perubahan. Ini, seperti dikatakan Joffe, "Karena kami menunjukkan tenggang rasa kepada mereka. Jadi, mereka pun menunjukkan sikap yang sama pada kami. Mereka memang mengirimkan seorang pejabat sensor ke tempat lokasi, tapi pada umumnya kami dibiarkan saja. Keadaan yang membingungkan di lokasi membuat tak banyak orang tahu apa yang sedang terjadi - apalagi pejabat sensor itu. Pemerintah Thai memang tidak menawarkan kerja samanya kepada kami, tapi orang-orang Thai sikapnya sangat baik dan terbuka. Bilamana mungkin, mereka tak segan membantu." Meski tampaknya lancar, Joffe segera menyadari, "Dari segi logistik, keadaan tak mudah diatasi. Maka, apa yang sudah diputuskan akan dilakukan pada suatu hari, harus dilaksanakan tanpa tawar-menawar lagi. Kami tak boleh membuat kekeliruan." Joffe kemudian menyadari pula, meski pihak militer Muangthai menyediakan banyak sekali perlengkapan yang diperlukan, beberapa helikopter besar yang harus ada untuk adegan-adegan penting ternyata hanya bisa didapat di Amerika Serikat. Maka setelah selesai shooting di Muangthai, rombongan pindah kerja ke pangkalan angkatan laut di Kamp Pendleton, dekat Oceanside (AS), untuk memotret adegan-adegan itu. Tempat lain yang digunakan ialah Toronto (Kanada), untuk upacara pemberian Hadiah Pulitzer kepada Schanberg, yang aslinya berlangsung di gedung Metropolitan Opera, New York. Selain hawa tropis Muangthai yang menyengat para pekerja, kelembapan udara yang tinggi menimbulkan ancaman lain pada stock film. Film yang sudah berisi harus diproses secepat mungkin - kalau tidak, bisa rusak. Ini berarti, film harus segera dikirim ke Inggris untuk dikerjakan, lalu dikirim kembali ke Bangkok agar bisa dilihat hasilnya. Dengan kata lain, harus menunggu cukup lama. Belum lagi urusan di pabean Bangkok yang tidak selalu lancar. Untuk menghidupkan kembali adegan pengeboman di Neak Luong, kerja raksasa harus dilakukan. Kota ini terletak ditepi timur Sungai Mekong, kurang lebih 50 km di tenggara Phnom Penh. Pada 7 Agustus 1973, tanpa peringatan apa pun dan tanpa ujung pangkal, hampir seluruh kota diratakan dengan tanah oleh 30 ton bom yang dijatuhkan. Korban yang jatuh hampir 400 orang, di antaranya 137 orang tewas. Pengeboman ini ternyata dilakukan oleh pesawat B-52 Amerika Serikat "karena kesalahan navigasi". Dengan bantuan buruh setempat, digali empat lubang besar bekas ledakan bom. Di sekitar lubang didirikan beberapa bangunan yang kemudian dibakar sehingga puing-puingnya menyerupai puing bekas pengeboman. Semua ini hasil kerja special effects director (pengatur efek khusus dalam film) Fred Cramer. Tiap hari mereka menelusuri surat kabar setempat untuk mencari berita kebakaran, dan - jika ada - mereka segera lari ke sana untuk membeli bertruk-truk kayu rumah yang hangus. Batang kayu dibawa dari Kota Bangkok, dan setelah disiangi, semua daunnya diletakkan di tempat shooting. Sebagai referensi digunakan sejumlah foto yang diberikan Schanberg. Selama membangun set, sejumlah gelandangan segera menempati beberapa gubuk yang baru didirikan di tepi selokan yang penuh cairan berbusa atau bekas cucian. Seorang gelandangan bahkan tak mau pergi dari tempat itu ketika shooting dimulai. Sehingga terpaksa dipasang sebuah tenda untuk menutupinya. Di reruntuhan bekas pengeboman ini didirikan pula sebuah kuil dengan sebuah patung Budha dari polystyrene. "Suatu pagi, ketika kami memeriksa tempat ini," kata lain Smith, "kami menemukan seseorang telah mengalungkan seuntai bunga di leher patung. Ini memang kebiasaan penduduk setempat." * * * Demi menjaga lancarnya penuturan cerita, banyak sekali set yang harus dimusnahkan, tutur Joffe. "Tapi film ini memang harus dijaga agar tetap akurat dengan kenyataan yang sebenarnya." Pengeboman yang keliru di Neak Luong, misalnya, digabungkan dengan usaha pemerintah Lon Nol mengusir Khmer Merah. Ini untuk menggambarkan bukan saja sebuah akibat informasi yang salah, tapi juga betapa berat penderitaan rakyat. "Kami berusaha menangkap realitas yang tersembunyi di balik peristiwa-peristiwa itu dengan film ini," kata Joffe. "Memang tak mungkin mendoku-mentasikan secara terinci semua penderitaan rakyat Kamboja. Diperlukan segala macam akal dan keterampilan sinematografi untuk menuangkan kembali warna emosional kejadian-kejadian yang nyata ke dalam film. Belum lagi: Bagaimana memadatkan waktu tujuh tahun yang rumit dan penuh peristiwa itu ke dalam film dengan masa putar dua setengah jam?" Ketika melukiskan kembali adegan masuknya Khmer Merah ke Phnom Penh, para pemain tidak terhanyut oleh suasana yang berkembang. Tapi ketika adegan tentara Lon Nol, yang memakai selendang biru, terjun dari truk-truk mereka dan berlarian-menyalami sang pemenang, Khmer Merah, kurang lebih sepertiga orang Kamboja yang ikut main tak dapat menahan perasaan. Mereka mencucurkan air mata, dan beberapa orang menyembunyikan perasaan dengan meninggalkan set. Sutradara dan produser kebingungan. "Orang-orang Kamboja itu hampir tak sanggup menghidupkan kembali pengalaman itu. Sebab, itulah saat yang paling buruk bagi mereka," kata lain Smith. "Mereka tadinya begitu penuh harap pada Khmer Merah, tapi kenyataannya sungguh berbeda." Tapi ketika belakangan ditanya mana yang mereka pilih, Khmer Merah ataukah pasukan pendudukan Vietnam yang sekarang, mereka menjawab, "Itu bukan urusan Anda. Mereka orang Khmer. Kami menginginkan negeri kami kembali. Kami tak ingin dikuasai Vietnam atau Amerika atau Prancis. Kami ingin mengurus diri sendiri." Untuk mendapatkan anggota tentara Lon Nol dan Khmer Merah, pengawas figuran Terry Forrestall memilih 17 pria dan 30 wanita muda dari 250 pelamar. Mereka berusia antara 11 tahun dan 22 tahun. "Pasukan" Forrestall ini umumnya pernah menjalani latihan tinju gaya Muangthai atau senam secara intensif. Untuk menyiapkan mereka, Forrestall memberi kursus kilat dasar pengenalan senjata, termasuk bagaimana menggunakan AK-47 Rusia, M-16 Amerika, peluncur roket RPG, dan senapan mesin M-60. Para "prajurit" ini menjalani pula latihan taktik dasar militer secara intensif. Hasilnya: tak seorang pun dari "tentara" Forrestall yang cedera selama pembuatan adegan. Adegan pengungsian rakyat dari Phnom Penh di-shoot cukup dalam satu hari - setelah direncanakan sangat teliti, hampir secermat perencanaan militer. Hampir di seluruh Kota Bangkok ditempatkan kelompok yang mengatur. Kelompok-kelompok pengatur ini terdiri dari empat orang. Selanjutnya seorang dalam tiap kelompok memimpin tim yang terdiri atas 20 orang. Semua mereka ditandai dengan warna: kelompok merah satu, dua, tiga kelompok biru satu, dua, tiga, dan seterusnya. Polisi dan tentara diminta bantuannya untuk mengatur posisi mereka dalam blok-blok. Adegan pengungsian berlangsung sepanjang rel kereta api. Ini akal Sutradara Joffe untuk menggambarkan secara padat dan singkat peristiwa sesungguhnya yang terjadi selama 10 hari dan menyangkut tiga juta pengungsi. Semua pemain ekstra, atau figuran, dikumpulkan sepanjang pinggir rel kereta api, dan dibariskan dengan rapi. Mereka disuruh duduk dengan tenang - karena kalau 6.000 orang itu berdiri, sulit mengatur mereka. Mereka diharuskan pula mengenakan pakaian tua terbuat dari katun, dan tidak boleh ada pakaian dari bahan sintetis. Sejumlah asisten sutradara berkebangsaan Thai diminta bantuan mengatur orang-orang ini dan memberi tanda tempat mereka - ketanda itulah mereka harus kembali. Ketika semuanya telah selesai, terjadi sedikit keributan - waktu membayar honor. Beberapa orang yang tak sabar mendorong rekan-rekan mereka di depan tapi keadaan lebih buruk bisa segera dicegah. Set kamp kerja paksa Khmer Merah dibuat berdasarkan potongan sebuah film Yugoslavia, ditambah lagi foto-foto dan laporan lain dari tangan pertama. Segala bahan tentang Khmer Merah - apa yang mereka pakai, bagaimana perangai mereka, bagaimana mereka menghukum orang - diperoleh dari berbagai pihak. Salah seorang di antaranya adalah Ngor sendiri, yang pernah empat tahun hidup di bawah kekerasan mereka, dan seorang lagi, Mo Leng, yang pernah jadi nelayan di kamp kerja paksa. "Ketika menggambarkan adegan Khmer Merah," kata Joffe, "saya ingin penonton, lewat kamera, tak hanya merasakan sebagian dari apa yang sedang terjadi, tapi merasakan pula keganjilannya. Kamboja sudah menjadi dunia yang di luar kenyataan yang masuk akal, dan apa yang tampak di layar haruslah membawa penonton ke suatu daerah, tempat reruntuhan perang yang biadab merenggutkan dan memusnahkan hubungan manusiawi yang wajar." "Khmer Merah ingin meniadakan masa lampau. Tapi mereka sendiri adalah bagian dari masa lampau, dan terbentuk olehnya. Toh, di lingkungan yang sudah brutal itu masih ada kebajikan manusiawi yang sederhana. Ini terlihat pada hubungan baik pemimpin Khmer Merah Phat dengan Pran. Phat menitipkan anaknya pada Pran. Adegan ini dimasukkan." * * * Ketika mengunjungi kamp pengungsi Khao-i-Dang, Produser David Puttnam seperti salah tingkah. Di sana ia menyaksikan 28.000 pengungsi Kamboja yang dikirim kembali melewati perbatasan, dari Muangthai ke negeri asal. Pemandangan itu sangat mengerikan. Puttnamlah satu-satunya orang yang pakaiannya necis di antara mereka menenteng kamera pula. Kota kecil itu, yang hanya 15 km jauhnya dari pusat kegiatan militer Vietnam di perbatasan Thai-Kamboja, ditinggali 100.000 pengungsi Kamboja. Yang mengatur pemerintahannya adalah Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi, sedangkan Palang Merah Internasional mengurusi rumah sakit dan unit bedahnya. Seluruh daerah perbatasan itu diawasi satuan militer Thai, dan tak seorang bisa masuk tanpa izin Komisariat Tinggi PBB dan Palang Merah Internasional. Untuk bisa mendapatkan izin itu diperlukan waktu tak kurang dari enam bulan. Di kamp pengungsi mereka punya polisi sendiri - kebanyakan bekas Khmer Merah. Tak seorang warga Muangthai diizinkan masuk, dan jika terjadi kesulitan - misalnya pembunuhan - para pemimpinnyalah yang memutuskan apakah perkara itu diselesaikan sendiri atau diserahkan kepada tentara Thai di luar kamp. Shooting film di sana hanya diperkenankan satu hari, dan para crew didampingi seorang kolonel dari satuan tentara Thai. "Kami digiring ke dalam kamp," cerita lain Smith, "ketika tiba-tiba seorang pria berseragam tempur hitam Khmer Merah meloncat di depan kami bersenjatakan senapan. Sang kolonel berkata sesuatu dalam bahasa Khmer kepada orang itu, yang lantas menurunkan laras senjatanya dan membiarkan kami berlalu. Di kamp pengungsi kami segera dikerubuti anak-anak yang dengan wajah tanpa dosa mengajukan seberkas surat. Rupanya, mereka minta tolong supaya berkas-berkas itu disampaikan ke kedutaan asing di Bangkok. Tumpukan berkas-berkas itu merupakan oleh-oleh yang kami bawa kembali ke Bangkok kami menyampaikannya ke kedutaan besar AS, Prancis, dan Inggris. Seorang gadis remaja membuntuti saya terus selama di sana, memberi tanda mata, dan selalu tersenyum. Ia berusia sekitar 14 tahun, tapi keadaan di kamp pengungsi itulah yang amat menyentuh saya. Suratnya saya sampaikan ke kedutaan AS. Hal-hal seperti inilah yang membuat kami menganggap perlu memotret adegan terakhir film ini di Khao-i-Dang." Pengarah special effect Fred Cramer ternyata cukup mahir membuat ledakan dalam film itu, tanpa membahayakan keselamatan para pemain dan awak (crew) . Dalam banyak bagian, ledakan di- shoot ketika kamera bergerak dengan bebas. Salah satu tugas Cramer yang sulit ialah adegan ketika Pran yang kelaparan dalam tawanan Khmer - menoreh kulit sapi untuk minum darahnya yang segar. Adegan itu dilaksanakan dengan melapiskan kulit sapi yang sudah mati pada sapi hidup. Supaya kencang, kulit sapi mati itu diberi bertali yang diikatkan pada leher sapi hidup. Di balik kulit yang akan ditoreh Pran, Fred memasang kantung kecil berisi darah palsu. "Sapinya sendiri tak merasakan apa-apa dan memang tak seekor binatang dilukai dalam pembuatan film ini," cerita Joffe kepada majalah American Cinematographer. Yang ada hanya seekor anjing mati yang dibeli dari seorang dokter hewan dan di gunakan sebagai prop, untuk melengkapi suatu adegan. Dalam usahanya melarikan diri, Pran suatu ketika tiba di sebuah paya-paya tempat ribuan tulang belulang manusia berserakan. Inilah ladang pembantaian yang menjadi judul film. Adegan ini dibuat di sebuah paya-paya dekat laut di selatan Muangthai. Tulang-tulang, yang berserakan sepanjang lebih dari 200 m itu dibuat oleh seorang dokter Muangthai dan beberapa mahasiswanya dari bahan plastik dan lateks. Walaupun ada beberapa kejadian asli yang diubah - menurut Schanberg, "tak banyak pengaruhnya secara keseluruhan" - ia menganggap film itu, "Cukup mengandung kebenaran sebagaimana yang terjadi, meski bukan dokumenter. Yang dibuat Joffe itu suatu kebenaran emosional." Kata Schanberg selanjutnya, "Mereka yang pernah ke Kamboja pasti akan mengatakan telah melihat jalan atau hotel atau rumah sakit yang sama dengan yang ada di Phnom Penh." * * * Gagalnya usaha Schanberg menyelamatkan Pran ketika mereka berada di kedutaan besar Prancis, Phnom Penh, menurut film itu adalah karena rusaknya foto Pran yang dipasang di paspor palsunya. Paspor itu milik wartawan rekan Schanberg, dan bertuliskan nama lengkapnya: Jon Ancketill Brewer Swain, warga negara Inggris. Dengan menghapus Jon dan Swain, jadilah ia paspor "baru" yang dapat digunakan Pran. Tapi belakangan konsul Prancis menyangkal, begitu kejadiannya. Menurut konsul Prancis itu, Khmer Merah tidak akan percaya. Apalagi lidah Kamboja Pran masih salah-salah mengucapkan nama Inggris itu, meski sudah dilatih Schanberg. Demikian pula kehidupan Pran di Siem Reap dalam upayanya melarikan diri - tidak sempat dilukiskan secara terinci dalam film. Dalam kejadian aslinya, Pran tinggal bersama orang-orang Vietnam dan diangkat menjadi wali kota. Ia bahkan diminta menjadi gubernur Siem Reap, tapi ditolaknya karena ia menganggap orang-orang Vietnam itu pasukan pendudukan yang lebih menakutkan daripada Khmer Merah. Ada persamaan pengalaman antara Dith Pran dan Haing S. Ngor, yang membawakan perannya: menanggung azab yang sama getir selama empat tahun di bawah kebrutalan Khmer Merah. Dan selama itu pula mereka sama-sama berusaha keras menyembunyikan identitas asli. Ketika Khmer Merah masuk Phnom Penh, dr. Ngor sedang menyiapkan pembedahan pasien di rumah sakit militer. Dua pemuda Khmer Merah bersenjatakan pistol menodongnya, dan bertanya di mana dokter. Ia selamat karena mengatakan dokternya sudah melarikan diri. Ia kemudian ikut mengungsi ke pedalaman, masuk kamp kerja paksa. Ketika berusaha mencari makanan tambahan untuk menambal lapar, ia tertangkap. Lalu disiksa. Salah satu jari tangannya dipotong. Karena tahu bahwa Khmer Merah membunuhi semua orang terpelajar, Ngor selalu mengaku bahwa pekerjaannya adalah sopir taksi. Tapi mungkin ada orang lain yang mengadukan Ngor, sehingga ia ditangkap lagi. Kaki dan tangannya diikat. Dan disalib seperti Yesus. Penyiksaan lain: kepalanya disekap dalam kantung plastik sehingga ia tak bisa bernapas. Tunangannya sendiri mati dalam pangkuannya - 1978 - karena kekurangan makan. Ngor kemudian melarikan diri ke Muangthai, Desember 1978, setelah Vietnam menyerbu Kamboja. Selama 18 bulan Ngor merawat para pengungsi di kamp-kamp di Muangthai, sebelum beremigrasi ke AS pada 1980. Ngor kini bertugas sebagai penasihat tenaga kerja di Pusat Pelayanan Kampung Cina (Chinatown) Los Angeles karena ijazah dokternya tak diakui di AS. Ia juga aktif dalam kelompok masyarakat Kamboja eks pengungsi di sana. Ketika berada di Bangkok untuk pembuatan film itu, "Saya sama sekali belum tahu seberapa besar peran saya," katanya. "Menerima skripnya saja belum apalagi membacanya! Saya jadi kalang kabut ketika mengetahui peran saya termasuk peran utama. Tapi saya bilang pada Roland, saya punya 'ijazah' dari gemblengan selama empat tahun di Sekolah Akting Khmer Merah." "Dan saya memutuskan akan ikut main film itu karena film itu baik untuk negeri saya. Saya senang, film itu sudah beredar. Sebab, dengan demikian seluruh dunia tahu adanya Ladang Pembantaian itu." Bagi Joffe, Ngor adalah, "Pemain profesional berbakat alam pertama yang saya kenal. Ia memang tak pernah acting sebelumnya, tapi secara mengagumkan ikut mendukung sebuah film dengan biaya US$ 15 juta." Pran, setelah berhasil menyelamatkan diri dalam penderitaan empat tahun, dan berkumpul kembali dengan anak-istrinya di AS, menganggap keberuntungan itu, "Hidup saya yang kedua karma saya." Berada di alam bebas kembali, ia sungguh kebingungan. Bicara berduaan dengan Schanberg di Bangkok, ketika baru keluar dari kamp pengungsi, ia bisa merasa bebas. Tapi hingga kini, bila bicara di tempat umum, ia selalu melihat ke sekeliling dulu. Ini sisa ketakutan yang masih juga dibawanya. Setiba di Amerika ia tak bisa percaya melihat kasur empuk: la terbiasa tidur di tanah, di bawah lindungan pohon. Tiga bulan lamanya ia tinggal bersama anak dan istrinya di San Francisco, kemudian mereka pindah ke New York. Di sini Pran bekerja sebagai wartawan foto The New York Times. Ia punya rumah yang bagus di Brooklyn. Anak laki-lakinya yang tertua belajar komputer di perguruan tinggi, dan anak perempuannya akan segera kuliah. "Kami masih mengalami beberapa kesulitan," kata Pran. "Anak-anak tak suka makanan Kamboja, sedangkan saya dan istri saya suka. Saya tak bisa makan hamburger tiap hari. Anak perempuan saya bicara bahasa Inggris kepada saya, dan saya berbahasa Kamboja kepadanya. Anak laki-laki sulung saya masih ingat banyak hal. Adik-adiknya tahu karena membaca surat kabar. Kadang-kadang, kami membicarakan apa yang terjadi di Kamboja, dan anak-anak ingin tahu banyak tentang adat istiadat dan kebudayaan kami. Tentang hal ini saya bisa bicara, tapi saya tak bisa bicara mengenai apa yang terjadi sekarang." "Kini sudah tak ada lagi pembunuhan, tapi rakyat masih menderita, penangkapan sewenang-wenang masih belangsung. Ketika anak-anak bertanya kenapa orang Kamboja pada berbunuhan, saya bilang bahwa saya tak bisa menjelaskannya. Tak seorang pun yang bisa menjelaskannya. Yang kita tahu, itu perbuatan gila. Sebab, jika orang membunuhi anak-anak kecil, mestinya dia orang gila." "Ketika saya ajak menonton film itu, mereka benar-benar terguncang. Mereka tidak tahu betapa saya sangat memperhatikan mereka bagaimana saya membawa mereka ke helikopter waktu mengungsi dulu. Dalam film mereka melihat bagaimana saya bekerja dengan Sydney selama perang, apa yang menimpa saya di bawah Khmer Merah, dan bagaimana saya kelaparan." Ketika film selesai, anak Pran yang bungsu menangis sejadi-jadinya. Usianya baru 11 tahun, masih kecil, ketika semua itu terjadi. Pran mencoba menenangkan dia dan berkata, "Jangan khawatir, ayahmu baik-baik saja sekarang. Semuanya berakhir dengan bahagia, dan kita sudah berkumpul kembali. Kita sudah serumah semuanya, bahkan Ayah tak perlu lagi berjalan dengan kaki telanjang." Apa bayangan Pran tentang Kamboja? "Suatu ketika, saya ingin kembali ke Kamboja. Betapapun, itu kampung halaman saya. Tapi saya tak begitu optimistis." * * *

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus