Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Setelah penantian 15 tahun, kini pembangunan fraksionasi plasma darah di Indonesia siap direalisasikan. Hal ini ditandai dengan penandatanganan perjanjian investasi antara Indonesia Investment Authority (INA) dan SK Plasma, anak perusahaan SK Group, konglomerat terbesar kedua di Korea Selatan. Peresmian ini disaksikan langsung oleh Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dalam perjanjian tersebut, kedua pihak sepakat untuk membangun fasilitas fraksionasi plasma pertama di Indonesia. Pembangunan pabrik fraksionasi ini berlokasi di kawasan industri Jababeka, Cikarang, Bekasi, Jawa Barat, yang telah dimulai pada Selasa 5 Desember 2023.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sudah dalam tahap konstruksi, proyek ini ditargetkan mulai beroperasi pada akhir 2026, dan diproyeksikan menjadi fasilitas terbesar untuk kelasnya di kawan Asia Tenggara. Fasilitas modern ini akan menjadi dasar bagi produksi lokal Produk Obat Derivat Plasma dengan kapasitas pengolahan mencapai 600.000 liter plasma per tahun.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin, dalam sambutannya, menyampaikan harapan bahwa keberadaan pabrik fraksionasi plasma pertama di Indonesia dapat memenuhi kebutuhan produk plasma dalam negeri. Ia menekankan bahwa permintaan terhadap fraksionasi plasma terus meningkat, baik secara global maupun nasional.
Apa itu pabrik plasma darah?
Pabrik fraksionasi plasma darah adalah salah satu cita-cita dari ketua umum PMI Jusuf Kalla (JK), yang telah dicanangkan sejak 2013 lalu. Pabrik ini diproyeksikan untuk memproduksi albumin, yang sangat dibutuhkan untuk penanganan pascaoperasi, ibu melahirkan, serta pasien dengan gangguan fungsi hati dan leukemia.
Menurut JK, kebutuhan akan pabrik pengolah darah ini semakin mendesak, mengingat Indonesia selama ini masih mengimpor produk sejenis dengan nilai lebih dari Rp1,5 triliun per tahun.
Selain itu, bertujuan untuk secara signifikan mengurangi ketergantungan Indonesia, yang saat ini mencapai 100 persen, terhadap Produk Obat Derivat Plasma (PODP) impor. Langkah ini sejalan dengan agenda pemerintah dalam memperkuat ketahanan kesehatan nasional.
Penantian Panjang 15 tahun tersebut berbuah manis, JK sangat mengapresiasi pemerintah , karena menurutnya selama ini merupakan pemborosan yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Setiap tahunnya PMI berhasil mengumpulkan hampir 5 juta liter darah, yang mengandung sekitar 20 persen plasma.
“Namun terpaksa dibuang begitu saja karena tidak ada fasilitas pengolahannya," kata Jusuf Kalla.
Dengan pembangunan pabrik pertama ini, ia memastikan pelaksanaannya berjalan sesuai dengan peraturan yang telah disepakati bersama. Hal ini menjadi penting, mengingat pengumpulan bahan baku plasma bukanlah tugas yang mudah.
Proyek ini memberikan berbagai manfaat strategis, di antaranya pemberdayaan sumber daya manusia melalui pelatihan tenaga kesehatan lokal untuk mengoperasikan pabrik, serta penciptaan lapangan kerja.
Selain itu, memungkinkan konversi hingga 200.000 liter plasma darah Indonesia setiap tahun yang sebelumnya terbuang menjadi obat-obatan berkualitas tinggi yang dapat menyelamatkan nyawa.
Produksi dalam negeri juga akan menyediakan pasokan obat-obatan penting dengan harga lebih terjangkau dan stabil, sekaligus meningkatkan kesadaran publik mengenai produk PMDP dan manfaatnya.
Dilansir dari situs resmi kemkes.go.id, berdasarkan data dari Marketing Research Bureau, Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara tetangga dalam hal penggunaan Produk Obat Derivat Plasma (PODP) per kapita khususnya untuk Albumin.
Albumin adalah protein penting yang berfungsi mengatur volume darah dan digunakan dalam pengobatan penyakit hati serta dalam prosedur darurat atau pembedahan. Penggunaan Albumin di Indonesia hanya sekitar 35 mg per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mencapai lebih dari 100 mg per kapita, dan Korea Selatan yang mencapai lebih dari 500 mg per kapita.
Begitu pula dengan imunoglobulin, yang digunakan untuk mengobati gangguan autoimun, defisiensi imun, dan penyakit menular. Penggunaannya di Indonesia hanya sekitar 1 miligram per kapita, jauh lebih rendah dibandingkan Malaysia yang mencapai sekitar 10 mg per kapita, dan Korea Selatan yang melebihi 30 mg per kapita.
Budi Gunadi Sadikin, mengatakan kolaborasi ini mencerminkan komitmen kita untuk memanfaatkan sumber daya lokal dan memastikan masyarakat memiliki akses cepat terhadap pengobatan yang terjangkau serta berkualitas tinggi.
Ia juga menekankan pentingnya ketahanan kesehatan melalui produksi obat-obatan esensial di dalam negeri.
“Berkaca dari Pandemi COVID-19 mengajarkan kita bahwa ketergantungan pada pasokan luar negeri untuk pengobatan yang menyelamatkan nyawa dapat menjadi risiko bagi 280 juta penduduk Indonesia,” ucapnya.
Sementara itu, Ketua Dewan Direktur INA, Ridha Wirakusumah, menekankan nilai strategis proyek ini bagi kesehatan dan perekonomian Indonesia. Ia mengatakan kesehatan adalah hak setiap individu. Fasilitas ini merupakan langkah penting untuk mengurangi ketergantungan kita pada obat-obatan berbasis plasma impor dengan memenuhi permintaan lokal melalui produk yang diproduksi di dalam negeri.
Melalui transfer teknologi dan berbagi pengetahuan dengan tenaga kesehatan Indonesia, proyek pabrik plasma darah ini diharapkan dapat berkontribusi pada pembangunan kapabilitas nasional, menuju Indonesia yang lebih sehat.
"Kami bangga dapat bermitra dengan SK Group dalam proyek strategis ini dan mengucapkan terima kasih atas dukungan berkelanjutan dari seluruh pemangku kepentingan terkait, terutama Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Palang Merah Indonesia (PMI), Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), serta Kementerian Investasi dan Hilirisasi Republik Indonesia (BKPM),” kata Ridha.
“Penandatanganan perjanjian investasi dengan INA merupakan pencapaian dari kerja sama berkelanjutan antara Korea dan Indonesia di sektor kesehatan,” sebut Seungjoo Kim, Presiden SK Plasma.
KEMKES | ANTARA
Pilihan editor: Fakta-fakta Kisruh di PMI: Tujuan Munas, Munas Tandingan Hingga Tanggapan Menkes