Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mengobati frustasi langganan

Pertikaian sering timbul antara pln dengan konsumen. konsumen sering dirugikan oleh lampu mati sebelum beban jumlah watt yang dijanjikan. konsumen mengharapkan ada pemasangan kondensator. (tek)

10 September 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH hampir dua tahun lamanya seberkas rencana peraturan Menteri PUTL nongkrong di meja ir. Sutami. Isinya: konsep peraturan baru instalasi listrik, hasil garapan Tim Tujuh PLN yang diketuai HS Joesoef Pradjawasita. Selesai dan ditandatangani ketuanya 22 September 1975, sampai sekarang rancangan itu masih menunggu tandatangan Menteri PUTL, sebagai 'atasan' Perusahaan Listrik Negara. Namun mengingat Menteri yang sibuk itu kini sedang cuti sakit ke luar negeri (jabatan Menteri PUTL ad interim dipegang Presiden sendiri), PLN harus bersabar lagi. Tak banyak yang baru dalam konsep peraturan pemasangan instalasi listrik itu. Namun yang penting: ada pasal-pasal tertentu yang diharap dapat memecahkan pertikaian yang sering timbul antara PLN, sebagai produsen listrik, dengan konsumen. Terutama konsumen kecil dan menengall yang berlangganan listrik dari 300 sampai 1300 wat -- atau lebih tepat: 300 Sampai 1300 Volt-Ampere (VA). Mereka ini sering merasa dirugikan PLN: oleh sekering yang putus atau pembatas arus (begrenser) yang anjlok sebelum beban listriknya mencapai jumlah wat yang dijanjikan. Ambillah misalnya Hilman Madewa yang tinggal di Gang Batik 3. Bendungan Hilir, Jakarta. Dalam surat di Harian Kompas, 6 Mei lalu, dia marah-marah 1antaran listriknya sudah mati pada beban 600 wat. Padahal dia katanya berlangganan 1300 wat dengan tegangan baru 20 volt. Dan dengan ilmu berhitung yang sederhana digambarkannya bagaimana dia mencapai 600 wat itu: 7 lampu neon @ 10 wat, 9 lampu neon @ 20 wat, 1 lampu pijar 5 wat, 1 lampu pijar 10 Witt, dan sebuah pompa air sanyo 100 wat. Total 590 Wat. Maka dia melapor ke PLN di Merdeka Timur. PLN memanggil instalatir yang memasang instalasi di rumah Madewa. Tapi keduanya tak dapat memberi jalan keluar. Di depan petugas PLN itulah Hilman mendemonstrasikan pemakaian listriknya yang tak melebihi 600 wat, tetapi tetap anjlok. Jadinya Hilman penasaran. Lebih-lebih karena gangguan itu tak dialaminya ketika listriknya masih 110 volt. "Waktu itu kami leluasa memakai strom: semua lampu bisa hidup, TV dan lemari es listrik tidak pernah mati," tutur Madewa. Maka, "kalau ada yang salah, di mana letak salahnya? Itu Cosinus Phi Nah. Konsep Pradjawasita itu - yang masih di meja Menteri Sutami - meucari pemecahan bagi sengketa ini (tanpa menjelaskan teka-tekinya sendiri). Khususnya melalui pasal 9 tentang Syarat Peralatan Listrik, dan pasal 10 tentang Kondensator Statis. Pasal 9 ayat 2 menekankan: "lampu bukan pijar seperti lampu fluorescent, mercuri yang dapat menyebabkan turunnya faktor kerja melampaui batas yang dibenarkan, harus dilengkapi dengan kondensator, sehingga faktor kerja dari lampu dan perlengkapannya menjadi sekurang-kurangnya 0,8". Sedang pasal 10 ayat I berbunyi: "Bagi instalasi yang penggunaan tenaga listriknya mengakibatkan turunnya faktor kerja sehingga kurang dari 0,8 harus menggunakan kondensator dan/atau alat lainnya, sehingga faktor kerja mencapai sekarang-kurangnya 0,8." Tapi apa sih sebenarnya faktor kerja atau istilah teknisnya cosinus phi? (petugas PLN yang berurusan dengan Hilman Madewa tempo hari juga menggunakan rumus cos phi itu dalam argumentasinya). Tapi Madewa - dan ratusan konsumen PLN lain -- tak bisa mengerti apa hubungannya dengan kenyataan bahwa mereka sebenarnya bisa memanfaatkan arus listrik banyak, tapi tak memperolehnya. Kesalahfahaman pertama timbul, karena daya listrik yang menjadi jatah sang langganan sebenarnya bukan dinyatakan dalam wat, tapi dalam Volt Ampere (VA) itu tadi. Sedang usaha listrik yang terpakai secara riil tiap bulan, itulah yang dinyatakan dalam kilowat/jam (kWh). Bedanya begini. Dalam dunia listrik arus bolak-balik sebenarnya dikenal tiga macam daya. Yakni 'daya tersamar yang dinyatakan dalam volt ampere, 'daya aktif' dalam wat dan 'daya reaktif'. Yang terakhir tak begitu penting. Yang menghasilkan duit bagi PLN hanyalah daya aktif (wat). Bagi konsumen, komponen daya ini pun penting sekali. Sebab daya aktif inilah yang menghasilkan usaha -- baik berupa panas, terang, bunyi maupun gerak berputar pada motor listrik. Angka yang tercantum pada aparat listrik seperti generator, transformator, kipas angin, lemari es dan pompa air, biasanya daya tersamar itulah - bukan daya aktif. Adapun daya aktif yang tertulis pada lampu TL--sialam wat--dalam praktek memang tercapai. Tapi dengan risiko: volt ampera yang dimakan jauh lebih besar dari jumlah watnya, akibat daya reaktif dalam kumparan ballast trafonya. Nah, perbandingan daya aktif (wat) dengan daya tersamar (VA) itulah yang disebut "faktor kerja" alias cos phi. Baru Satu Produsen Angka itu berkisar dari 0 sampai 1. Lampu pijar, faktor kerjanya 1. Dengan kata lain, VA yang dikonsumir sama dengan jumlah watnya. Motor-motor listrik, oleh pabrik sudah dirancang sehingga faktor kerjanya tidak kurang dari 0,8. Namun faktor kerja lampu neon -- akibat jeleknya kwalitas trafo ballast-nya - berkisar antara 0,3 sampai paling banter 0,5. Akibatnya, lampu neon yang berdaya aktif 20 wat pada tegangan 127 volt dalam praktek mengkonsumir 46 VA. Bahkan pada tegangan 220 volt lebih boros lagi: sampai 70 VA. Konsumsi daya tersamar yang hampir 2 x daya aktif itu ditemukan pula pada lampu neon 40 wat, yang pada tegangan 127 volt mengkonsumir 89 volt. Sedang pada tegangan 220 volt, dengan merek trafo ballast tertentu mengkonsumir 78 volt. Begitulah kesimpulan riset yang dilakukan ir Suryono, ahli listrik lulusan Tiongkok yang kini memimpin sebuah perusahaan asembling kondensator buatan Jepang. Alat ini -- yang kelak akan diwajibkan pemakaiannya bila konsep peraturan Menteri PUTL sudah ditandatangani - dipertontonkan pemakaiannya di Pekan Raya Jakarta yang baru lalu (lihat skema). Katanya kepada TEMPO: "Negeri-negeri tetangga seperti Malaysia, Muangthai dan Singapura sudah lama mewajibkan pemakaiannya dalam instalasi listrik. Khusus untuk lampu TL, keharusan memasang kondensator sudah dituangkan dalam peraturan instalasi listrik setempat. Nah, kapan PLN menyusul?" Dengan memasang kondensator yang harganya sama dengan 2 bungkus rokok kretek, faktor kerja lampu neon dapat dikatrol dari 0,4 menjadi 0,8. Sehingga konsumen dengan jatah listrik 650 VA akan mampu memasang 18 lampu neon @ 20 wat. Padahal tadinya paling banter separohnya saja, begrenser sudah anjlok. Dan frustrasi orang seperti Madewa -- maupun PLN yang terus-menerus dituding sebagai penjegal arus listrik konsumen -- dapat terobati. Sayangnya, produsen alat listrik yang kecil tapi vital ini baru satu. Yakni di Tangerang, di bawah pengawasan Lembaga Masalah Ketenagaan (LMK)/PLI. Sehingga kalau saatnya penggunaan kondensator diwajibkan oleh Menteri dapatkah semua langganan dilayani?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus