PERISTIWANYA terjadi dua tahun yang lalu, di bulan puasa.
Seorang berasal dari Ujungpandang dan bermukim di madrasah
Darussalam, Martapura, Kalimantan Selatan, dikeroyok orang.
Sebab pengeroyokan, tak jelas. Namanya Jamaluddin. Setibanya di
rumah sakit Ratu Zaleha, putuslah nyawanya. Sementara tangan
Jamaluddin masih tetap dalam keadaan diborgol.
Tidak banyak ceritera, jenazah Jamaluddin dikubur di pemakaman
Kampung Jawa, di belakang pabrik penggilingan padi Sekadar.
Kuburannya biasa saja, seperti kebanyakan kuburan di daerah situ
yang bernisankan kayu ulin. Bila malam hari beberapa orang teman
dan kerabatnya mengaji di kuburannya, dibantu penerangan lampu
stromking.
Jadi Keramat
Ketika orang mengaji di malam pertama dan kedua, tidak terjadi
apa-apa. Timbunan tanah di mana di bawahnya terbaring jasad
Jamaluddin, tetap membisu. Demikian pula timbunan tanah di
sekitar. Sampai pada suatu malam kabarnya ada beberapa orang
yang menyaksikan keajaiban. Yaitu adanya seberkas cahaya yang
turun dari atas, meluncur ke bawah dan tepat berhenti di atas
gundukan tanah tempat Jamaluddin dikubur. Yang menyaksikan turun
naiknya cahaya itu kemudian mengambil kesimpulan: kuburan
Jamaluddin adalah kuburan keramat. Warta berita dari mulut ke
mulut ini, tentu saja menjalar cepat.
Kemudian, seorang dua datang ke kuburan Jamaluddin. Berbagai
niat dan nazar bertemu di kubur tersebut. Biasanya, mereka
membawa sehelai kain untuk menutupi kuburan itu. Kain pelapis
yang segala warna itu akhirnya memayungi kuburan Jamal. Bukan
dua tiga lapis saja, tapi sering begitu tebal karena begitu
banyak pula orang menyampirkan kain tersebut, setelah nazarnya
terkabul. Di samping kubur, ada pula sebuah celengan, hasil
sedekahan para peziarah. Memang tidak ditetapkan harus
menyumbang atau tidak, tapi nyatanya guci celengan tidak pernah
sepi terisi.
Rafiuddin, adik almarhum yang juga jadi santeri di pesantren
Darussalam dinyatakan berhak membuka celengan tersebut. Karena
hasilnya lumayan, Rafiuddin kemudian membuat kubah pada makam
abangnya. Pendapatannya lebih banyak lagi, digantilah kuburan
tersebut dengan batu pualam, beratap seng, berdinding tembok dan
alas ubin yang sejuk. Agar udara tidak terlalu panas di rumah
kubah tersebut, dibuat pula jendela. Kini, kuburan Jamal mirip
sebuah rumah mungil yang selalu terawat bersih.
Peziarah kian bertambah saja. Dari lingkungan desa, merembet ke
lingkungan kota, kemudian kabupaten dan propinsi. Kini, setelah
dua tahun, bahkan beratangan pula orang-orang yang kabarnya
dari Sala, Jawa Timur, Ujungpandang atau Samarinda. Kalau anda
datang ke Martapura dan akan mencari keramat Jamal, bilang
sajalah dengan tukang becak di sana. Pasti mereka tahu.
Berkah dan Rezeki
Bukan hanya Rafiuddin yang kini hidupnya lebih nyaman dan
tenteram. Tapi juga Pak Cerbon, 60 tahun, yang tugasnya jadi
jurukunci kuburan. Dialah yang merawat makam dengan teliti. Dia
pula yang membersihkan kembang kenanga yang selalu menumpuk
tebal di atas pusara dan dia pula yang menyediakan air bersih di
samping makam yang ditaruhnya dalam sebuah tempayan.
Setiap celengan dibuka oleh Rafiuddin, Pak Cerbon tidak
ketinggalan mendapat cipratan juga. Rumahnya dulu jederhana,
terbuat dari batawing perepek (dinding daun enau) kini telah
berganti papan lanan. "Syukur alhamdulillah, rezeki ada saja,"
ujar Pak Cerbon. Dia selalu berkata bahwa pemberi rezeki bukan
keramat Jamal, tapi "si pemberi Rafiudin."
Kain pelapis makam, sudah ratusan jumlahnya. Menurut Pak Cerbon,
kain yang berwarna kuning itu "diberikan ke surau-surau untuk
pesujudan sembahyang." Tambahnya lagi: "Untuk masjid Pamangkih
saja, dihadiahkan 100 lembar sudah." Peziarah banyak datang di
hari-hari Jum'at, Minggu atau Selasa.
Hidup Safiuddin semakin nyaman, tubuhnya pun tidak sekurus dulu
lagi. Pak Cerbon masih saja dengan rajin menyediakan air untuk
peziarah. Kini perlengkapan peziarah ditambah pula dengan sebuah
kitab Yassin ukuran kecil. Tadinya, si juru kunci ingin juga
melengkapi dengan sebuah potret almarhum. Tapi apa lacur, tokoh
ulama setempat yang bernama KH Badruddin (wakil Golkar 1977 yang
terpilih jadi anggota MPR nanti) memprotes keras. "Segera
tanggalkan!" seru sang ustaz, serentak dia melihat foto itu
sempat terpampang di dinding. "Tak boleh begitu dan simpan saja
di rumah." Pak Cerbon segera mencopot gambar itu dan kini
tergantung di dinding rumahnya. Menurut alasannya, banyak
peziarah yang menanyakan foto almarhum yang telah memberi berkah
dan terkabul. Kata Pak Cerbon lagi: "Kalau tak boleh, ya apa
boleh buat. Bisa dilihat di dinding rumah saya."
Seorang santri dari madrasah Tunggul Irang setiap Jum'at ziarah
ke makam Jamaluddin. Katanya: "Semoga saya bisa sesabar dan
setabah almarhum ketika menuntut ilmu semasa hidupnya."
Nenek-nenek dan ibu-ibu banyak membawa anaknya yang telah sembuh
dari sakit. Sambil mengucap nama Tuhan, seorang nenek mengusap
air dari tempayan ke muka dan tubuh cucunya. Kabarnya, sang cucu
telah sembuh dari sakit panas dan gatal sekujur badan.
Tapi banyak juga penduduk yang tidak begitu senang akan terlalu
dipujanya keramat Jamal ini. Bisa-bisa nantinya, demikian
pendapat mereka, tergelincir ke arah syirk. Ceritera tentang
Jamaluddin sendiri, di kala dia masih hidup, sering jadi ucapan
orang. Antara lain kisah tentang bagaimana dia berpuasa beberapa
hari, karena tak ada uang untuk membeli beras. Tapi sekolahnya
di madrasah Darussalam, tidaklah sampai putus hanya karena perut
lapar. Ceritera ini, memberikan harapan kuat bagi si miskin.
Kalau mau percaya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini