Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Rencana pemerintah menggunakan ivermectin sebagai terapi pasien Covid-19 memicu kontroversi.
Dua fungsi ivermectin yang berhubungan dengan Covid-19 adalah menghambat replikasi virus dan sifat anti-peradangannya.
Badan Pengawas Obat dan Makanan meminta ada uji klinis untuk menguji khasiat obat cacing ini bagi terapi pasien Covid-19.
“KAPAN terakhir kali Anda cacingan?” Guru besar Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zullies Ikawati, melontarkan pertanyaan itu saat membahas ivermectin, obat cacing yang kini jadi pembicaraan hangat. “Obat itu tidak begitu familier. Saya mendengarnya setelah ramai-ramai belakangan ini,” kata Zullies, Rabu, 23 Juni lalu. Kasus cacingan bukannya tak ada di Indonesia. Namun kasus penyait itu kini makin jarang. “Jenis cacing yang ditemukan dan obat yang dipakai juga berbeda. Selama ini kebanyakan obat cacing dipakai untuk hewan,” ujarnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ivermectin sudah ada di Indonesia sejak tahun lalu, didatangkan oleh PT Harsen Laboratories. Namun obat itu baru menjadi pembicaraan ramai setelah Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir memerintahkan PT Indofarma Tbk—anak usaha perusahaan pelat merah Bio Farma—mendatangkannya untuk mengobati pasien Covid-19. Pernyataan itu memicu kontroversi karena belum ada uji klinis terhadap obat tersebut. Selain itu, Badan Kesehatan Dunia (WHO) dan beberapa negara belum merekomendasikan ivermectin untuk pengobatan pasien Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada Senin, 21 Juni lalu, Erick Thohir mengatakan PT Indofarma Tbk sudah mendapat izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) untuk mengedarkan ivermectin, yang harganya berkisar Rp 5.000-7.000 per tablet. Erick juga menyitir jurnal kesehatan yang mengumumkan efektivitas obat ini bagi pasien Covid-19 dan kini ada uji klinis yang berjalan. Di BPOM, ivermectin memiliki nomor registrasi GKL2120943310A1 yang izinnya edarnya keluar pada Ahad, 20 Juni lalu.
BPOM mengakui adanya publikasi mengenai penggunaan ivermectin yang menunjukkan potensi efek penyembuhan pasien Covid-19. Namun publikasi itu dinilai belum cukup untuk digunakan sebagai bukti. Sebab, banyak faktor yang dapat berpengaruh pada kesembuhan pasien selain yang diduga efek ivermectin. “Masih perlu pembuktian khasiat ivermectin melalui uji klinis,” tulis BPOM dalam siaran persnya, Selasa, 22 Juni lalu.
Sebenarnya Kementerian Kesehatan sudah membentuk tim uji klinis pada Januari lalu. Tim ini dipimpin oleh pelaksana tugas Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Muhammad Karyana. Ketua tim adalah Budhi Antariksa dari Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan dan Pompini Agustina Sitompul dari Rumah Sakit Penyakit Infeksi Prof Dr Sulianti Saroso. Permohonan uji klinis diajukan pada Februari lalu. “Persetujuan dari BPOM diberikan satu atau dua pekan lalu,” tutur Budhi, Jumat, 25 Juni lalu.
Meski kurang populer di Indonesia, ivermectin sudah dikenal lama di dunia. Menurut Zullies Ikawati, obat itu pertama kali diproduksi pada 1975 sebagai obat antiparasit. Obat ini sempat didonasikan ke Afrika. Sebab, penyakit akibat cacing banyak ditemukan di negara yang masih terbelakang. Pemicu utamanya adalah masalah kebersihan. “Itu sebabnya jarang ada masalah seperti itu. Apalagi di negara maju. Kalaupun dipakai, biasanya untuk hewan,” ucapnya. Salah satu penyakit akibat infeksi cacing yang bisa diobati dengan obat ini adalah filariasis (kaki gajah).
Di Indonesia, pemakaian ivermectin bukannya tidak ada. Budhi mengungkapkan, ia tertarik pada ivermectin sejak 2020 setelah mendengar ada sejumlah penelitian tentang obat tersebut di beberapa negara. Tapi memang tidak mudah mencari ivermectin. Ia menemukannya saat bertemu dengan pengajar di Institut Pertanian Bogor. “Orang di IPB sudah memakai. Tapi untuk hewan,” dia menjelaskan.
Menurut Zullies, ivermectin mulai mencuri perhatian setelah pada Juni 2020 ada publikasi dari Monash University, Australia, yang memberi celah pemanfaatan obat ini untuk pasien Covid-19. “Mereka menemukan obat ini bisa memiliki efek antiviral pada tahap in vitro untuk SARS-CoV-2,” katanya. Setelah itu, sejumlah dokter di berbagai negara, termasuk di India dan Bangladesh, melakukan uji coba, meski ada juga yang kemudian tidak melanjutkannya.
Menurut peneliti pada Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Marissa Angelina, publikasi tentang efek antiviral dan anti-inflamasi ivermectin sudah ada sejak 2016. Selain sebagai antiparasit, penelitian menemukan efek obat itu sebagai antivirus, anti-inflamasi, dan antikanker. Setelah itu, ada pengujian pemakaiannya terhadap pasien Covid-19 antara lain di Bangladesh, Iran, India, Turki, Argentina, Libanon, Israel, dan Mesir. “Semua hasil penelitian klinis dengan jumlah sampel terbatas tersebut menunjukkan adanya percepatan perbaikan pasien Covid-19,” ujar Marissa, Rabu, 23 Juni lalu.
Budhi mengatakan ada sejumlah jurnal yang memuat laporan penelitian tentang ivermectin. Salah satunya American Journal of Therapeutics volume 28, Mei/Juni 2021, yang memuat “Review of the Emerging Evidence Demonstrating the Efficacy of Ivermectin in the Prophylaxis and Treatment of Covid-19”. Laporan riset itu ditulis lima peneliti Amerika Serikat. Jurnal itu menyebutkan, berdasarkan 18 uji coba, ditemukan pengurangan angka kematian yang besar dan signifikan secara statistik, pengurangan waktu pemulihan klinis, dan pengurangan waktu untuk pembersihan virus.
Dari sejumlah jurnal itu, Budhi menambahkan, diketahui ada dua fungsi ivermectin yang berhubungan dengan Covid-19. Pertama, potensinya untuk menghambat replikasi virus. Selama tidak menemukan inang, virus tak akan bisa hidup dan berkembang. Kalaupun dapat hidup di udara, virus tidak akan berkembang biak dan tak akan bertahan lama. “Dari penelitian itu diperlihatkan bahwa replikasi virus Covid-19 dihambat oleh ivermectin sehingga bisa menekan pertumbuhan virus,” ucapnya.
Fungsi kedua, Budhi melanjutkan, ada pada sifat anti-peradangannya. Peradangan terjadi karena ada upaya virus untuk berkembang di tubuh manusia. Pada saat yang sama, tubuh mengeluarkan berbagai senjata untuk menghadang benda asing tersebut. Itulah yang terjadilah dalam tubuh pasien Covid-19 yang dikenal sebagai badai sitokin. “Ivermectin itu bisa menghambat terjadinya badai sitokin karena ia merepresi beberapa sel yang bekerja dalam peradangan,” tutur Budhi.
Sejumlah hasil penelitian dan uji coba itulah yang memberi harapan bahwa ivermectin juga bisa dipakai untuk mengatasi Covid-19 di Indonesia. “Karena semua orang memang mencari obatnya,” kata Zullies. Pola semacam ini juga menjadi tren dalam penanganan Covid-19, yaitu menggunakan obat yang sudah ada. Sebab, untuk membuat obat yang baru, dibutuhkan waktu panjang. Menurut Marissa, ivermectin juga lebih menarik perhatian karena harganya relatif murah.
Memang, ada juga kekhawatiran terhadap efek samping pemakaiannya. Budhi menegaskan bahwa efek samping obat ini memang ada, tapi tidak mematikan seperti dalam rumor yang beredar. Kalau ada efek berbahaya, ivermectin pasti tidak akan terus dipakai selama lebih dari 30 tahun. “Artinya, obat ini relatif aman,” ujarnya. Zullies mengatakan efek samping obat ini antara lain mual, diare, sakit kepala, dan nyeri otot. “Memang ada yang fatal seperti kelainan serius pada kulit atau Stevens-Johnson syndrome. Tapi itu jarang terjadi.”
Zullies menegaskan, meski sudah ada kajian tentang ivermectin di luar negeri, penelitian serupa belum pernah dilakukan di Indonesia. “Karena itu, perlu dilakukan uji klinis,” tutur Zullies, yang meraih gelar doktor bidang farmakologi dari School of Medicine Ehime University, Jepang, pada 2001. Dia menambahkan, sebenarnya bisa saja data dari negara lain digunakan asalkan data itu sesuai dan relevan.
Budhi mengatakan timnya sedang menyiapkan uji klinis. Penelitian akan dilakukan di delapan rumah sakit, yaitu RSUP Persahabatan, RSPI Sulianti Saroso, rumah sakit di Kalimantan Barat, rumah sakit di Medan, dan empat rumah sakit di bawah Universitas Pertahanan. Tim akan menguji tiga dosis: 200, 400, dan 600 microgram per kilogram berat badan. “Kalau sudah dapat dosis yang aman dan efektif, itu yang akan dipakai untuk diujicobakan pada pasien Covid-19,” ucapnya.
Meski kini obat itu masih berstatus dalam tahap uji klinis, Budhi menambahkan, sejumlah dokter diam-diam sudah memakainya. “Ada yang memakai untuk diri sendiri sebagai antisipasi karena banyak kontak dengan pasien,” ujarnya. Koordinator dokter paru di Rumah Sakit Darurat Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta, Arief Riadi, mengatakan ada beberapa sejawatnya yang mungkin telah mencobanya. “Tapi itu di luar rekomendasi dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia,” katanya, Kamis, 24 Juni lalu.
Arief mengatakan, meski ada jurnal dari luar negeri yang meneliti ivermectin, belum ada dokter di Wisma Atlet yang menggunakannya karena BPOM belum mengeluarkan izin pemakaian. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia juga belum memberikan rekomendasi. “Ivermectin belum masuk standar terapi. Kami tidak berani menggunakannya,” tuturnya. Obat terapi antivirus yang sesuai dengan protokol saat ini, Arief menambahkan, adalah osetamivir, fapiviravir, dan remdesivir.
ABDUL MANAN
Koreksi: Naskah ini mengalami perbaikan soal dosisnya menggunakan ukuran microgram.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo