Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PASTOR Yusuf Bilyarta Mangunwijaya alias Romo Mangun menyamar sebagai Robin Hood. Ia memakai topi kuncup hijau khas pahlawan kaum papa yang melegenda di Inggris itu. Senyumnya merekah. Namun gambaran itu hanya ada di atas kanvas perupa Yundhi Prayitno. Lukisan wajah Romo Mangun berlatar hijau zaitun itu dipajang di Rumah Budaya Royal House Cultural Activities, Yogyakarta, dalam pameran bertajuk “Menapak Jejak Kebangsaan Tribute to YB Mangunwijaya”, 20-27 Juni 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Karya Robet Kan, Jadilah Air Putih Tidak Mewah Tapi Sangat Berarti, yang dipamerkan dalam Menapak Jejak Kebangsaan Tribute to YB Mangunwijaya, di Rumah Budaya Royal House Cultural Activities, Yogyakarta, 24 Juni 2021. TEMPO/Pito Agustin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejatinya, pameran yang diikuti 23 seniman Yogyakarta ini direncanakan berlangsung mulai 15 Juni lalu. “Namun akhirnya diundur agar teman-teman seniman ada persiapan lebih lama,” kata koordinator pameran, Chamit Arang, saat ditemui Tempo di ruang pamer, Kamis, 24 Juni lalu.
Kondisi pagebluk Covid-19 juga membuat penyelenggara mengubah konsep acara. Semula, menonton bareng film Sang Manyar: Nyanyian Pinggir Kali menjadi agenda utama. Film garapan sutradara dan penulis skenario Sergius Sutanto itu menyuguhkan kisah hidup Romo Mangun sejak muda hingga merintis permukiman di Kali Code, Yogyakarta. Namun, dengan sejumlah pertimbangan, hanya pameran seni rupa dan pertunjukan musik yang jadi digelar.
Baca: Wawancara dengan Sutradara Film Dokumenter tentang Romo Mangun
Di Rumah Budaya, Romo Mangun menjadi benang merah ke-23 karya seniman. Ada lukisan wajah lelaki kelahiran Ambarawa, Jawa Tengah, 1929, itu, juga gambar celeng, pasar malam, dan permukiman. Bukan hanya gambar, ada pula instalasi dan patung yang dibuat atas dasar kerinduan para seniman terhadap sosok Romo Mangun sebagai aktivis, budayawan, arsitek, penulis, sekaligus rohaniwan. Karya-karya tersebut menempel pada aneka properti, seperti dinding anyaman bambu, dinding gebyok, papan kayu, juga papan tulis.
Sebagian karya itu sudah lama dibuat. Seperti karya Chamit, yang ia buat langsung di sebuah pasar malam di Kaliurang, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada 2017. Ilustrasi pada kanvasnya berlatar biru suram. Di antara tenda komidi putar, tampak orang-orangan sawah muncul di tengah keriuhan. Lukisan berjudul Pesta Rakyat itu, menurut Chamit, menggambarkan pesona Romo Mangun yang dalam kehidupannya berbaur dengan kaum marginal.
Demikian pula lukisan Robet Kan, yang ia beri judul dari cuplikan kata-kata mutiara Romo Mangun: Jadilah seperti Air Putih, Tidak Mewah tapi Sangat Berarti. Dia melukis wajah Romo Mangun yang dikelilingi citraan garis melingkar-lingkar di sekitarnya. “Jadi setiap seniman merespons dengan versi masing-masing. Digathuk-gathukke (Dicocok-cocokkan). Tapi titik temunya sama, konsep kerakyatan Romo Mangun,” tutur seniman tata ruang Emha Irawan, yang juga pemilik ruang pamer.
Karya instalasi Tatang Maruto berjudul Persaudaraan dan Kesuburan, di Yogyakarta, 24 Juni 2021. TEMPO/Pito Agustin
Emha sendiri berkolaborasi dengan perupa Budiono. Oleh Budiono, foto Romo Mangun tersenyum lebar dipindahkan ke kanvas setelah dicetak digital. Sementara itu, Emha membuat delapan panel sketsa berukuran kecil yang menggambarkan karya arsitektur Romo Mangun di perkampungan Code dan Gua Maria Sendangsono. Salah satu ciri khas arsitektur Romo Mangun di kedua lokasi itu yang ditangkap Emha adalah bentuk atap rumah sekaligus dinding yang menyerupai huruf A.
Karya-karya itu dibuat dua hari sebelum pameran dimulai. Coretan perpaduan pensil warna mengapit lukisan Budiono. “Saya menapak jejak-jejak karya arsitektur beliau dengan sketsa,” ucap Emha. Risetnya cukup mudah. Emha tinggal berselancar di dunia maya untuk mendapatkan gambar karya arsitektur Romo Mangun. Selebihnya diperoleh Emha saat dulu singgah di perkampungan Code dan Sendangsono.
Keikutsertaan Emha dalam pameran itu pun tak terlepas dari kerinduan terhadap sosok seperti Romo Mangun yang kehadirannya penting dalam suasana negeri yang tengah karut-marut karena pandemi, juga persoalan sosial-ekonomi. “Seniman perlu menghidupkan roh sosok Romo Mangun kembali,” ujarnya.
Ada juga karya instalasi Tatang Maruto berjudul Persaudaraan dan Kesuburan. Dia membuat citraan pohon yang berbunga aneka warna: merah, putih, biru, oranye. Dua merpati putih lambang kedamaian bertengger di dahan. Pada batang pohon, terlukis lima simbol agama dalam lingkaran. Patung berbahan terakota berwarna cokelat yang juga menggambarkan sosok Romo Mangun sedada dibuat pematung Bedjo Ludiro. Patung itu berada di tengah ruangan dan diapit lukisan-lukisan lain yang menempel pada dinding anyaman bambu.
Dari 23 partisipan, sebagian pernah bertemu langsung dengan Romo Mangun semasa hidup. Salah satunya Tri Adi Wijaya, yang punya ikatan emosional dengan Romo Mangun sejak masa di perkampungan Code. Tri masih duduk di bangku sekolah menengah atas ketika dia ikut membantu Romo Mangun mengajari anak-anak kampung pinggir kali itu membaca-menulis dan berhitung pada 1985-1986.
Karya Tri Adi Wijaya berupa lukisan potret Romo Mangun dengan kutipan anak-anak bangsa bukanlah sapi-sapi perah komoditas. TEMPO/Pito Agustin
Tri juga bergabung dengan komunitas yang berkegiatan serupa di Kampung Gondolayu hingga Sayidan pada 1987-1989. Kedua kampung itu juga berada di bantaran Kali Code. Dalam komunitas yang secara formal tak pernah tercatat, yaitu Gerakan Pasinaon Sih, itu, Tri adalah anggota termuda. Anggota lain sudah kuliah di Universitas Gadjah Mada dan Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
Begitu cintanya Tri pada dunia pendidikan bervisi kerakyatan yang dibangun Romo Mangun, ia juga menjadi salah satu pengajar Sekolah Mangunan. Namun, setahun sebelum pagebluk, pada 2019, dia mengundurkan diri. Tri mengaku tak lagi sreg dengan konsep sekolah neo-Mangunan, yang menurut dia sudah seperti sekolah kebanyakan yang kapitalistik. “Sekolah Mangunan sudah kehilangan konsep pendidikan yang dicanangkan Romo Mangun,” tuturnya saat dihubungi, Jumat, 25 Juni lalu.
Dari kekecewaan itu, lahirlah karya seni rupa Tri berupa lukisan potret Romo Mangun. Sosok itu digambarkan ceria dengan senyum lebar. Sebatang pensil terselip di dekat kuping kanannya. Adapun baju yang dikenakan Romo Mangun bergaris dan dipenuhi citraan lembaran-lembaran duit Rp 100 ribu berwarna merah di sisi atas serta Rp 200 ribu berkelir putih di bawah. Ada tulisan berlekuk pada baju itu yang bunyinya teramat menohok: “anak-anak bangsa bukanlah sapi-sapi perah komoditas”. “Itu kata-kata Yusuf Bilyarta Mangunwijaya sendiri yang disampaikan saat bertemu dengan Gus Dur. Memang tak terekspos media,” kata Tri.
PITO AGUSTIN RUDIANA (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo