Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

wawancara

Indonesia Mirip Cina Sepuluh Tahun Lalu

Pandemi Covid-19 telah mengubah peta demografi investor pasar modal. Komisaris Bursa Efek Indonesia, Pandu Patria Sjahrir, mengatakan antusiasme investor dari generasi milenial dan generazi Z melonjak tajam sepanjang pandemi. Sejak 2016, jumlah investor muda mencapai lebih dari 1,8 juta. Menurut Pandu, penambahan tertinggi berasal dari investor berusia 28 tahun ke bawah. Perkembangan pesat dunia digital juga telah membuka jalan bagi menjamurnya perusahaan teknologi dan rintisan. Salah satu sektor yang paling banyak diminati investor asing adalah fintech. Pandu, pebisnis dan investor yang juga menjabat Ketua Dewan Pengurus Harian Asosiasi Fintech Indonesia, mengatakan perusahaan-perusahaan fintech kelak tidak hanya berfokus pada penyaluran kredit konsumtif. Fintech peer to peer lending juga akan memperbanyak porsi pinjaman produktif untuk mendukung sektor UMKM.

26 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Komisaris Bursa Efek Indonesia Pandu Patria Sjahrir mengatakan pandemi Covid-19 telah membuat jumlah investor kalangan milenial dan generasi Z melonjak tajam.

  • Industri fintech paling banyak diminati investor asing dalam satu tahun terakhir, mengalahkan sektor e-commerce dan logistik.

  • Pandu Sjahrir menilai pinjaman online melalui fintech peer to peer lending lebih banyak bersifat konsumtif.

GENAP satu tahun menjabat komisaris Bursa Efek Indonesia, Pandu Patria Sjahrir mendapati tren melonjaknya jumlah investor muda di pasar modal. Angka kenaikan yang terbaca mulai 2016 itu mengalami lompatan drastis sepanjang pandemi Covid-19. Hingga Mei lalu, jumlah investor generasi milenial dan generasi Z telah mencapai lebih dari 1,8 juta atau 77,9 persen. “Paling besar berusia 28 tahun ke bawah,” kata Pandu, 42 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo, Selasa, 22 Juni lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pandu juga mencermati pesatnya perkembangan perusahaan teknologi finansial (fintech) dalam 12 bulan terakhir. Pebisnis dan investor yang terpilih sebagai Ketua Dewan Pengurus Harian Asosiasi Fintech (Aftech) Indonesia pada 2 Juni lalu ini mengatakan perusahaan fintech paling banyak diminati investor asing, diikuti perdagangan digital (e-commerce) dan logistik. Namun industri fintech, yang didominasi perusahaan peer-to-peer (P2P) lending, sejauh ini lebih banyak menyalurkan kredit konsumtif. Adapun pinjaman produktif kepada para pelaku usaha kecil dan menengah belum optimal.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pada usia terbilang muda, Pandu telah malang-melintang di dunia investasi dan modal ventura, khususnya perusahaan teknologi. Putra ekonom Sjahrir yang juga keponakan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan ini menempati posisi strategis di sederet perusahaan prestisius, seperti Gojek, SEA Group yang menaungi Shopee, dan Indies Capital Partners. Bahkan namanya sempat masuk bursa kandidat bos Lembaga Pengelola Investasi. “Sebelum kembali ke Indonesia, saya dulu investment banker, lalu bekerja di private equity di Amerika,” ujarnya.

Dalam perbincangan melalui konferensi video dengan wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, Retno Sulistyowati, Yohanes Paskalis, Aisha Shaidra, dan Vindry Florentin, Pandu bercerita tentang platform digital yang makin diminati di Indonesia, banyaknya investor yang melirik pendanaan untuk usaha kecil dan menengah, serta pentingnya regulasi di industri teknologi finansial. Ia juga mendorong perusahaan teknologi besar melantai di bursa saham.

Sebagai komisaris Bursa Efek Indonesia, Anda ingin menggandeng perusahaan-perusahaan rintisan dan teknologi menjadi emiten di pasar modal. Bagaimana perkembangannya?

Ada satu perusahaan e-commerce yang tadinya mau IPO (menerbitkan saham perdana). Saya tidak bisa menyebut siapa. Ada satu lagi perusahaan teknologi konglomerasi yang juga berencana melakukan IPO. Menurut saya, perusahaan yang besar-besar lebih dulu masuk, setelah itu perusahaan yang berkembang tentu akan melihat aspirasi mereka. Kalau mereka (perusahaan besar) sukses, pasti industrinya juga bertambah sukses.

Apa pentingnya mengajak perusahaan teknologi dan rintisan masuk bursa?

Kalau Anda lihat di Amerika Serikat dan Cina, sebagai referensi paling mudah, di sana delapan atau sembilan dari sepuluh perusahaan terbesar adalah perusahaan teknologi. Di Indonesia masih nol dari sepuluh yang top market cap. Walaupun sekarang ada satu-dua fintech bank yang sudah mulai masuk ke sana. Kita harus mendorong. Sebenarnya perusahaan-perusahaan teknologi kalau digabungkan kapitalisasi pasarnya lebih besar dari perusahaan telekomunikasi, lho. Pada 2016-2017, sewaktu pertama kali marak perusahaan teknologi, apakah itu e-commerce atau apa pun, banyak yang ragu apakah bisa berkembang. Sekarang mereka lebih besar dari perusahaan yang mungkin dulu tidak percaya mereka bisa sebesar ini. Agar bursa bisa merefleksikan perkembangan ekonomi di Indonesia, harus ada perubahan-perubahan ekonomi digital yang merepresentasikan hal itu.

Perusahaan apa saja yang masih mendominasi bursa?

Perbankan dan consumer goods.

Apa daya tarik investor untuk menanamkan modalnya di perusahaan teknologi?

Ini salah satu sektor yang pertumbuhannya paling pesat di dunia. Banyak sekali investor asing, dari Amerika, Cina, Eropa yang melihat Indonesia secara serius. Coba Anda lihat, karena perang dagang, Amerika dan Cina kini bermain sendiri-sendiri. Kedua, India sekarang sedang mengalami masa krisis karena Covid. Dibanding di Amerika Latin, pertumbuhan di Asia Tenggara lebih menarik karena demografinya muda. Anak-anak muda berani beradopsi ke dunia online lebih cepat sehingga banyak sekali yang bermain di mobile. Dalam waktu lima tahun terakhir saja sudah berani membelanjakan uangnya di berbagai platform digital. Mereka membeli barang sehari-hari dan membayarnya melalui platform e-money. Kalau dulu, semuanya cash on delivery.

Apa artinya semua itu?

Platform-platform digital sudah meraih kepercayaan konsumen. Berbeda dengan dulu yang mengalami defisit kepercayaan. Investor asing melihat Indonesia mirip Cina sepuluh tahun lalu. Bakal ada perusahaan dari Indonesia yang bernilai US$ 100 miliar dan waktunya enggak bakal terlalu lama. Itu terobosan besar karena sampai sekarang belum ada perusahaan di Indonesia yang bernilai US$ 100 miliar.

Benarkah investor muda makin banyak membanjiri pasar modal?

Gara-gara Covid, banyak sekali anak muda berinvestasi. Paling besar berusia 28 tahun ke bawah. Loncatannya luar biasa. Kebanyakan kita bekerja secara online dari rumah sehingga ada idle time. Banyak yang mengatakan uangnya sekarang diapakan. Salah satu cara yang mudah diakses memang pasar modal walaupun ada juga kripto yang sedang berkembang pesat. Poinnya simpel, yaitu mencari passive income. Uang bisa bekerja buat diri Anda masing-masing. 

(Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia, pada 2016-Mei 2021, jumlah investor berusia di bawah 40 tahun lebih dari 1,81 juta. Pertumbuhan jumlah investor berusia 18-25 tahun paling pesat, yakni 1.127,94 persen, sebanyak lebih dari 846 ribu. Adapun jumlah investor berumur 26-30 tahun bertumbuh 649,01 persen di angka sekitar 460 ribu. Sepanjang pandemi, generasi milenial dan generasi Z mendominasi jumlah investor baru, yakni 77,9 persen. Sebanyak 36 persen di antaranya berusia 18-25 tahun.)

Perusahaan rintisan sektor apa saja yang paling banyak diminati investor?

Dunia fintech selama 12 bulan terakhir paling banyak diminati investor asing setelah e-commerce dan logistik. Perusahaan-perusahaan anggota Aftech memiliki inovasi-inovasi tertentu untuk bisa menaikkan jangkauan ke UMKM (usaha mikro, kecil, dan menengah), mencoba mendaftarkan UMKM dan membaca ledger-nya. Pendanaan ke sana sudah ratusan juta dolar Amerika. Sangat menarik karena total investasi ke perusahaan-perusahaan ini sudah mirip perusahaan-perusahaan besar yang Tbk (terbuka). Sekarang investor melihat UMKM sektor yang sangat seksi. Kalau membicarakan piramida, ini piramida gemuk yang sedang dicari semua orang karena ada peluang di sana.

Sebagai Ketua Dewan Pengurus Harian Asosiasi Fintech Indonesia, bagaimana terobosan Anda untuk mendongkrak pertumbuhan layanan teknologi finansial?

Tujuan untuk anggota kami, perusahaan-perusahaan berbasis teknologi yang berfokus ke layanan finansial, adalah menangkap semua unbanked atau orang yang tak memiliki akses bank untuk menjadi underbanked atau paling tidak memiliki akses bank. Dari underbanked menjadi bankable. Mereka yang unbanked atau underbanked tidak mendapat pelayanan akses perbankan sehari-hari. Bukan hanya rekening bank, tapi yang juga penting adalah kredit untuk usaha.

Berapa banyak orang yang belum memiliki akses terhadap layanan perbankan di Indonesia?

Jumlahnya mencapai lebih dari 100 juta orang.

Perkembangan industri fintech selama pandemi seperti apa?

Perkembangannya luar biasa. Banyak orang belanja secara online karena jauh lebih mudah. Kami ingin mendorong masyarakat bisa bertransaksi lebih besar menggunakan jasa online dari platform e-money yang sudah ada. Kemudian fintech P2P lending untuk memberikan pinjaman yang lebih besar. Selama ini lebih banyak kredit konsumtif.

Bagaimana dengan penyaluran kredit produktif?

Pinjaman produktif untuk UMKM dan perusahaan menengah. Masalahnya, mereka sekarang tidak ada akses kredit karena bank-bank besar hanya berfokus ke klien besar. Padahal roda ekonomi kita kebanyakan ditopang kelas menengah dan kecil.

Apa kendalanya?

Sekarang batas pinjamannya Rp 2 miliar. Itu yang harus diperbesar. Kenapa tidak bisa Rp 10 miliar, misalnya, sehingga bisa menargetkan audiens yang lebih besar karena mereka perlu pendanaan itu untuk mengembangkan ekonomi mereka.

Salah satu tantangan terbesar bagi industri fintech adalah soal regulasi. Bagaimana asosiasi menjalin kerja sama untuk mematangkan regulasi di Indonesia?

Soal regulasi ada kaitannya dengan inovasi. Regulasi bisa membantu dan bisa juga menyetop inovasi. Kami selalu berkomunikasi, terutama dengan Otoritas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia, sambil menjaga keseimbangan antara inovasi dan kepentingan umum. Misalnya, banyak orang sekarang teriak soal P2P lending karena diganggu kalau tidak bisa membayar pinjaman online. Diganggunya juga menggunakan “teknologi”. Jangan sampai satu air yang buruk merusak semua air yang bagus. Kami harus jelas di sini. Jika ada yang melakukan praktik-praktik tidak pas, bahkan kepada orang yang tidak membayar utangnya, tindakan itu saja sudah salah.

Bagaimana solusinya?

Pertama, edukasi hingga ke level paling bawah karena mereka yang kebanyakan diberi akses pinjaman online. Kedua, harus ada pembicaraan regulasi yang membatasi orang untuk bisa meminjam. Misalnya ada sepuluh penyedia pinjaman online, orang bisa pinjam dari semuanya. Padahal pendapatannya Rp 10 juta, tapi pinjamnya masing-masing Rp 5 juta dengan total Rp 50 juta. Ya, dia enggak bisa bayar, lah, karena bunganya tinggi.

Apakah penetapan bunga pinjaman online yang terbilang tinggi juga perlu diatur?

Saya percaya dengan perlunya batas bunga.

Bagaimana penjajakan yang dilakukan anggota Aftech terhadap para pelaku UMKM?

Melalui program Bangga Buatan Indonesia, sudah hampir 10 juta pedagang offline yang beralih ke online sampai Desember 2020. Bukan sebatas mendaftar, tapi mereka juga harus bisa mengembangkan usaha. Caranya dengan memperoleh kredit untuk bekerja. Aftech berfokus pada penyaluran kreditnya. Targetnya usaha kecil bisa jadi menengah, usaha menengah bisa jadi besar. Bukan hanya berjualan secara nasional, tapi internasional untuk membantu nilai ekspor kita.

Selama ini e-commerce berperan dalam membanjirnya produk impor murah, terutama dari Cina, yang justru lebih banyak merugikan UMKM. Menurut Anda, benarkah e-commerce bisa “membunuh” keberadaan UMKM?

Secara umum, tugas utama e-commerce di Indonesia adalah memperbesar UMKM. Kita semua bisa menjadi besar juga salah satunya karena UMKM, kok. Kemudian program Bangga Buatan Indonesia yang digagas pemerintah juga dibangun bersama oleh semua e-commerce di sini. Jadi secara garis besar e-commerce sangat membantu UMKM dan ekonomi Indonesia secara keseluruhan.

Komisaris Bursa Efek Indonesia Pandu Patria Sjahrir di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, April 2021. Dok. Pribadi

Pada usia yang masih terbilang muda, Anda telah tercatat sebagai investor di beberapa perusahaan teknologi ternama. Mengapa Anda tertarik menggeluti dunia investasi?

Saya dulu bekerja sebagai investment banker, lalu di private equity di Amerika. Sewaktu kembali ke Indonesia, saya diminta om saya (Luhut Binsar Pandjaitan) membangun TBS (PT TBS Energi Utama Tbk.) yang sudah menjadi perusahaan terbuka sejak 2012. Saat itu saya mulai berinvestasi sendiri dari uang yang ada, entah dari bonus entah lainnya. Saya berinvestasi di beberapa perusahaan yang sekarang menjadi perusahaan teknologi. Pada tahun itu tidak banyak yang berinvestasi ke sana sehingga pesaing tidak banyak. Perusahaannya juga enggak begitu banyak. Sebagian investasi saya berhasil. Mungkin banyak hoki dan berkahnya juga.

Selaku investor sekaligus salah satu komisaris BEI, bagaimana Anda mengatasi potensi terjadinya konflik kepentingan?

Saya menjadi komisaris untuk mewakili emiten. Tapi yang penting selalu menjaga kepentingan pemegang saham minoritas. Kebetulan di semua perusahaan tempat saya berinvestasi, saya minoritas, bukan pemegang saham pengendali. Jadi saya selalu melihat kepentingan pemegang saham minoritas. Karena itu, tata kelola menjadi penting.

Bagaimana dengan kepemilikan saham Anda di Gojek dan SEA Group?

Saya minoritas. Kalau di perusahaan startup, yang menjadi pemegang saham pengendali adalah pendiri. Ada saham pendiri.

Sebagai salah satu komisaris Gojek, bagaimana Anda melihat peta persaingan ke depan setelah merger Gojek dengan Tokopedia menjadi GoTo?

Seharusnya positif karena bisa membantu masyarakat menggunakan aplikasi Gojek dan Tokopedia untuk beraktivitas dari bangun pagi sampai tidur malam. Tapi Anda mungkin bisa berbicara dengan Andre (Soelistyo, CEO GoTo), yang paling mengerti soal ini.

Benarkah Anda selama ini berada di balik keputusan-keputusan penting yang diambil paman Anda, Luhut Pandjaitan?

Saya tidak bisa memilih menjadi keponakan Pak Luhut. Itu dari lahir. Tapi saya nikmati saja. Beliau orang yang luar biasa. Saya banyak belajar soal kepemimpinan, komunikasi, dan mengambil keputusan. Kalau soal itu, Pak Luhut jauh lebih hebat dari saya. Kalau ditanya soal masukan, pasti saya memberikan yang masuk akal buat dia saja. Beliau orangnya sangat make sense dan bisa membaca pemikiran banyak orang.

Apakah Anda sering berdiskusi dan memberikan masukan seputar perkembangan dunia teknologi?

Kalau ketemu, pasti berdiskusi. Kami berdua senang ngomongin macam-macam. Kalau ditanya soal perkembangan dunia teknologi, ya saya jawab sebisa saya. Saya menjawab dari sisi anak muda. Kan, dia melihat saya seperti milenial. Apa pun yang saya bilang, pasti dia cek lagi. Ya, enggak apa-apa juga. Buat saya, itu juga cara saya belajar.

Ketika menjadi kandidat CEO Lembaga Pengelola Investasi (LPI), Anda telah bersafari hingga ke Amerika Serikat untuk menjaring calon investor. Bagaimana ceritanya?

Menurut saya, ide LPI bagus sekali dan alhamdulillah terjadi. Sekarang fokus utama buat teman-teman di LPI adalah mencari tempat yang bagus untuk diinvestasikan. Tempat yang bisa menghasilkan untung bagi investor asing. Yang paling penting juga harus profit oriented buat LPI. Memang dari sebagian yang dilihat, karena yang fundraising adalah negara, tentu aset-aset badan usaha milik negara. Yang dicari harus aset yang bagus yang nanti bisa dikelola lebih bagus. Potensi ekonominya dimaksimalkan.

Apa saja investasi yang ditawarkan di Indonesia?

Saya tidak tahu perkembangan terbarunya. Sebaiknya ngomong dengan Mas Ridha (Wirakusumah, CEO LPI). Ceritanya sudah banyak berubah sejak enam bulan lalu. Sekarang pasti lebih seru.


PANDU PATRIA SJAHRIR | Tempat dan tanggal lahir: Boston, Amerika Serikat, 17 Mei 1979 | Pendidikan: Sarjana Ekonomi dari University of Chicago, Amerika Serikat (1997-2001); Master Bidang Bisnis Administrasi dan Manajemen dari Stanford University, Amerika Serikat (2005-2007); Executive MBA, “One Belt One Road” Program Business, Tsinghua University, Cina (2017-2020) | Karier: Analis di Lehman Brothers (2001-2002), Principal di Byun & Co Alternative Energy Fund Asia (2002-2005), Analis Senior di Matlin Patterson (2007-2010), Wakil Presiden Direktur PT Adimitra Baratama Nusantara (sejak Maret 2013), Direktur PT TBS Energi Utama Tbk (sejak Januari 2011), Komisaris Gojek Indonesia (sejak April 2017), Presiden Komisaris SEA Group Indonesia (sejak April 2017), Managing Director Indies Capital Partners (sejak 2017), Komisaris Bursa Efek Indonesia (sejak Juni 2020), Direktur COVA Acquisition Corp (sejak Januari 2021) | Organisasi: Ketua Umum Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (2015-2018, 2018-2021), Ketua Umum Dewan Pengurus Harian Asosiasi Fintech Indonesia (2021-2015) | Penghargaan: Asia 21 Young Leaders Awards dari Asia Society (2014)

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus