Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arloji Wahab Tamati menunjukkan pukul 07.00 saat ia menyiapkan bekal dan ember untuk mengumpulkan telur burung maleo (Macrocephalon maleo) di hutan Hungayono kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone di Kabupaten Bone Bolango, Gorontalo. “Saya harus sampai di sarang maleo sebelum pukul 10 pagi karena burung itu hanya bertelur pada pukul 6-10 pagi,” kata Wahab kepada Tempo, Rabu, 24 Juli lalu.
Lelaki 49 tahun itu adalah warga Desa Tulabulo, Kecamatan Suwawa Timur, Bone Bolango, yang bertugas sebagai penetas telur burung maleo di sanctuary atau pusat pembinaan populasi suaka satwa maleo Hungayono. Saban hari ia selalu keluar-masuk hutan di kawasan Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) di wilayah Bone Bolango untuk mencari dan mengumpulkan telur maleo. Hari itu ia memperoleh lima butir telur berukuran sekepalan tangannya.
Pekerjaan mengumpulkan telur maleo dilakoni Wahab sejak 2004. Alasannya, ia prihatin terhadap maraknya perburuan telur maleo oleh penduduk untuk dikonsumsi. Saat ini, ia bisa mengumpulkan lima-tujuh butir telur per hari atau 100-150 butir setiap bulan. Bahkan ia pernah mendapatkan 200 butir telur maleo dalam sebulan. Wahab mengaku hanya membutuhkan waktu dua-tiga jam untuk mengumpulkan telur. Proses pencariannya pun tak begitu sulit lantaran maleo selalu bertelur di tempat yang sama.
Satu kesulitan dalam mengumpulkan telur maleo, kata Wahab, hanya saat menggali tanah pasir karena menggunakan tangan kosong. Kedalaman tanah yang harus digali untuk menemukan satu telur maleo bisa setinggi pinggang orang dewasa. Telur maleo yang ditemukan lalu dibawa ke rumah penetasan (hatchery). “Peletakan telur ke dalam ember harus hati-hati. Bagian telur yang runcing mesti berada di dasar,” ujar Wahab.
Lokasi rumah penetasan yang dikelola Wahab tak jauh dari sumber air panas Hungayono. Tempat itu luasnya tak lebih dari 150 meter persegi dengan tinggi 2 meter. Atapnya menggunakan seng, berdinding ram besi, dan bagian plafon menggunakan jaring nilon. Di lantai pasir tempat penetasan dibuat lubang-lubang kecil untuk menempatkan telur. Jarak antar-lubang dua jengkal jari tangan orang dewasa. Kedalaman lubang 30-40 sentimeter. Lubang yang sudah diisi telur ditutup pasir dan diberi tanda dengan batang bambu.
Telur maleo yang dikumpulkan Wahab Talamati/Humas Pemda Bone Bolang
Menurut Wahab, biasanya satu tempat penetasan dapat menampung 150 butir telur. Ada empat tempat penetasan lain yang dibangun. Jumlah lubang penetasannya mencapai lebih dari 2.000. Dalam setahun, tempat penetasan telur maleo di Hungayono bisa menetaskan lebih dari 2.000 butir telur. Telur yang menetas rata-rata berasal dari pengumpulan di wilayah air panas Hungayono.
Untuk menetaskan satu telur maleo, Wahab mengaku membutuhkan waktu 60 hari dengan temperatur tanah berkisar 30-33 derajat Celsius. Piyik maleo yang baru menetas akan keluar dari tanah secara perlahan-lahan. Butuh dua hari bagi piyik menggali pasir hingga mencapai permukaan. Piyik lalu menjauh dari lubang dengan berjalan setengah berlari menuju pojok-pojok tempat penetasan. Biasanya, piyik yang menetas akan langsung dilepasliarkan. “Di lokasi ini setiap hari selalu ada telur yang menetas dan setiap hari juga ada yang dilepasliarkan,” kata Wahab.
Burung maleo merupakan satwa endemis Sulawesi yang tidak bisa terbang dan satu-satunya burung dalam genus Macrocephalon dengan ukuran panjang mencapai 55 sentimeter. Maleo memiliki ciri-ciri seperti mempunyai bulu berwarna hitam, kulit sekitar mata berwarna kuning, iris mata merah kecokelatan, kaki abu-abu, paruh jingga, dan bulu sisi bawah tubuhnya berwarna merah muda keputihan. Di bagian atas kepala terdapat tanduk atau jambul keras berwarna hitam.
Sebelumnya, populasi maleo mengalami penurunan tajam hingga lembaga konservasi alam International Union for Conservation of Nature memasukkannya ke daftar merah berlabel genting (endangered). Maleo juga terdaftar dalam Appendix I Convention on International Trade in Endangered- Species of Wild Fauna and Flora.- Pemerintah Indonesia menetapkan maleo sebagai satwa dilindungi berdasarkan Undang-Undang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Bagus Tri Nugroho, Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Gorontalo Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, mengatakan 15 tahun lalu maleo sangat sulit ditemukan. “Ancaman terbesar maleo sebenarnya adalah perburuan telur yang dilakukan manusia. Banyak orang berburu telur maleo untuk dikonsumsi,” ujar Bagus.
Sebenarnya maleo tergolong mempunyai nalar keamanan yang tinggi. Burung ini biasanya akan mempelajari situasi keamanan tempatnya bertelur dari atas pohon. Maleo jantan akan menggali lubang untuk maleo betina bertelur. Setelah bertelur, maleo membuat lubang lain sebagai penyamaran terhadap predator. Maleo sangat peka terhadap suara. Suara berisik dalam radius 5-10 meter dapat membuat maleo terbang kembali ke cabang pohon. “Maleo sangat sensitif terhadap segala bentuk aktivitas di sekitar habitatnya,” kata Bagus.
Berdasarkan data Balai Taman Nasional Bogani Nani Wartabone, populasi maleo diprediksi mengalami peningkatan sepuluh tahun terakhir. Hingga Juni 2019, populasi maleo diprediksi mencapai 17.270 ekor dari sebelumnya hanya 6.000 ekor pada 2007. Peningkatan populasi maleo itu diketahui dari jumlah anak maleo yang dilepasliarkan setelah menetas dan jumlah telur yang dikumpulkan.
Supriyanto, Kepala Balai TNBNW, mengatakan ada lima lokasi yang dijadikan pusat pembinaan populasi suaka satwa maleo di Gorontalo. Selain sanctuary maleo Hungayono, ada Tambun, Muara Pusian, Pohulongo, dan Batu Manangis. Lima lokasi itu dikenal sebagai sarang maleo bertelur lantaran dekat dengan lokasi air panas alam. “Sampai saat ini sudah ribuan telur yang menetas dari lima lokasi itu. Dari Hungayono saja pada 2018 ada 2.700 anak maleo yang dilepasliarkan,” ucap Supriyanto.
Kesuksesan sanctuary maleo Hungayono, kata Supriyanto, tidak terlepas dari peran dan partisipasi masyarakat yang menjadi penetas telur maleo secara mandiri. Saat ini, sedikitnya ada enam desa di pinggiran kawasan TNBNW yang menjadi penjaga dan pelestari telur maleo secara mandiri. “Penduduk enam desa ini juga telah bersepakat menjadi penjaga konservasi sekaligus siap melakukan pemulihan ekosistem secara mandiri,” ujar Supriyanto.
Taman Nasional Bogani Nani Wartabone memiliki luas total 282.008,757 hektare, merupakan taman nasional darat terbesar di Sulawesi. Kawasan konservasi yang ditetapkan sebagai taman nasional pada 1992 ini mencakup dua wilayah: Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo, seluas 110 ribu hektare; dan Kabupaten Bolaang Mongondow, Provinsi Sulawesi Utara, dengan luas lebih dari 170 ribu hektare. TNBNW merupakan habitat penting bagi spesies khas Sulawesi, di antaranya anoa dataran rendah (Bubalus depressicornis), kuskus beruang Sulawesi (Ailurops ursinus), yaki (Macaca nigra), dan maleo.
Maleo Senkawor
Macrocephalon maleo
» Ciri-ciri: bulu dominan hitam, bulu di sisi bawah berwarna merah muda keputihan, jambul keras di puncak kepala
» Panjang: 55 sentimeter
» Telur: sebesar telapak tangan orang dewasa
» Status konservasi: Genting (International Union for Conservation of Nature)
» Perkiraan populasi: 15 ribu ekor
BUDHY NURGIANTO (GORONTALO)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo