Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Arswendo dan Gairah Hidupnya

Pernah menjalani berbagai profesi, dan drop out dari perguruan tinggi, Arswendo Atmowiloto dikenal sebagai komentator publik yang kritis. Meninggalkan ratusan karya tulis, termasuk Senopati Pamungkas yang setebal bantal, riwayat hidupnya berdialog dengan situasi zaman.

27 Juli 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bagi Arswendo Atmowiloto (1949-2019), yang meninggal 20 Juli lalu karena kanker prostat, segalanya tampak seperti gampang. Bukankah di antara buku-buku larisnya ada yang berjudul Mengarang Itu Gampang? Mereka yang menganggap kerja susastra sakral dan perlu pengorbanan hidup tentu kèki berat dengan judul seperti itu. Namun Arswendo sungguh “serius dengan ketidakseriusannya”—baginya, berpikir memang tidak perlu susah-susah, jika kiat sederhana sudah mengatasi masalah.

Arswendo memang praktis. Mengganti nama sendiri—dari Sarwendo—demi profesi mungkin jamak. Tapi, sekitar 30 tahun lalu, untuk mengatasi kemacetan mudik Lebaran, ia sudah menuliskan dua alternatif: jika bukan kendaraan bernomor polisi ganjil-genap bergantian tiap tahun, nama-nama yang pulang berselang-seling berdasarkan abjad. Jika tahun ini yang pulang namanya berawalan A, C, E, dan seterusnya, tahun depan ganti yang berawalan B, D, F, dan seterusnya—boleh juga tahun ini A sampai L, tahun depan M hingga Z.

Kalau dianggap main-main, tidakkah soal nomor polisi ganjil-genap, yang bahkan berlangsung setiap hari untuk Jakarta sekarang, juga hasil pertimbangan serius? Arswendo, dengan ratusan judul bukunya, dari cerita anak, remaja, hingga dewasa, dalam hampir semua genre, bukan hanya pengarang dan wartawan, tapi juga seorang kritikus sosial. Bukan hanya prestasi pribadi yang diburunya, tapi juga peningkatan kualitas hidup khalayak, meski hanya pada taraf menonton televisi.

Tampaknya sepele. Tapi, di “negeri satu stasiun televisi” pada 1970-1980-an yang berproyek mencuci otak supaya jangan berontak, sasaran kritik Arswendo sungguh vital—karena obyeknya, juga karena satu-satunya pada tingkat publik. Banyak akademikus ilmu komunikasi, tapi tidak bersuara kritis. Arswendo mengisi kekosongan itu dengan provokasi gencar dan membikin kuping panas, dengan gaya slèngè’an yang tidak pernah berubah. Gaya ini, yang dalam tulisan cukup tertata, secara lisan—sebagaimana ia dikenal belakangan—berisiko mengaburkan kritiknya.

Bukanlah kebijakan pemberitaan, yang tentu kelewat sensitif semasa Orde Baru, melainkan bagaimana agar khalayak jelata mendapat hiburan tersehat dan terbaik. Lawak, komik, dan film seri televisi adalah sebagian dari budaya populer yang menyita perhatiannya, sampai ia memimpin tabloid Monitor yang semula berisi ulasan isi televisi. Di tangan Arswendo, ulasan memang tetap tajam, tapi tabloid itu termodifikasi: halaman terdepannya foto pesohor dunia hiburan yang seronok.

Toh, bukan itu yang menyandung Arswendo dan menimbulkan goro-goro nasional, melainkan sebuah angket tokoh-tokoh favorit, termasuk Nabi Muhammad, yang hasilnya menuai pasal penghinaan agama. Meski angket itu bukan hoax, saluran berpolitik yang mampet dalam forum resmi seperti menemukan katarsis, dan badai prasangka bertiup mengganyang apa pun yang bisa diganyang. Setelah Monitor ditutup, majalah Senang menutup dirinya sendiri, dan Arswendo masuk bui. Episode kehidupan ini tidak gampang bagi Arswendo. Di pengadilan, ia menangis teringat keluarganya.

Lima tahun terkurung tidak membunuh kreativitas Arswendo. Dari tangannya mengalir “susastra penjara”: Menghitung Hari, Oskep, Abal-abal, Kisah Para Ratib, Khotbah di Penjara, Projo & Brojo, juga Surkumur Mudukur dan Plekenyun. Kombinasi kepekaan seniman dan kejelian wartawan membuat Arswendo mampu mengungkap kehidupan penjara dengan rinci. Roman Dua Ibu dan Canting adalah unggulan kritikus, tapi kisah-kisah dari balik tembok penjara itu menjadi bonus Arswendo bagi susastra dan khalayak Indonesia.

Saya bangga Mas Wendo berhasil mengatasi ketertindasannya. Mengenalnya sejak remaja, sebagai redaktur yang bersurat agar saya menulis terus, mengundangnya sebagai pembicara utama Seminar Komik Indonesia yang pertama pada 1980, menjadi rekan kerja dan lawan debat di berbagai forum diskusi, bagi saya, gairah hidup Mas Wendo tidak terpadamkan. Terima kasih dan selamat jalan!

SENO GUMIRA AJIDARMA, WARTAWAN

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus