Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan langkah ringan kita memasuki zaman yang baru—sebut saja zaman hiper-okular—ketika indra visual bergerak amat cepat meluas, mendalam, ke kiri, ke kanan, berlipat-lipat kali.
Ingat adegan ini: ribuan manusia berhimpun dalam acara politik atau karnaval, dan drone dilepaskan untuk mengarahkan kameranya ke bawah, dan orang akan melambai, mengelu-elukannya dengan meloncat-loncat, seperti menyambut tamu langit yang mereka kenal. Kebanyakan mencoba, setengah serius, agar wajah masing-masing tertangkap kamera dari ketinggian itu. Entah untuk siapa. Biarpun tiga detik.
Wajah. Selfi. Mungkin ada kecenderungan narsisisme dalam diri kita. Saya tak mengatakan itu tabiat buruk, meskipun saya tak menyukainya. Selfi adalah “klik!” ketika wajah menyerah kepada kamera dan waktu menyerah kepada momen.
Tentu kita tahu, selfi—yang juga sebuah gejala hiper-okular—berbeda dengan drone. Selfi adalah satu-dua menit kedekatan. Selfi adalah 120 detik ketika kita mesra kepada wajah sendiri, atau kepada teman, atau kepada pemandangan di dekat kita. Kita perlakukan momen itu spesial dan… “klik!”: selfi adalah sejenis kecemasan bahwa kemesraan itu pasti berlalu dan kita cepat-cepat ingin mengawetkannya, malah mungkin mengabadikannya.
Kamera—kini dengan gampang disimpan di saku berjuta-juta orang di dunia dan bisa mereka pergunakan sendiri-sendiri kapan saja mereka mau—memberi peluang bagi ilusi untuk berumur panjang. Dalam selfi, kamera membawa salah sangka bahwa yang direkam adalah “kenyataan”, sepatah kata yang lebih pas ketimbang “realitas”. Terutama kini, ketika hasil jepretan bisa didapat tanpa perlu melalui kamar gelap: apa yang tertangkap, wajah itu, tak perlu lagi diproses lebih dulu. Kita cenderung menganggapnya sebagai potret diri. Padahal kita, dengan memilih angle dan cahaya dan pilihan saat yang baik, sebenarnya hendak mengubah “kenyataan”. Atau membuat kenyataan baru, ketika, dengan gambar itu, kita mematikan waktu.
Di situ ada semacam kreativitas: sering tak disadari, berfoto bukanlah sekadar mereproduksi atau “membaca” kenyataan, melainkan juga membikin metamorfosis. Tapi juga bisa dikatakan, yang kita kehendaki bukan diri kita; yang kita kehendaki “representasi” atau “wakil” diri itu. Kita tak lagi sekadar “ada”, tapi “punya”, dan kemudian “tampil”—dan mengukuhkan diri sebagai “kurang”. Seperti lazimnya, identitas dikemas dari kekurangan.
Selfi adalah cermin, tapi di dalam, di balik, dan di sekitar wajah di cermin itu, ada hubungan-hubungan sosial. Cermin, juga foto selfi, tak pernah sendirian dalam bilik. Bilik itu penuh mata masyarakat yang menatap. Tiap kita adalah Pecola yang tiap kali melihat wajahnya sendiri ia melihat apa yang ditemukan orang lain.
Pecola adalah gadis negro dalam The Bluest Eyes, novel Toni Morrison, dari keluarga yang retak acak-acakan, perawan yang diperkosa ayahnya dan hamil. Pecola tiap kali melihat dirinya sendiri dan menyimpulkan, ia buruk muka. Juga seluruh keluarganya. “Kau pandangi mereka dan kau bertanya-tanya mengapa mereka begitu jelek. Kemudian kau sadar, itu datang dari keyakinan, keyakinan mereka sendiri. Seakan-akan ada tuan misterius yang serba-tahu telah memberi masing-masing mereka jubah kejelekan untuk dipakai, dan semua menerimanya tanpa ribut-ribut.”
Dikisahkan bagaimana Pecola tak jemu memandangi potret Shirley Temple, bintang cilik Hollywood, yang gambar wajahnya terpasang di poci susu. Pecola pun memutuskan untuk minum susu sebanyak-banyaknya. Ia ingin, seperti Shirley, bermata biru. “Orang dewasa, gadis-gadis yang lebih tua, toko, majalah, koran, dan poster di etalase—seluruh dunia sepakat bahwa sebuah boneka bermata biru, berambut pirang, berkulit kemerahan adalah idaman tiap anak perempuan....”
Dalam renungannya yang murung, Pecola adalah sebuah citra, dan sebuah citra dibentuk dari sedimentasi kata-kata dan tatapan sosial.
Tatapan pada wajah: selfi adalah tiruan itu. Di zaman hiper-okular, tentu saja tatapan—indra penglihat yang memandang—berada di pusat kehidupan. Mata berkuasa. Sejak dahulu “mata” telah merasuk ke dalam bahasa, membentuk pelbagai kiasan, seperti dalam kalimat “melirik peluang investasi’, “pemandangan umum di DPR”.... Bahkan dalam bahasa Jawa, ilmu pengetahuan disebut kawruh, dari kata weruh, melihat.
Tapi seperti yang lain-lain, weruh dan kawruh penuh risiko keliru dan risiko benar. Terutama yang berhubungan dengan wajah, bagian yang dianggap mewakili sebuah pribadi. Sebagian agama—Yahudi dan Islam, terutama—melarang wajah Tuhan dibayangkan, apalagi dilukis, mungkin karena tatapan tak pernah bisa utuh. Atau sebaliknya tatapan terlalu kuasa memerangkap wajah dalam perspektifnya, dan merasa benar—dan para imam tahu Tuhan tak bisa diperlakukan begitu.
Tapi, seperti keluh Amir Hamzah dalam salah satu puisinya, “aku manusia, rindu rasa, rindu rupa”. Kita tahu “rupa”, yang menyimpan yang misterius di kedalaman dimensinya, tak pernah dapat dipotret. Kita selfi, dan wajah kita menyerah kepada kamera, dan dalam “klik!” yang berjuta kali, yang misterius dari diri kita tergerus. Kamera hari ini memproduksi yang banal. Tapi kita suka, bukan?
GOENAWAN MOHAMAD
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo