Hujan buatan di Citarum berhasil menaikkan air di tiga waduk pembangkit listrik. Biaya bisa klop dengan banyak hujan yang turun. PADA akhir musim kemarau ini, Suparyanto mendapat tugas khusus: berburu awan. Dengan pesawat Casa 212, penerbang Angkatan Laut itu berpatroli, berputar-putar di atas udara Bandung, Majalengka, Subang, Purwakarta, dan Cianjur. "Kami mencari awan yang cukup gemuk, besar, untuk ditembak agar jatuh menjadi hujan," kata perwira itu berseloroh. Operasi perburuan awan itu dikendalikan dari Pelabuhan Udara Husein Sastranegara, Bandung. Di situ ada dua buah Casa 212 dari Angkatan Laut dan Udara, serta tiga pesawat kecil jenis Pilatus Porter milik Departemen Pertanian. Misi ini dimulai sejak 24 Oktober sampai akhir bulan lalu. "Setiap hari kami memberangkatkan pesawat dalam tujuh sorti," kata Mimin Karmini, koordinator penerbangan tim pemburu awan itu. Ikhtiar memetik hujan ini diprakarsai oleh Perum Otorita Jatiluhur (POJ). Pelaksananya tim dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknolog (BPPT). "Kegiatan ini jangan disebut sebagai hujan buatan. Sebut saja penyemaian awan," ujar Muhammad Ulama, Direktur Utama POJ, pada TEMPO. Untuk proyek ini, POJ menyediakan dana Rp 250 juta. Targetnya, menjatuhkan hujan di daerah aliran sungai (DAS) Citarum, Cipunagara, dan Ciasem, sekitar 450.000 ha. POJ punya kepentingan langsung, terutama pada DAS Citarum. Hujan yang jatuh bisa memasok air untuk Waduk Jatiluhur. "Tapi meleset sedikit, jatuh di tempat lain, tak menjadi soal. Semua tempat sekarang sedang memerlukan air," kata Samsul Bahri, ketua tim penyemai awan dari BPPT itu. Pada penerbangan sorti ketiga, Selasa pekan lalu, wartawati TEMPO Ida Farida sempat menyaksikan tim penyemai awan itu beraksi. Mula-mula tim ini mengadakan kontak dengan stasiunstasiun pengamat cuaca, untuk memperoleh informasi tentang keberadaan awan. Dan diperoleh info, awan berarak di sebelah barat dan utara Bandung. Pilot Suparyanto membawa Casa 212-nya menyisir daerah pegunungan di Subang, pada ketinggian 3.000-an meter, membelok ke barat, Purwakarta, kemudian bermanuver ke selatan. Di atas Waduk Saguling, Paryanto yang didampingi Samsul melihat sekawanan mega. "Ini awan medium," kata Samsul. Memang tak sembarang awan bisa digarap. Awan tipis tak patut dibidik. "Percuma, sulit dimatangkan menjadi hujan," kata Samsul. Namun, awan yang kelewat tebal dan hitam, kendati sangat potensial menjadi hujan, juga tak bisa disentuh. Pesawat tak berani menerobosnya. Yang menjadi pilihan memang awan medium. Cirinya, ketebalannya sekitar 2.000 meter. Maka, ketika melihat arakan awan medium itu, bergegas Pilot Suparyanto menggerakkan tuas, membawa pesawat memasuki perut awan itu. Ketika berada di tengah awan, bungkusan garam dapur dibongkar. Lewat sebuah corong di perut Casa, butir-butir garam dapur itu disebarkan. Berturut-turut 12 awan digarap. Bungkusan garam seberat tujuh kuintal ludes, dan pesawat balik ke pangkalan setelah terbang sekitar satu jam. Tugas Casa itu kemudian diambil-alih oleh Pilatus. Pesawat penyemprot hama itu kemudian membawa 500 liter larutan urea, untuk disemburkan pada celah-celah awan sasaran. Larutan urea pekat ini berguna untuk menumbuhkan gumpalan awan baru, yang akan menyambung awan satu dengan yang lain. "Untuk mematangkan awan, agar cepat turun menjadi hujan," kata M. Karmini. Samsul Bahri mengklaim, selama lima hari pertama misi penyemaian awan itu, keberhasilannya mencapai 60-70%. Sebagai bukti, Samsul menunjukkan adanya hujan di beberapa tempat, antara lain di Cililin, sekitar Bandar Udara Husein Sastranegara, Kalijati, Subang, Tangkubanperahu, Pangalengan. Sebagai pemakai jasa, POJ juga tak merasa kecewa. Tukul Santoso, Direktur Pengelolaan Jatiluhur, mengatakan hujan beberapa hari itu telah menaikkan permukaan Waduk Saguling, di bagian paling hulu DAS Citarum. Pada 24 Oktober tinggi permukaan air waduk 625,23 meter. Setelah hujan buatan turun, pada 28 Oktober naik 32 cm, menjadi 625,55 meter. Dalam kalkulasi untung-rugi, kata Dirut POJ Muhammad Ulama, penyemaian awan itu bisa dipertanggungjawabkan. Dari pengalaman 1979-1983, POJ mendapatkan data bahwa misi penyemaian itu bisa mendatangkan 150 juta m3 air tiap tahun. Biayanya rata-rata Rp 150 juta, selama 20 hari. "Jadi, tiap meter kubik biayanya hanya satu rupiah," katanya. Pada misi 1991 ini, diperkirakan ongkosnya menjadi Rp 2 per meter kubik. Untungnya air hujan yang jatuh di hulu bisa dipakai tiga kali. Air yang memutar turbin di Waduk Saguling dipakai lagi di hilir, Waduk Cirata dan Jatiluhur. Setiap 6 m3 air yang masuk Sungai Citarum bisa menghasilkan listrik 7,5 kWh, yang terdiri dari Waduk Saguling 5 kWh, Cirata 1,5 kWh, dan Jatiluhur 1 kWh. Bila tarif PLN Rp 100 per kWh, tiap meter kubik menghasilkan Rp 125. Angka-angka itu memang menggiurkan. Namun, masih tak jelas betul, apakah hujan yang jatuh seperti pada 24-28 Oktober itu merupakan buah dari misi penyemaian awan. "Kami tak punya sarana untuk mendeteksi perjalanan awan selanjutnya," kata M. Karmini. Misi penyemaian awan kali ini tak terlihat menampilkan metode baru. Inti kondensasi yang diumpankan masih tetap bertumpu pada garam dapur dan urea, bahan baku yang murah meriah. Teknik penaburan dan persyaratan cuaca yang dirumuskan pun tak bergeser. Masih seperti yang dilakukan 12 tahun lalu. Maka, tingkat keberhasilannya pun tak lebih tinggi. Kendati belum andal betul, misi penyemaian awan itu tetap dipercaya. Buktinya, bulan November ini BPPT, PLN, dan POJ akan melanjutkannya. Biaya disiapkan Rp 400 juta. Tentu saja bila hujan alam yang gratis itu belum juga datang. Putut Trihusodo (Jakarta) dan Riza Sofyat (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini