Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Sesudah lokon

Gunung berapi yang beristirahat lama akan meletus lebih dahsyat. untuk mendeteksi kegiatan gunung api di daerah minahasa, dianjurkan memodernisasi peralatan deteksi dan alat komunikasi.

9 November 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUAI dengan pendapat awam, letusan Lokon kali ini adalah yang terkuat selama abad kedua puluh. Betulkah pendapat ini dan bagaimana penilaian para ahli gunung api? Para ahli menyatakan bahwa letusan Lokon kali ini masih dalam batas normal, dan "rutin". Memang benar gunung api ini bercirikan masa istirahat pendek! Dari laporan teknis, ternyata letusan kali ini masih dapat diklasifikasikan sebagai tipe strombolian-vulkanian-lemah, dengan bahaya utama awan panas yang suhunya 400-500C dan dapat meluncur dengan kecepatan mobil sepanjang Lembah Pasahapen. Laporan terakhir menyatakan bahwa jumlah letusan serta volume material yang dimuntahkan sudah mulai menurun, tetapi alat seismograf di pos gunung api menunjukkan "kegelisahan" itu belum berlalu. Tidak tertutup kemungkinan, letusan dengan pola rutin strombolian-vulkanian-lemah dapat saja berkepanjangan dan berubah menjadi vulkanian-kuat. Dalam hal ini daerah bahaya harus diperluas mungkin meliputi radius 10 km atau lebih dari titik letusan. Syukurlah, sejauh ini tanda ke arah itu belum tampak. Jika tak terjadi perubahan struktur pada waduk magma serta tidak ada pasokan magma baru, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Kenapa ada kesan awam bahwa letusan Lokon menyimpang dari batas normal? Ada dua hal yang perlu diperhatikan, yakni angin yang meniup ke arah timur dan besarnya volume abu serta pasir yang dimuntahkan. Kalau angin meniup dengan kencang ke arah barat, abu mungkin menyebar ke arah Bolaang Mongondow atau Gorontalo. Tetapi, karena angin bertiup ke arah timur dengan material erupsi agak banyak, jalur pertanian Tomohon, Bitung, Kema, dan Kaidipan dilanda pasir dan abu gunung api. Material gunung api ini bersifat asam karena abu Gunung Lokon mengandung 5% belerang. Inilah yang menyebabkan rumah beratap seng bolong. Sudah saatnya penduduk sekitar Lokon mengubah kebiasaan memakai atap seng dan menggantinya dengan atap genting. Bahaya yang dapat mengancam Minahasa bukan datang dari Lokon karena kepundannya terus menganga dengan erupsi yang menuruti pola yang teratur. Hal ini sama dengan Gunung Gamalama yang meskipun sering batuk tidak terlalu mengancam Kota Ternate. Ada suatu pegangan umum bahwa lebih lama gunung api itu beristirahat akan lebih dahsyat letusannya. Itulah sebabnya letusan Gunung Colo di Una-Una membumihanguskan pulau itu. Gunung Makian juga mempunyai masa istirahat panjang, begitu pula Gunung Bandaneira, sehingga petugas gunung api tidak raguragu mengungsikan penduduk dari amukan kedua gunung api ini. Secara populer gunung api dengan masa istirahat 50 sampai 150 tahun seperti Galunggung, Colo, dan lain-lain dapat kita samakan dengan "panci-tekan" (pressure cooker) yang berukuran relatif kecil, tetapi dapat menghancurkan daerah dengan radius 10 km atau lebih dari titik letusan. Gunung api dengan masa istirahat lebih panjang seperti Pinatubo di Filipina (600 tahun), Mt. Ruis di Kolombia (500 tahun), Unen di Jepang (200 tahun) dapat menghasilkan letusan yang digolongkan ke dalam vulkanian-kuat. Pengosongan penduduk dapat meliputi daerah dengan radius sampai 20 km atau lebih. Gunung api demikian disebut gunung api tipe panci-tekan berukuran sedang. Adakah gunung api jenis panci-tekan berukuran besar? Memang ada, dan celakanya dialami penduduk Indonesia, ialah letusan Krakatau (1883) dan letusan Tambora (1815) yang telah menelan korban lebih dari seratus ribu jiwa dan baru terjadi pada abad yang lalu. Masa istirahat gunung api dengan jenis erupsi Plinian atau Perret, yang membentuk kaldera lebih lama ialah kira-kira 1.000 tahun dan letusannya selalu merupakan kejutan. Sebab, gunung api itu dianggap sudah mati dan tidak berbahaya. Sisa-sisa kejadian langka ini misalnya terlihat di Danau Batur, Kaldera Tengger, Rinjani. Radius 50 km dari titik letusan harus dikosongkan karena daerah demikian dapat dilanda aliran batuan pijar (pyroclastic flow). Adakah gunung api jenis panci-tekan terdapat di daerah Minahasa? Inilah yang perlu diteliti secara mendalam. Beberapa gunung api yang menunjukkan kegiatan purna-vulkanik dan masih memperagakan bentuk kerucut memang memahkotai Jazirah Minahasa yang sempit itu. Maka, setelah peristiwa Lokon selesai, dianjurkan semua unsur yang berkepentingan bahu-membahu membangun jaringan pos-pos gunung api modern di beberapa gunung api yang sudah dianggap mati seperti Klabat, Dua Saudara, dan Tangkoko. Diperlukan alat-alat seperti seismograf canggih. Memodernisasi pos Lokon dan Mahawu dengan peralatan deteksi maupun alat komunikasi mutakhir. Jalan-jalan darurat (escape route) perlu dibangun, peta daerah bahaya perlu dimodernisasi. Pemuda setempat perlu diberi stimulasi dan kesempatan untuk dididik menjadi ahli vulkanologi. Rencana darurat (contingency plan) harus disusun dan penduduk perlu dilatih secara reguler ke arah mana harus menghindar kalau terjadi letusan. Pembangunan struktur perlindungan seperti sistem Sabo untuk menanggulangi bahaya lahar perlu dipikirkan karena telah membuktikan ketangguhannya di Gunung Merapi dan Kelud. Mungkin besar faedahnya membangun suatu institut penelitian gunung api di Minahasa seperti yang ada di Yogyakarta. Tapi siapa yang dapat mengantisipasi bahwa gunung api bersifat panci-tekan pada suatu waktu tidak akan meletus di Minahasa seperti yang terjadi di Gunung Agung pada 1963? Para pakar Amerika pun, dengan peralatan peramalan gunung api termahal dan tercanggih di dunia, tidak dapat mengantisipasi letusan Pinatubo yang merusak pangkalan udara Clark dan pangkalan laut Subic baru-baru ini. Ilmuwan gunung api mana pula yang dapat mengira bahwa sesudah 15.000 tahun, lahir gunung api baru di Ruteng (Flores) di tengah perkebunan penduduk dengan titik erupsi yang berjarak hanya 300 meter dari pos microwave. Mungkin gunung api panci-tekan belum akan meletus sekarang, sepuluh tahun, atau beratus tahun mendatang. Tetapi tak dapat ditutup kemungkinan bahwa sewaktu-waktu letusan besar ala Colo, Galunggung, atau Pinatubo dapat terjadi di Minahasa atau Sangihe. Tantangan besar para ilmuwan ialah mengantisipasi gunung api mana yang dapat menimbulkan kataklisme. Mengelola gunung api tidak dapat didasarkan pada ukuran umur manusia, tetapi ribuan tahun. Bumi ini bukanlah benda mati yang diwariskan nenek moyang, akan tetapi suatu planet biru yang indah dan dinamis, yang hanya dipinjamkan oleh anak-anak dan cucu kepada kita semua. *Penasihat Ahli Menteri Pertambangan dan Energi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus