Orang utan yang dipulangkan oleh Taiwan akhirnya dikirimkan ke Samboja, Kal-Tim, dengan pola penghutanan ekologis. Mengapa tidak di Tanjung Puting? SESUDAH 11 bulan "dititipkan" ke KB Ragunan, Jakarta, Charlie dan kawan-kawan akhirnya kembali ke pangkuan hutan Kalimantan. Setiba di Balikpapan dari Jakarta, Charlie beserta enam konconya disambut meriah, Sabtu siang lalu. Lima puluh siswa International Unocal Pasir Ridge berkaus orang utan (Pongo Pygmaeus) mengelu-elukan mereka. "Semua dalam keadaan sehat," ujar kepala bidang bina program dan promosi KB Ragunan, Nonot Marsono, yang memantau kesehatan satwa sampai pesawat. Padahal, sehari sebelumnya nasib mereka masih diperjuangkan di kantor Meneg KLH. Satwa yang diperebutkan malah asyik berguling-guling di ruang sidang. Mereka bukan saja lekat, tapi juga sangat tergantung orang. Selama ini, mereka hidup bersama puluhan mahasiswa Universitas Nasional. Charlie dan teman-temannya, akhir November 1990, dibawa oleh puluhan murid Sekolah Dasar Taiwan untuk dikembalikan ke habitatnya di Indonesia. Pengembalian dilakukan oleh pemerintah Taiwan lewat LSM Perkumpulan Kebun Binatang Seluruh Indonesia (PKBSI), untuk kemudian diteruskan ke Ditjen Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA). Pengembalian berjalan lancar karena Yayasan Orang Utan Taiwan mengontak Yayasan Orang Utan Internasional yang diketuai Birute Galdikas. Ahli orang utan dari Kanada ini sudah lebih dari 20 tahun membangun pusat rehabilitasi orang utan di Tanjung Puting, Kalimantan Tengah. Rombongan Charlie sempat tertahan 11 bulan di Jakarta. Selama itu, mereka diasuh oleh Yan Suryana, anak buah Birute, yang dikirim ke Ibu Kota. Alumni Fakultas Biologi Unas itu lalu mendirikan Yayasan Orang Utan Indonesia, dan mengajak rekannya sefakultas membantu mengurus hewan yang tidak diurus PKBSI ataupun PHPA ini. Dana pemeliharaan dikucurkan oleh Yayasan Orang Utan Internasional, tiap bulan sebesar Rp 5 juta. Yan berpendapat bahwa Pemerintah menunda-nunda kepulangan Charlie cs. ke Kalimantan melalui berbagai tes, sedang izin angkut tidak diberikan. Mereka juga diajak mengikuti survei lokasi rehabilitasi wanariset Samboja, Kalimantan Timur. "Tempatnya belum siap menerima satwa ini," kata Yan. Kendati belum siap, Samboja akan diputuskan PHPA menjadi lokasi untuk rehabilitasi orang utan. Hanya tujuh yang akan dibawa karena tiga ekor menderita TBC dan hepatitis B -perlu dirawat dulu di Pusat Studi Satwa Primata IPB. Akibatnya, terjadi perselisihan dengan pihak Yayasan Orang Utan, yang bersikeras mengembalikan rombongan Charlie ke Tanjung Puting. Hari Kamis (31 Oktober 1991), ketika petugas PHPA dan KB Ragunan akan mengambil satwa itu, mereka hanya menemukan Charlie dalam kerangkengnya. Teman-teman Charlie sudah diungsikan. Maka, puluhan petugas keamanan, dari beberapa angkatan, hanya bisa mengambil Charlie berikut 14 mahasiswa yang dibawa ke Polsek Pasarminggu untuk ditanyai. Esoknya, sembilan ekor orang utan diantar oleh puluhan mahasiswa ke kantor KLH. Semula, Sekretaris Menteri KLH, Thamrin Nurdin, tidak bersedia menerima satwa itu karena tidak berwenang. Tapi, setelah mereka berunding lebih dari dua jam, dicapai kesepakatan. Dalam kesempatan itu, mahasiswa dan LSM -yang menamakan dirinya Komite Pengembalian Orang Utan -bersedia menyerahkan ke Pemerintah melalui KLH, dengan permohonan dikembalikan ke Tanjung Puting. Maka, siang itu juga, ditandatangani serah terima sembilan ekor orang utan dari KLH ke PHPA. Isak tangis para mahasiswa mengiringi acara pelepasan. Orang utan pun bertingkah sama, tidak mau berpisah dari pengasuhnya. Ketergantungan satwa ini pada manusia membuat ahli satwa liar IPB, Hadi S. Alikodra, ragu hewan ini bisa diliarkan. "Kalau sejak bayi tergantung manusia, bagaimana mereka bisa mencari makan sendiri," ujarnya. Ihwal ketergantungan inilah, menurut Dirjen PHPA Sutisna Wartaputra, dipakai oleh Birute Galdikas di Tanjung Puting. Bahkan, katanya, ada 15 ekor anak orang utan -termasuk yang dikembalikan dari Bangkok -tinggal di rumah Birute dan tidak dihutankan. Kenyataan ini yang agaknya membuat pihak PHPA enggan melepaskan rombongan Charlie ke tangan Birute. Apalagi ia bersikap seakan- akan orang utan di Tanjung Puting miliknya, padahal itu adalah taman nasional. Memang, dengan dana dari luar, Birute sudah lebih dahulu masuk sebelum daerah ini ditetapkan sebagai taman nasional. Sekarang, di sana, ia malah membangun Hotel Rimba untuk turis, lengkap dengan acara menonton rehabilitasi orang utan. Sebagai pengganti Tanjung Puting, sejak enam bulan lalu, Departemen Kehutanan dengan dana dari Tropenbos, Belanda, meneliti hutan di Samboja, Kal-Tim, yang berbatasan dengan Bukit Soeharto. "Tidak hanya penelitian botani, tapi mulai soal tanah, agro forestry, sampai fauna," kata Willie Smits, pemimpin proyek dari Tropenbos. Tiga lokasi hutan primer 13 ribu hektare sedang disiapkan. Saat ini, empat ekor orang utan sitaan dari penduduk sedang direhabilitasi di sana. Pendekatannya berbeda dengan Tanjung Puting. Cara yang diperkenalkan oleh ahli orang utan asal Belanda, Herman Ryksen, itu memakai pendekatan ekologis. Orang utan itu dibuatkan sarangnya, kemudian dibiarkan lapuk hingga mereka terpaksa membuat sarang sendiri. Memang, dengan cara ini, unsur pariwisatanya hilang. Berbeda dengan Tanjung Puting, yang mulai 18-21 Desember mendatang akan dibanjiri puluhan tamu Konperensi Internasional Kera Besar. Diah Purnomowati dan Rizal Effendi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini