Selama musim kemarau, sebagian ai sumur penduduk Jakarta tercemar. Alternatif penggantinya adalah air dari hidran umum. EMI, warga Penjaringan, Jakarta Utara, adalah pelanggan jeriken biru. Beberapa hari sekali, ia memanggil sang pemasok keliling yang mondar-mandir di daerah kumuh yang tak pernah luput banjir itu. Sekali beli tak cukup sebuah jeriken ukuran 20 liter, tapi lima jeriken yang total isinya 100 liter. Itulah air bersih untuk minum dan masak yang, mau tak mau, harus dibeli karena sangat dibutuhkan keluarganya. Sejak dua tahun lalu, air dalam jeriken biru ini masuk dalam keluarga itu dan sejak saat itu mereka jarang terserang penyakit diare. Istri buruh plastik ini tidak sayang mengeluarkan Rp 300-400 untuk setiap lima jeriken air yang dibelinya. Air dari Perusahaan Air Minum Jaya inilah yang menyelamatkan banyak anak di daerah kumuh Jakarta terutama pada waktu musim kemarau. Hal ini karena kondisi air tanah di DKI sungguh rawan. Yang paling merasakan akibatnya adalah penduduk miskin di daerah kumuh. Air PAM belum masuk di sana, dan kalau masuk pun tidak semua sanggup jadi pelanggan. Sumur timba atau sumur pompa sulit memenuhi syarat kesehatan, karena sterilitasnya hanya terjamin bila terletak minimal sepuluh meter dari septic tank, tempat sampah, kandang ternak, atau genangan air. Tak mengherankan bila air sumur di kawasan kumuh, yang diteliti oleh Dinas Kesehatan DKI dan Balai Teknik Kesehatan Lingkungan, terbukti tidak layak minum. "Orientasi penelitian memang daerah kumuh. Sudah penduduknya miskin, kualitas airnya pun buruk," kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Soeharto Wirjowidagdo, minggu lalu. Dari segi penampilan, air sumur tersebut memang kelihatannya jernih. Namun, ketika diuji bakteriologis, dari 71 sampel air sumur di lima wilayah, 73% lebih tidak baik karena mengandung bakteri berbahaya. Bahkan, kalau diuji kimia, seluruh air itu sudah tak layak minum karena kandungan zat organik, amoniak, dan fluorida sudah melewati ambang batas. Dengan direbus, semua bakteri dalam air itu akan mati, tapi tidak demikian halnya zat kimia. Bila air yang sudah tercemar itu diminum, timbullah gangguan kesehatan, seperti diare atau penyakit saluran pencernaan. Tampaknya, hal ini sering dialami penduduk miskin di Jakarta. Data dari 43 puskesmas di DKI -- yang umumnya melayani penduduk berpenghasilan menengah ke bawah -menunjukkan bahwa diare dan penyakit saluran pencernaan dengan penderita lebih dari 250 ribu orang berada pada peringkat III dan IV dari sepuluh penyakit yang terbanyak penderitanya. Untuk mereka, mau tak mau, air sumur adalah satu-satunya pilihan air minum. Memang, mereka bisa membeli air dari hidran umum yang, empat tahun lalu, jumlahnya amat terbatas. Namun, karena pasokannya terbatas, harga air bersih yang harus mereka bayar tak terjangkau. Pada akhir 1987, datang serangan diare hebat di daerah kumuh Kecamatan Cengkareng dan Rawabuaya. Hanya dalam dua minggu, hampir 500 penduduk terserang. Keadaan darurat ini segera ditangani dengan dibuatnya program TAHU (Terminal Air dan Hidran Umum) dengan dana dari Bappenas (Badan Perencanaan Pembangunan Nasional). Jumlah hidran umum di tiap RW ditingkatkan sehingga harganya terjangkau masyarakat. Tahun 1988 hanya ada sepuluh terminal air dan 94 hidran umum yang terpusat di Jakarta Utara, tetapi dua tahun kemudian sudah berkembang menjadi 53 terminal air dan 140 hidran umum di lima wilayah. Maka, orang macam Emi pun tak sayang lagi mengorek uang dari koceknya demi kesehatan keluarga. Program seperti ini, menurut Soeharto, amat baik. Terbukti, setelah program ini berjalan tiga tahun, tidak pernah lagi timbul serangan diare hebat di Jakarta. Menurut Kepala Dinas Kesehatan DKI, program bisa berjalan baik juga karena sifat penduduk Jakarta yang mudah berubah perilakunya bisa diberi petunjuk. Dengan penyuluhan terus-menerus oleh petugas di semua puskesmas, tingkat pencemaran air sumur berkurang, tahun lalu. Uji bakteriologis menunjukkan bahwa 65% sampel air sumur, dari lima wilayah, tak baik, tapi angka ini membuktikan adanya penurunan hampir 8% dari angka pencemaran sebelumnya. Penurunan tajam terjadi tahun ini. Angka sementara menunjukkan hanya 34% sampel air sumur yang tidak baik. Bahkan, ditinjau dari uji kimiawi, sampel air dari Jakarta Barat dan Jakarta Selatan seluruhnya baik. Perbaikan ini terlihat dari berubahnya sebagian sumur timba -yang kemungkinan tercemarnya lebih besar dibandingkan dengan sumur pompa tangan -- menjadi sumur pompa tangan. Bila air yang keluar keruh, diberikan penyuluhan cara penjernihan sederhana memakai tumpukan ijuk, pasir, batu kerikil, dan pecahan genting. Walau cara ini bisa menjernihkan air yang keruh, Soeharto mengimbau agar masyarakat tidak memakai air sumur yang hampir kering karena, walau diambil secara hati-hati, zat besi yang mengendap mudah terambil. Kalau mau aman, air sumur tersebut sebaiknya diperiksakan ke laboratorium Dinas Kesehatan, Balai Teknik Kesehatan Lingkungan, atau di PAM Jaya. Biayanya murah. Hanya Rp 2.500 per sampel . Yang paling selamat, ujarnya, bila air untuk minum itu dari program TAHU. Ini sudah dilakukan oleh Emi dan para tetangganya di Penjaringan. Mereka tidak kekurangan air dalam musim kemarau karena air dari sumur timba tetangganya berlimpah. Warnanya pun masih jernih. Tapi, ibu satu anak itu hanya menggunakannya untuk membilas baju atau mencuci beras. Beras itu pun nantinya dibilas dengan air dari jeriken. Ia khawatir, kendati jernih, air itu mungkin masih sanggup membuat keluarganya sakit. Program TAHU, menurut Soeharto, bukan proyek mercu suar, tapi amat bermanfaat bagi masyarakat. "Jadi, kalau ada dermawan yang mau membantu kita, bantulah memberi air dan WC umum," ujar Soeharto. Anda berminat? Diah Purnomowati dan Susilawati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini