SAMPAH, terutama di kota-kota besar, meminta biaya sangat mahal.
Di Jakarta, misalnya, biaya memberantas tumpukan sampah Rp 9
milyar, atau 4,7% dari APBD Jakarta. Dan kalau ibukota RI ini
mau terbebas dari sampah, menurut perhitungan WHO, diperlukan
biaya sepuluh kali lipat dari kemampuan DKI Jakarta selama ini.
Selama ini, masalah sampah di Indonesia (khususnya Jakarta)
masih ditangani secara konvensional. Setiap harinya, penghuni
Jakarta membuang sebanyak 17.000 m3 sampah. Tapi 954 LPS(Lokasi
Penampunan Sementara) cuma sanggup mengangkut sekitar 12.750
m3, atau 75% dari jumlah sampah keseluruhannya.
Dari LPS, sampah tersebut diangkut lagi ke. LPA (Lokasi
Penampungan Akhir) yang ada di Cawang, Sunter dan Jalan Pramuka.
Ketiga tempat ini sudah penuh dan Pemda DKI terpaksa mencari
tempat yang lebih jauh lagi, yaitu di jalan raya antara Cakung
dan Cilincing. Sampah yang bisa diangkut ke LPA pun cuma 80%,
mengakibatkan bertumpuk kotoran di banyak sudut kota.
DKI memang punya 6.500 petugas armada sampah, tapi alat mereka
tidak lengkap. Masih mempergunakan sapu lidi dan pengki, 402
truk sampah yang sebagian dalam keadaan tidak jalan -tetap tidak
isa menyedot sampah di seantero kota.
Dalam keadaan btgitu, sudah sejak sepuluh tahun lalil, ada niat
mendirikan pabrik kompos fermentasi. Biayanya tidak kecil. Belum
ada pengusaha yang ingin mempertaruhkan uangnya dalam hal pupuk
kompos ini. Ada pula yang mengusulkan pembakaran sampah yang --
seperti Singapura--kemudian dijadikan bahan bakar pembangkit
listrik tenaga uap (PLTU).
Walhasil, dipakai cara yang termurah (dan termudah). Yaitu cara
timbun dan bakar. Jakarta mempergunakan sistem pengerukan dan
pemadatan (sanitar landfill system). Tetapi cara ini
mengakibatkan pencemaran lingkungan. Misalnya, sumur penduduk
tercemar selama masih dalam radius 500 m dari timbunan sampah.
Kebakaran sering terjadi pada timbunan sampah ini yang
berlangsung lama dan sulit dipadamkan.
Kalau Ibukota ini nanti tidak mempunyai tanah rendah yang bisa
dijadikan lokasi timbunan sampah, ke mana lagi akan dibuang? da
jawabannya dari Bandung. "Kita cukup dengari bismillah dan
sebatang korek api, sampah bisa musnah," ujar seorang lulusan
MIT (Massachusetts Institute of Technology), AS. Inovasinya
tidak memerlukan BBM ataupun kayu, sedang mesinnya bisa dibuat
dengan bahan lokal.
Penemu alat baru tersebut: Stefanus Otto Saela Kailuhu, bisa
disingkat menjadi Soska, berusia 65 tahun. Mesin pemusnah
sampahnya sudah dipatentkan dengan nama SIDS (Soska Incinerator
Development System). SIDS bekerja dengan prinsip fisika
aerostatika dan bekerja tanpa bahan bakar (nonfuel basic system)
Tuneku incinerator (pembakaran), yang seluruhnya dibuat dengan
bahan-bahan dalam negeri, bisa dioperasikan secara nonstop.
Hanya, kalau sudah mencapai 5000 jam kerja, tungku ini perlu
dibongkar (overhaul) untuk servis. Umur alat ini diperkirakan 10
tahun lamanya.
Soska telah mendisain beberapa model dan ukuran, sehingga
diperoleh hasil incinerator dengan berbagai kapasitas
pemusnahan. Model mono standard, dengan waktu pembuatan mesin
sekitar 2 bulan, kapasitasnya 3-6 m3/jam. Lokasi yang
diperlukannya 1000 m2. Model supertwin, mempunyai kapasitas
12-30 m3 sampah yang musnah tiap jam. Lokasi yang diperlukannya
sekitar 5000 m2. Model tetra, dengan keperluan lokasi 10.000 m2,
bisa memusnahkan sampah 30-40 m3/jam. Tungku terdiri dari
cerobong dan tabung pembakar yang dibuat dari bata tahan api,
semen portland, pasir beton, besi beton, baja antikarat, dan
sebagainya.
Yang dimusnahkan lewat SIDS ialah jenis sampah organik (buangan
dari daging, daun, kertas, kayu, dan sebangsanya). Karena sistem
membuang sampah di Indonesia masih bersifat campurbaur, Soska
juga telah menyiapkan alat pemisah untuk sampah organik,
anorganik (pasir, aluminium, timah, besi, dan sebangsanya) dan
sintetis (yang memiliki komposisi petrokimia). Berbagai jenis
sampah itu masuk dalam sebuah tanur. Dengan curahan air di dalam
tanur, alat itu bisa memisahkan tiap partikel dari sampah
tersebut. Tinggallah kini sampah organik dan lembaran plastik
yang dalam temperatur 52øC akan mencair, semuanya itu kemudian
siap dimasukkan ke dalam tungku. "Dalam tempo 3 menit saja,
sampah akan musnah," kata Soska. Prinsip yang dipakainya ialah
mengubah udara yang diam (aerostatis) menjadi angin yang
bergerak (aerodinamis) yang gunanya untuk menghembuskan api.
Kalau api sudah sekali menyala, umpan sampah harus diberikan
secara berkesinambungan. Panas di dalam tungku bisa mencapai
700øC. Untuk mencegah kerusakan, panas harus diturunkan sampai
370øC dengan sistem pendingin. Karena itu, pembakaran sampah ini
sebaiknya di tempat yang dekat dengan sumber air.
Tiap kubik sarnpah organik, menurut Soska, bisa menghasilkan 80
kg kompos. Sedangkan recycling (daur ulang) dari lembaran
plastik, katanya bisa dijadikan bahan pembuat genteng atau
eternit. Sedangkan dari uap pembakaran plastik, lewat proses
tertentu, bisa didapat aquadestilata.
Soska, bersama Ir. Theo Pietersz dan Mayor (Pur) Soehanda dari
Yasindo (yayasan yang mendukung proyek SIDS), sejak 1978
mengadakan percobaan di desa Cigugur, Cimindi dan tempat lain di
sekitar Bandung. Dan Yasindo telah mcngirim usulan kepada
Mcnteri Ristek Habibi dan Menteri PUTL Poernomosidi.
Model SIDS memang bukan satu-satunya (Libat box) untuk
memusnahkan sampah. Tapi cara Soska ini mungkin yang termurah,
termudah dan tercepat. Kalau SIDS dipakai, katanya pula, pasti
Jakarta atau kota besar lainnya di In.ionesia "akan kekurangan
sampah" karena tungku itu bekerja terus-menerus.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini