JALAN Budapester di Berlin Barat tampak meriah. Bendera berbagai
negara berkibaran. Di sinilah berlangsung Festival Film Berlin
ke-32, 12-23 Februari.
Lebih dari 500 film, yang meramaikan festival, oleh panitia
disalurkan ke dalam dua acara pokok. Pertama yang disebut acara
'informasi' -- atau juga 'pekan film'. Di sinilah film diputar,
tapi tidak dinilai. Ke sini pula film-film Indonesia dimasukkan.
Yang kedua, yang disebut 'bursa', tempat memutar film yang
dipertandingkan --sekaligus di sepuiuh studio di lantai dua Cine
Center, juga terletak di Budapester.
Bagi film asing lainnya, Festival Berlin yang oleh beberapa
pengamat dikatakan menurun mutunya itu, ternyata toh bukan arena
bertanding yang empuk. Dewan juri terbukti rnemberi angka
tertinggi untuk film Jerman sendiri: Veronika Voss, karya
sutradara Rainer Werner Fassbinder. Dengan demikian Piala
Beruang Emas digondol oleh tuan rumah--sementara 7 Piala Beruang
Perak dibagikan antara lain kepada film Creeps (Polandia) untuk
orisinalitas terbaik, The Mar4uis of Grillo (Italia) untuk
penyutradaraan terbaik, lalu para pemain Katrin Sass Jerman
Timur), Michel Picolli (Prancis) dan Stellan Skarsgaard (Swedia)
untuk akting terbaik. Sydney Polack, sutradara Amerika yang
dikenal di Indonesia dengan Bonnie and Clyde, memperoleh piagam
penghargaan untuk filmnya Absence of Malice.
Apakah Veronika Voss, film pemenang itu, sungguh istimewa? Tokoh
utamanya, yang diperankan oleh Rosel Zech, seorang aktris
Austria, digambarkan sebagai seorang bekas bintang film.
Veronika ditemukan mati, dan film ini mempersoalkan apakah
kematiannya disebabkan o leh bunuh diri atau pembunuhan.
Wartawan berusaha membongkar misteri itu.
Di situ terlibat nama Dr. Katz, tempat Veronik tingal bersama.
Dokter inirah ternyata yang telah membuat orang-oran yang
kesepian kecanduan morfin dan bergantung kepadanya. Film ini
kemudian menekankan usaha si wartawan memancing si dokter agar
masuk perangkap. Belum lagi berhasil, Veronika terbunuh.
Selain masalah penggarapan dengan segala nuansanya, agaknya juga
film ini menjadi penting karena ia berdasar kisah kematian
bintang film kenamaan Sytille Schmit. yang banyak menimbulkan
desas-desus. Tapi yang juga menarik ialah, film ini hanya
salahsatu yang menjadikan tokoh wartawan sebagai hero.
Diperkirakan 30% dari film yang masuk kompetisi kali ini
mengambil tema pembongkaran kematian oleh wartawan. Rupanya
sukses All tbe President's Men, pembongkaran skandal Watergate
oleh dua wartawan Washington Post itu, mengilhami banyak sineas
untuk lebih memberikan peran detektif kepada wartawan. Bukankah
di TVRI juga diputar film seri Gibbsville, dan sebelum itu
Andros Target?
Tapi Rainer Werner Fassbinder bukan nama sembarangan. Sutradara
berusia 3 5 tahun itu, memulai karirnya sebagai aktor yang
kemudian membuktikan kebolehannya sebagai penulis skenario dan
sutradara--baik untuk pentas, tv maupun film. Pada usia 20 dia
sudah mulai dengan beberapa film pendek, dan pada umur 22 dia
membentuk kelompok sendiri bernama Anti-Theater. Ciri khas film
Fassbinder ialah kamera yan statis, dialog panjang, hampir
tidak menghiraukan efek dramatik, dan miskin dalam gaya. Tapi
penonton justru terpikat. Beberapa kritik membandingkan
karya-karyanya dengan karya-karya Jean-Luc Godard, tokoh film
Prancis yang tersohor itu, sementara yang lain meramalkan
Fassbinder setidaknya dapat meningkatkan mutu film Jerman lebih
tinggi lagi.
Tapi lepas dari soal mutu, film Jerman Barat sebenarnya masih
senasib dengan film Indonesia --dalam hal belum menjadi tuan
rumah di negeri sendiri. Dalam 5 tahun terakhir, misalnya, film
AS memborong porsi 37 - 55% pasaran Jerman. Disusul film
Prancis, Italia dan Inggris. Tahun 1980, porsi film Jerman hanya
9,3%--tapi tahun lalu diperhitungkan meningkat jadi 20%.
Separuh Gugur
Bagaimana dengan film seks murahan buatan Jerman, yang hidangan
pornonya menggemparkan? "Memang, dulu banyak produser yang
mengeksploatasi seks dan kejahatan," kata Ewald Orf. Tapi
dikatakannya, sekarang tema lebih beraneka--dan sukses.
Contohnya film-film Das Boot dan Cbristiane F, yang
masing-masing berhasil mengaut US$ 6 dan 4,5 juta.
Akan hal film Indonesia sendiri, dari 31 yang diberangkatkan,
lebih separuhnya gugur dalam penilaian untuk bisa
dipertandingkan dalam acara bursa. Yang lain, 10 buah,
dimasukkan dalam acara 'informasi'.
Ada jugalah sedikit hiburan, memang. Film-film Perempuan Dalam
Pasungan dan Usia 18 cukup berhasil menerobos selera publik.
Setelah diisi dengan suara berbahasa Jerman, keduanya akan
muncul di layar tv sana bulan ini juga. Juga empat film lain:
Cewek Jagoan Beraksi Kembali, Serigala, Janur Kuning dan
Primitif memenangkan enam kontrak pembelian.
Itulah baru hasil terobosan ekspor Dewan Film ke pasaran Eropa.
Indonesia sendiri mengirimkan rombongan besar, 26 orang,
dipimpin oleh Ketua Dewan Film Asrul Sani. Karena yang berhasil
dijual adalah film semacam Cewek Jagoan dan Serigala, memang ada
timbul pikiran: agaknya di sini dan di Jerman sama saja--film
komersial belum tentu film yang baik, begitu pula sebaliknya.
Atau, ini: dari sebuah negeri dengan fi]m-filmnya yang "belum
bermutu", apalagi yang bisa diambil kalau bukan hasil produknya
yang hiburan-yang mudah-mudahan saja "khas Timur".
Festival Berlin memang masih merupakan gelanggang yang terlalu
berat buat sineas kita. Ini ada juga dikemukakan oleh Ewald Orf,
Ketua Eksportir Film Jerman, kepada wartawan TEMPO Slamet
Djabarudi yang mengirimkan bahan laporan ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini