Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

Mobil makam tebu, gaplek, getah ...

Di brazilia, alkohol digunakan sebagai pengganti minyak bumi. alkohol diambil dari tebu atau ubi kayu dengan teknik destilasi. di ri menyuling getah, pengganti bahan bakar lebih dulu dipraktekkan.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEKNOLOGI pertanian modern, diperkirakan menelan hampir 10 % dari produksi minyak bumi Indonesia. Tapi sesungguhnya itu baru secuwil kecil saja dari kebutuhan enerji rakyat desa - mereka yang merupakan 75% dari seluruh rakyat Indonesia. Bahan bakar untuk memasak, masih banyak ditebang di hutan (sehingga timbul bahaya erosi). Enerji transpor, masih banyak yang berasal dari otak manusia dan ternaknya. Lantas apa jadinya dengan adanya bahan bakar fosil kita, kalau satu waktu rakyat desa mulai menikmatinya pula secara proporsionil ? Tidak cuma untuk melumas budidaya pertanian, tapi juga untuk kompor-kompor, lampu, kulkas, serta kenikmatan dunia modern lainnya ? Alkohol Mungkin cadangan minyak bumi kita tak akan berumur 22 tahun lagi. Lebih pendek. Kecuali bila Indonesia mau melirik pada penelitian bahan bakar organisasi yang sedang digalakan di manca-negara. Yakni bahan bakar yang dapat ditanam dan dipelihara, sehingga hasilnya tak sekedar digerogoti habis lantas persetan. Misalnya penelitian sumber enerji pertanian di Brazilia yang berharap dapat mengurangi impor minyaknya sebanyak 20%, 3 tahun lagi. Brazilia kini sudah mulai menanam bahan bakarnya sendiri. Dari perkebunan tebunya saja sudah dihasilkan 800 juta liter ethyl alcohol setahun-suatu produk sampingan pabrik gula di sana. Sedang pengendara mobil di sana sudah mulai mencampur bensin Brazilia dengan 2 - 8% alkohol, tanpa perlu mengganti mesin yang standar. Riset di sana menunjukkan, bahwa kalau mesin mobil standar distel dengan tepat, campuran bensin-alkohol itu terbakar lebih sempurna, sehingga polusiya juga berkurang. Urbano Ernesto Stumpf, seorang insinyur aeronautika, menyimpulkan bahwa campuran alkohol 50% dapat digunakan untuk menjalankan truk dan bus bermesin disel, serta turbin pembangkit listrik. Malah belum lama ini, di negeri itu telah diuji tiga mobil yang sudah diubah mesinnya sehingga sanggup berjalan lebih dari 100 ribu km dengan bahan bakar alkohol-air (hydrated alcohol 95% alkohol dan 5% air). Dengan mesin yang disesuaikan, alkohol menghasilkan 18% lebih banyak tenaga/liter dari pada bensin, kendati kalori panas yang dihasilkannya lebih rendah. Sayangnya, Alkohol dikonsumir 15 - 20% lebih cepat dari pada bensin. Sehingga total jenderal takaran km/liter bahan bakar alkohol lebih tinggi sedikit dari pada bensin. Sebaliknya, produksi (O dan N2 dari alkohol hanya separuh dari polusi gas buangan tersebut dari knalpot mesin bensin. Polusi hidrokarbon bisa diabaikan. Begitu pula polusi timah hitam (Pb), yang biasanya dicampur dengan bensin untuk mempertinggi angka oktannya, tapi tidak diperlukan dalam alkohol Untuk Ganti Minyak? Dalam sebuah seminar di Rio de Janeiro baru-baru ini, ditaksir bahwa hanya 2% tanah Brazilia diperlukan untuk memprodusir alkohol sebagai pengganti seluruh impor minyak negeri iu (sekitar 700 ribu barrel/hari, dengan biaya tahunan sekitar 3 milyar dollar AS). Sayangnya, tanah yang cocok untuk perkebunan tebu sudah terpakai untuk keperluan lain. Sehingga para ahli di Institut Teknologi Nasional di Rio mengusulkan bahan baku lain: ubi kayu (cussava). Dan tak perlu susah.susah mempromosikannya sebab Brazilia sudah menjadi produsen ubi kayu terbesar di dunia. Akar ubi kayu -- yang terutama digunakan sebagai bahan pangan - masih mengandung 20 - 40% kanji (starch) yang tak dapat didistilasi. Namun para ahli Brazilia telah menemukan metode enzymatic untuk menguraikan kaliji itu menjadi gula -- dan dari situ selanjutnya diproses menjadi alkohol lagi. Pabrik distilasi cassava pertama di dunia, telah mulai beroperasi di Brazilia. Teknik 'menyadap' alkohol dari ubi kayu ini lebih sulit ketimbang dari tebu. Tapi untungnya, ubi kayu dapat ditanam di seantero negeri, dan bukan tanaman musiman. Sehingga untuk memprodusir 4 juta kiloliter bahan bakar sebagai pengganti 20% impor minyak bumi, boleh pilih: membuka 1,3 juta Ha perkebunan tebu, atau antara I - 2 juta Ha cassava. Bagi Indonesia, teknik menyuling bahan bakar dari tanaman perkebunan sebenarnya tak terlalu asing. Cuma sudah kanyak dilupakan orang. Terutama setelah penemuan sumur-sumur minyak raksasa di Sumatera. Namun buat penduduk pulau perca itu, kenang-kenangan masa pendudukan Jepang yang disusul dengan revolusi fisik cukup unik. Ketika itu, bensin dan minyak tanah sukar didapat. Apa akal'? Penduduk di pedalaman, kembali ke pohon percanya. Biji karet dimakan setelah dimasak seperti biji nangka. Sedang getahnya setelah disuling, dijadikan bahan bakar pelita. Bahkan menurut Makmur Adnan, seorang pembaca TEMPO di Bukittinggi, "minyak getah itu juga dijadikan bahan bakar kendaraan bermotor." Nah, mengingat potensi itu toh tersedia di Indonesia, mengapa tidak diteliti juga bagaimana caranya memberi makan mobil dengan tebu, gaplek, minyak getah, dan sebagainya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus