TEKNOLOGI pertanian modern, diperkirakan menelan hampir 10 %
dari produksi minyak bumi Indonesia. Tapi sesungguhnya itu baru
secuwil kecil saja dari kebutuhan enerji rakyat desa - mereka
yang merupakan 75% dari seluruh rakyat Indonesia.
Bahan bakar untuk memasak, masih banyak ditebang di hutan
(sehingga timbul bahaya erosi). Enerji transpor, masih banyak
yang berasal dari otak manusia dan ternaknya.
Lantas apa jadinya dengan adanya bahan bakar fosil kita,
kalau satu waktu rakyat desa mulai menikmatinya pula secara
proporsionil ? Tidak cuma untuk melumas budidaya pertanian,
tapi juga untuk kompor-kompor, lampu, kulkas, serta
kenikmatan dunia modern lainnya ?
Alkohol
Mungkin cadangan minyak bumi kita tak akan berumur 22 tahun
lagi. Lebih pendek. Kecuali bila Indonesia mau melirik pada
penelitian bahan bakar organisasi yang sedang digalakan di
manca-negara. Yakni bahan bakar yang dapat ditanam dan
dipelihara, sehingga hasilnya tak sekedar digerogoti habis
lantas persetan. Misalnya penelitian sumber enerji pertanian
di Brazilia yang berharap dapat mengurangi impor minyaknya
sebanyak 20%, 3 tahun lagi.
Brazilia kini sudah mulai menanam bahan bakarnya sendiri. Dari
perkebunan tebunya saja sudah dihasilkan 800 juta liter ethyl
alcohol setahun-suatu produk sampingan pabrik gula di sana.
Sedang pengendara mobil di sana sudah mulai mencampur bensin
Brazilia dengan 2 - 8% alkohol, tanpa perlu mengganti mesin
yang standar. Riset di sana menunjukkan, bahwa kalau mesin mobil
standar distel dengan tepat, campuran bensin-alkohol itu
terbakar lebih sempurna, sehingga polusiya juga berkurang.
Urbano Ernesto Stumpf, seorang insinyur aeronautika,
menyimpulkan bahwa campuran alkohol 50% dapat digunakan untuk
menjalankan truk dan bus bermesin disel, serta turbin pembangkit
listrik. Malah belum lama ini, di negeri itu telah diuji tiga
mobil yang sudah diubah mesinnya sehingga sanggup berjalan lebih
dari 100 ribu km dengan bahan bakar alkohol-air (hydrated
alcohol 95% alkohol dan 5% air).
Dengan mesin yang disesuaikan, alkohol menghasilkan 18% lebih
banyak tenaga/liter dari pada bensin, kendati kalori panas
yang dihasilkannya lebih rendah. Sayangnya, Alkohol dikonsumir
15 - 20% lebih cepat dari pada bensin. Sehingga total jenderal
takaran km/liter bahan bakar alkohol lebih tinggi sedikit dari
pada bensin. Sebaliknya, produksi (O dan N2 dari alkohol hanya
separuh dari polusi gas buangan tersebut dari knalpot mesin
bensin. Polusi hidrokarbon bisa diabaikan. Begitu pula polusi
timah hitam (Pb), yang biasanya dicampur dengan bensin untuk
mempertinggi angka oktannya, tapi tidak diperlukan dalam alkohol
Untuk Ganti Minyak?
Dalam sebuah seminar di Rio de Janeiro baru-baru ini, ditaksir
bahwa hanya 2% tanah Brazilia diperlukan untuk memprodusir
alkohol sebagai pengganti seluruh impor minyak negeri iu
(sekitar 700 ribu barrel/hari, dengan biaya tahunan sekitar 3
milyar dollar AS). Sayangnya, tanah yang cocok untuk perkebunan
tebu sudah terpakai untuk keperluan lain. Sehingga para ahli di
Institut Teknologi Nasional di Rio mengusulkan bahan baku lain:
ubi kayu (cussava). Dan tak perlu susah.susah mempromosikannya
sebab Brazilia sudah menjadi produsen ubi kayu terbesar di
dunia.
Akar ubi kayu -- yang terutama digunakan sebagai bahan pangan -
masih mengandung 20 - 40% kanji (starch) yang tak dapat
didistilasi. Namun para ahli Brazilia telah menemukan metode
enzymatic untuk menguraikan kaliji itu menjadi gula -- dan dari
situ selanjutnya diproses menjadi alkohol lagi. Pabrik distilasi
cassava pertama di dunia, telah mulai beroperasi di Brazilia.
Teknik 'menyadap' alkohol dari ubi kayu ini lebih sulit
ketimbang dari tebu. Tapi untungnya, ubi kayu dapat ditanam di
seantero negeri, dan bukan tanaman musiman. Sehingga untuk
memprodusir 4 juta kiloliter bahan bakar sebagai pengganti 20%
impor minyak bumi, boleh pilih: membuka 1,3 juta Ha perkebunan
tebu, atau antara I - 2 juta Ha cassava.
Bagi Indonesia, teknik menyuling bahan bakar dari tanaman
perkebunan sebenarnya tak terlalu asing. Cuma sudah kanyak
dilupakan orang. Terutama setelah penemuan sumur-sumur minyak
raksasa di Sumatera. Namun buat penduduk pulau perca itu,
kenang-kenangan masa pendudukan Jepang yang disusul dengan
revolusi fisik cukup unik. Ketika itu, bensin dan minyak tanah
sukar didapat. Apa akal'? Penduduk di pedalaman, kembali ke
pohon percanya. Biji karet dimakan setelah dimasak seperti biji
nangka. Sedang getahnya setelah disuling, dijadikan bahan bakar
pelita. Bahkan menurut Makmur Adnan, seorang pembaca TEMPO di
Bukittinggi, "minyak getah itu juga dijadikan bahan bakar
kendaraan bermotor."
Nah, mengingat potensi itu toh tersedia di Indonesia, mengapa
tidak diteliti juga bagaimana caranya memberi makan mobil dengan
tebu, gaplek, minyak getah, dan sebagainya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini