PROF. Sadli Menteri Pertambangan dalam seminar yang diadakan
Yayasan 17 Agustus 1945 akhir bulan lalu melontarkan pertanyaan:
"Berapa jumlah minyak bumi yang pantas kita pakai setiap
tahun agar generasi sesudah kita tidak mengalami krisis. "
Itu pertanyaan mungkin klise, tapi jalan keluarnya memang masih
samar-samar. Kata Sadli lagi, "Indonesia bingung menggali dan
memakai sumber-sumber enerjinya." Sampai sekarang, masih 90%,
enerji berasal dari minyak bumi. Akibatnya konsumsi minyakbumi
dalam negeri tiap tahun naik 11-13 %. Sehingga kebutuhan
dalam negeri di akhir Pelita III (194) akan mencapai 36 juta
kilo liter Padahal produksi dalam negeri. Sampai kali ini baru
145 juta kilo liter setahun.
Tapi kalau seluruh produksi minyak bumi kita habis dibakar
sendiri. Lalu mana yang tinggal buat diekspor". Makanya Sadli
melirik ke batubara yang persediaannya "tak akan habis sampai
500 tahun mendatang." Namun karena sifatnya bulky (banyak makan
tempat) penyimpanannya lebih merepotkan dari pada minyak, dan
biaya transpornya besar. Pokoknya masalahnya rumit sekali.
Sadli, sebenarnya mungkin tahu juga jalan keluarnya. Tapi
melalu seminar di hotel Aryaduta-Hyatt tentang ketahanan
nasional itu dia tampaknya ingin menghimbau semua fihak untuk
lebih hemat menggunakan enerji. Khususnya bahan bakar fosil
seperti minyak dan gas bumi, serta batubara -- yang semuanya
merupakan penjelmaan nenek-moyang kita (fauna dan flora di
bumi), jutaan tahun yang silam.
Himbauan Sadli dan juga Prof. Sumitro yang sebelumnya sudah
meramalkan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia hanya dapat
diandalkan selama beberapa tahun lagi. Usulan itu dapat
tanggapan dari sektor industri dan transpor. Kedua sektor
ekonomi ini, tak pelak lagi merupakan pelahap bahan bakar fosil
yang Utama.
Ternyata Juga Pertanian
Namun sebenarnya di luar bidang industri dan transpor, sektor
pertanian sudah mulai naik pangkat sebagai pelahap bahan bakar
fosil yang harus diperhitungkan pula. Berkat teknologi modern
yang banyak menelan pupuk sintetis dan pestisida sintetis -- dua
produk sampingan industri petro-kimia - sektor pertanian semakin
'boros enerji'. Sebagai contoh sudah dihitung, bahwa untuk
menghasilkan 1 acre (sekitar 2,5 ha) jagung, seorang petani di
AS membutuhkan masukan (input) enerji hampir sebanyak 3 juta
kilo-kalori, atau sekitar 350 liter bensin.
Maka sementara ahli pertanian pun tidak puas dengan
ketergantungan teknologi pertanian pada sumber enerji yang tak
dapat diperbaharui. Misalnya Dr Ida Nyoman Oka, dari Lembaga
Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Bogor, yang memasalahkan
ketergantungan itu dalam seminar Masyarakat Ilmiah Bogor, Juni
lalu, seperti dimuat dalam majalah Widyapura, No. 5 - 6/1977.
Untuk menghasilkan 1 kg urea (pupuk N buatan), dibutuhkan 8400
kilokalori, yang kurang-lebih = 1 liter bensin. Bila tiap Ha
padi unggul dianjurkan agar ditaburi 90 kg urea, maka itu sama
dengan menghabiskan 180 liter bensin. Nah, bila luas seluruh
areal intensifikasi tanaman padi unggul sudah mencapai 28 juta
Ha (M.T. 1974/1975), maka itu sama dengan menghabiskan 511 juta
liter bensin.
Itu baru untuk pupuk N-nya saja. Belum lagi enerji yang cukup
tinggi untuk memprodusir Insektisida (racun serangga), herbisida
(racun rumput-rumputan pengganggu), rodentisida (racun tikus),
serta pupuk kalium (K) dan fosfor (P). Sehingga tak mustahil
bahwa seluruh program Bimas + Inmas yang di jalankan oleh
pemerintah, sudah mengh Lbiskan lebih dari 1 juta kiloliter
bensin tiap tahun. Termasuk enerji untuk transpor pupuk dan
pestisida sintetis itu dari pabrik ke pelosok desa. Kalau
taksiran itu betul, berarti hampir 10% dari produksi minyak bumi
Indonesia, dilahap oleh sektor pertanian yang sudah kecanduan
pupuk dan pestisida pabrik.
"Mengingat persediaan enerji itu akan habis dalam 22 tahun
mendatang, kelangsungan teknologi pertanian yang seluruhnya
sangat tergantung pada sumber enerji itu akan sangat terancam,"
begitu kekhawatiran Oka. Ahli pertanian yang tadinya lebih
dikenal kesibukannya mengawinkan berbagai jenis padi (unggul)
itu juga mengingatkan, hetapa petani kita di awal krisis enerji
dunia harus membayar rekening pupuk yang melonjak harganya 4 - 5
x lipat.
Selain mahal, pemberian pupuk N sintetis secara non-stop dalam
dosis yang kian meningkat (Badan Pengelldali Bimas sudah
menganjurkan dosis urea di atas 100 kg, kalau tanamannya
responsif), menurut Oka akibatnya "bisa merusak tanah." Juga,
nitrogen yang larut ke air bersarna zat hara lainnya (khususnya
P dan K) menimbulkan eksplosi tanaman air sebangsa ganggang,
kiambang, atau eceng gondok. Gejala eutroplikasi ini, pada
gilirannya juga merupakan pemborosan. Sebab pupuk sintetis yang
mahal itu bukan dimaksudkan untuk menyuburkan eceng gondok,
bukan? Sementara eceng gondok yang meledak di jaringan urat nadi
irigasi, pada gilirannya akan menganggu pertumbuhan padi unggul
yang sangat haus air, pupuk, dan sangat peka terhadap serangan
hama/penyakit.
Walhasil, Oka menganjurkan para petani kembali pada pola
penggiliran tanaman padi dengan kacang-kacangan dan palawija
lainnya (crop retation). Pola ini, yang sudah lama dikenal oleh
petani Jawa dan dilembagakan dalam naskah pranata mangsa tak
mengakibatkan pencemaran lingkungan karena obral pupuk sintetis
dan p estisida. Sebab akar kacang-kacangan, menghasilkan
nitrogen organis yang murah, tak merusak tanah malah lebih
lestari terserap oleh tanah. Sedang penyelingan penanaman padi
dengan tanaman lainnya, membendung eksplosi hama secara alamiah.
Dari sudut gizi, petani tidak rugi. Sebab biji kacang-kacangan,
mengandung nilai gizi yang jauh lebih tinggi dari pada beras.
Juga, buat petani di daerah yang padat manusianya, menanam
biji-bijian penghasil protein nabati jauh lebih efisien dari
pada memelihara ternak. Sebab untuk menghasilkan 1 kg daging,
diperlukan tanah 100 x lebih luas daripada untuk menghasilkan 1
kg biji-bijian.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini