Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Teknologi & Inovasi

22 Tahun Lagi: Minyak Habis

Menteri pertambangan sadli dalam seminar ketahanan nasional di hotel aryaduta jakarta mengimbau untuk menghemat energi minyak. karena minyak bumi indonesia hanya dapat diandalkan 22 tahun lagi.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PROF. Sadli Menteri Pertambangan dalam seminar yang diadakan Yayasan 17 Agustus 1945 akhir bulan lalu melontarkan pertanyaan: "Berapa jumlah minyak bumi yang pantas kita pakai setiap tahun agar generasi sesudah kita tidak mengalami krisis. " Itu pertanyaan mungkin klise, tapi jalan keluarnya memang masih samar-samar. Kata Sadli lagi, "Indonesia bingung menggali dan memakai sumber-sumber enerjinya." Sampai sekarang, masih 90%, enerji berasal dari minyak bumi. Akibatnya konsumsi minyakbumi dalam negeri tiap tahun naik 11-13 %. Sehingga kebutuhan dalam negeri di akhir Pelita III (194) akan mencapai 36 juta kilo liter Padahal produksi dalam negeri. Sampai kali ini baru 145 juta kilo liter setahun. Tapi kalau seluruh produksi minyak bumi kita habis dibakar sendiri. Lalu mana yang tinggal buat diekspor". Makanya Sadli melirik ke batubara yang persediaannya "tak akan habis sampai 500 tahun mendatang." Namun karena sifatnya bulky (banyak makan tempat) penyimpanannya lebih merepotkan dari pada minyak, dan biaya transpornya besar. Pokoknya masalahnya rumit sekali. Sadli, sebenarnya mungkin tahu juga jalan keluarnya. Tapi melalu seminar di hotel Aryaduta-Hyatt tentang ketahanan nasional itu dia tampaknya ingin menghimbau semua fihak untuk lebih hemat menggunakan enerji. Khususnya bahan bakar fosil seperti minyak dan gas bumi, serta batubara -- yang semuanya merupakan penjelmaan nenek-moyang kita (fauna dan flora di bumi), jutaan tahun yang silam. Himbauan Sadli dan juga Prof. Sumitro yang sebelumnya sudah meramalkan bahwa cadangan minyak bumi Indonesia hanya dapat diandalkan selama beberapa tahun lagi. Usulan itu dapat tanggapan dari sektor industri dan transpor. Kedua sektor ekonomi ini, tak pelak lagi merupakan pelahap bahan bakar fosil yang Utama. Ternyata Juga Pertanian Namun sebenarnya di luar bidang industri dan transpor, sektor pertanian sudah mulai naik pangkat sebagai pelahap bahan bakar fosil yang harus diperhitungkan pula. Berkat teknologi modern yang banyak menelan pupuk sintetis dan pestisida sintetis -- dua produk sampingan industri petro-kimia - sektor pertanian semakin 'boros enerji'. Sebagai contoh sudah dihitung, bahwa untuk menghasilkan 1 acre (sekitar 2,5 ha) jagung, seorang petani di AS membutuhkan masukan (input) enerji hampir sebanyak 3 juta kilo-kalori, atau sekitar 350 liter bensin. Maka sementara ahli pertanian pun tidak puas dengan ketergantungan teknologi pertanian pada sumber enerji yang tak dapat diperbaharui. Misalnya Dr Ida Nyoman Oka, dari Lembaga Pusat Penelitian Pertanian (LP3) Bogor, yang memasalahkan ketergantungan itu dalam seminar Masyarakat Ilmiah Bogor, Juni lalu, seperti dimuat dalam majalah Widyapura, No. 5 - 6/1977. Untuk menghasilkan 1 kg urea (pupuk N buatan), dibutuhkan 8400 kilokalori, yang kurang-lebih = 1 liter bensin. Bila tiap Ha padi unggul dianjurkan agar ditaburi 90 kg urea, maka itu sama dengan menghabiskan 180 liter bensin. Nah, bila luas seluruh areal intensifikasi tanaman padi unggul sudah mencapai 28 juta Ha (M.T. 1974/1975), maka itu sama dengan menghabiskan 511 juta liter bensin. Itu baru untuk pupuk N-nya saja. Belum lagi enerji yang cukup tinggi untuk memprodusir Insektisida (racun serangga), herbisida (racun rumput-rumputan pengganggu), rodentisida (racun tikus), serta pupuk kalium (K) dan fosfor (P). Sehingga tak mustahil bahwa seluruh program Bimas + Inmas yang di jalankan oleh pemerintah, sudah mengh Lbiskan lebih dari 1 juta kiloliter bensin tiap tahun. Termasuk enerji untuk transpor pupuk dan pestisida sintetis itu dari pabrik ke pelosok desa. Kalau taksiran itu betul, berarti hampir 10% dari produksi minyak bumi Indonesia, dilahap oleh sektor pertanian yang sudah kecanduan pupuk dan pestisida pabrik. "Mengingat persediaan enerji itu akan habis dalam 22 tahun mendatang, kelangsungan teknologi pertanian yang seluruhnya sangat tergantung pada sumber enerji itu akan sangat terancam," begitu kekhawatiran Oka. Ahli pertanian yang tadinya lebih dikenal kesibukannya mengawinkan berbagai jenis padi (unggul) itu juga mengingatkan, hetapa petani kita di awal krisis enerji dunia harus membayar rekening pupuk yang melonjak harganya 4 - 5 x lipat. Selain mahal, pemberian pupuk N sintetis secara non-stop dalam dosis yang kian meningkat (Badan Pengelldali Bimas sudah menganjurkan dosis urea di atas 100 kg, kalau tanamannya responsif), menurut Oka akibatnya "bisa merusak tanah." Juga, nitrogen yang larut ke air bersarna zat hara lainnya (khususnya P dan K) menimbulkan eksplosi tanaman air sebangsa ganggang, kiambang, atau eceng gondok. Gejala eutroplikasi ini, pada gilirannya juga merupakan pemborosan. Sebab pupuk sintetis yang mahal itu bukan dimaksudkan untuk menyuburkan eceng gondok, bukan? Sementara eceng gondok yang meledak di jaringan urat nadi irigasi, pada gilirannya akan menganggu pertumbuhan padi unggul yang sangat haus air, pupuk, dan sangat peka terhadap serangan hama/penyakit. Walhasil, Oka menganjurkan para petani kembali pada pola penggiliran tanaman padi dengan kacang-kacangan dan palawija lainnya (crop retation). Pola ini, yang sudah lama dikenal oleh petani Jawa dan dilembagakan dalam naskah pranata mangsa tak mengakibatkan pencemaran lingkungan karena obral pupuk sintetis dan p estisida. Sebab akar kacang-kacangan, menghasilkan nitrogen organis yang murah, tak merusak tanah malah lebih lestari terserap oleh tanah. Sedang penyelingan penanaman padi dengan tanaman lainnya, membendung eksplosi hama secara alamiah. Dari sudut gizi, petani tidak rugi. Sebab biji kacang-kacangan, mengandung nilai gizi yang jauh lebih tinggi dari pada beras. Juga, buat petani di daerah yang padat manusianya, menanam biji-bijian penghasil protein nabati jauh lebih efisien dari pada memelihara ternak. Sebab untuk menghasilkan 1 kg daging, diperlukan tanah 100 x lebih luas daripada untuk menghasilkan 1 kg biji-bijian.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus