KELUHAN Letkol. Polisi Ciptadi, perwira Oditoriat Jenderal Mabak
yang dimuat di ruang Kriminalitas TEMPO 16 Juli 1977, menarik
sekali. Keluhnya: kebijaksanaan telah begitu mudahnya
membebaskan tersangka tanpa kelihatan sedikit pun berusaha
menemukan bukti yang telah kami berikan petunjuknya.
Keluhan tersebut merupakan gejala umum pula dalam pembcrantasan
korupsi. Masyarakat jangan heran kalau sering laporan tentang
adanya korupsi ditolak atau didiamkan saja karena si pelapor
tidak atau tidak lengkap melampirkan bukti-bukti Masih untung
kalau si pelapor tidak dibentak-bentak atau dimarahi.
Hal itu bukan omong kosong. Coba bayangkan keluhan letkol di
atas yang kerjanya di Oditoriat Jenderal (baca: Kejaksaan
Agungnya) Polisi, masih diperlakukan begitu. Andaikata yang
lapor orang sipil dari kalangan biasa, segala sesuatu dapat
saja terjadi.
Selama ini memang masih banyak oknum yang bertugas di bidang
pemberantasan korupsi:
1. beranggapan bahwa dasar bekerja di bidang tersebut adalah,
sejak dulu benci dan karenanya berhasrat memberantas korupsi.
Sehubungan dengan itu selama bertugas memperlengkapi dirinya
dengan pengetahuan dan ketrampilan, sehingga akhirnya mengira:
kalau dia sendiri tidak tahu dan tidak dapat menindak korupsi,
mana mungkin orang lain dapat berbuat demikian
2. beranggapan bahwa para koruptor tolol, sehingga bukti-bukti
kejahatannya tercecer di mana-mana, dan orang-orang yang tidak
ditugaskan khusus oleh Pemerintah untuk memberantasnya dengan
mudah akan dapat mengumpulkannya.
3. beranggapan bahwa tiap anggota masyarakat harus punya
kemampuan jadi pengusut (alias detektif) dan penuntut umum
(alias jaksa partikelir), yang dapat menanyakan kepada bank
rekening seseorang yang dicurigainya, seperti halnya wewenang
yang dimiliki jaksa penuntut umum berdasar Undang-Undang Rahasia
Bank. Berabe, bukan?
JOEWONO, SH
Jl. Prof. Dr. Soepomo, SH
No. 52, Jakarta Selatan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini