MENARIK sekali cara kita menahan derita. Tidak larut habis di
dalamnya, meskipun juga tak dapat berbuat apa-apa. Sebab seperti
biasa, terlalu sulit untuk memulai sesuatu usaha. Kita memang
berada dalam jangkauan realitas. Akan tetapi kita menempatkan
diri tidak semata-mata di dalam realitas. Terkadang kita berdiri
di sampingnya, sebagai orang lain yang berdiri di samping diri
sendiri yang sedang merasakan derita tersebut. Lalu kita
mengomentarinya, mencoba menghibur atau diam saja. Menghibur
diri, ini sudah menjadi semacam kebajikan yang utama. Terkadang
kita memilih berada dalam tahap di mana derita tersebut sudah
berakhir. Derita jelas belum habis, tapi kita sudah berada di
tempat di mana derita itu tak ada lagi. Kita sudah hidup di
dalam realitas yang diharap. Meskipun yang diharap mungkin cuma
keterlepasan sementara, yang tak ada kena-mengenannya dengan
usaha untuk mengatasi sebab-sebab penderitaan.
Satu kali kelak derita itu akan habis dengan sendirinya. Karena
segala sesuatu itu ada waktunya sendiri. Dengan 'common sense'
yang sederhana ini kita nenahan segala kesakitan kita dalam
menanggung derita. Semua hal itu ada batasnya. Jadi semua hal
dapat kita tunggu batasnya. Kesakitan yang bagaimanapun pada
akhirnya akan membaik. Tubuh pun punya cara menolak rasa sakit
yang berlebihan, entah dengan pingsan atau meninggal sekalian.
Pokoknya derita tak terasakan lagi.
Apakah ini suatu defaitisma kronis atau apa, tak terlalu
penting. Pendek kata kita punya cara untuk menahan derita.
Menerimanya dengan lapang tanpa repot apa-apa.
Bis
Kebajikan itu ada di mana mana, juga di atas bis.
Di suatu bis yang tumpat padat, yang setiap celahnya berharga 50
perak, sayang kalau hanya diisi hawa. Maka setiap celah yang ada
akau dibilang 'kosong' oleh kondektur. Selingga orang tidak
lagi naik bis, tapi dipersatukan dalalll bis. Lubang hidung sama
lubang hidung, mulut sama mulut dan segenap bagian tubuh yang
lain. Orang saling menghembuskan dan menyedot kembali apa yang
sudah dihembuskan dan disedot oleh orang seisi bis. Belum
direken soal aroma, yang tentunya jarang yang harumnya seperti
nafas bayi. Paru-paru tetap kembang-kempis melakukan tugasnya,
jantung pun demikian pula. Kepala kesal, tapi tak ada suara apa
pun yang berbunyi seperti mengeluh. Cuma anak-anak (yang tentu
saja karena belum banyak makan asam garam) mulai menangis. Dan
emak mereka pun lalu sibuk menjulurkan buah dadanya yang bukan
hanya disambut oleh sang anak, tapi juga oleh mata lelaki. Toh,
di tengah-tengah kesebalan tersebut masih ada orang yang sibuk
mencari kakinya, yang katanya mungkin tertukar dengan kaki
orang lain. Semua orang ketawa. Sebis, termasuk sopir yang
biasanya jarang ketawa. Ada suatu cara untuk menahan derita.
Gambaran semacam ini sering luput dari minat kita. Betapa orang
punya kesabaran yang maha lapang untuk menahan derita. Mereka
punya spiritualitas yang telah tertempa sejak puluhan bahkan
ratusan tahun. Sehingga mampu menerima keadaan dengan cara yang
biasa-biasa saja, bahkan penuh canda (playful attinde). Tanpa
merasa aneh, tanpa degupan jantung yang berlebih, tanpa darah
naik di kepala. Penderitaan dan kemiskinan adalah pengalaman
hidup sehari-hari. Asketisme (yang bukan ala biara) ini sudah
mendarah daging. Sehingga kesakitan, penderitaan dan kesebalan
tak punya daya kejut, tak punya pesona tak punya daya tarik
apa-apa. Juga tak mendorong usaha mencari sebab musababnya.
Semuanya sudah difahami dan diterima dengan rela.
Petani Karawang
Pada tingkat ini sebenarnya kita sudah bisa bicara soal
kesabaran sebagai bantuan Ilahi bagi manusia. Kesabaran dalam
menunggu puncak yang tak dapat ditangani sendiri. Kebajikan
semacam itu rata-rata ada pada kita sebagai bekas anak-anak
petani, atau sebagai anak-anak bekas petani. Yang sudah biasa
menunggu waktu (mongso) dengan sabar. Daya akomodasi kita
(terutama terhadap waktu dan keadaan yang menyiksa) amatlah luas
adanya. Semuanya adalah bagai sawah yang satu kali kelak akan
panen. Adapun jikalau panen itu tak jadi datang, itu pun tak
mengapa, sudah biasa. Asalkan kita tak kehilangan kebajikan
untuk menunggu dan bersabar. Kesabaran menunggu adalah
pengertian maknawi mengenai hidup. Inilah kiranya yang
memberikan semacam ketahanan rohani yang luar biasa untuk
menerirna keadaan sebagaimana adanya.
Petani di Karawang sambil makan enceng gondok pun menunggu,
dengan sabar. Menunggu musim dan menunggu inisiatif dan
aktifitas orang lain. Menunggu 'buah' dari perbuatan orang lain
yang mungkin akan mereka terima. Entah buah-buah kepemimpinan,
buah korupsi, kekejian atau buah-buah belas kasihan. Mereka
menunggu buah-buah itu seperti mereka menunggu buah-buah dari
sawahnya.
Kita adalah bekas anak para petani atau anak para bekas petani
yang sudah biasa sabar. Bukan hanya di sawah kita sabar, akan
tetapi juga di DPR, di Kampus, di Pemilu, di bis, di Pers, di
mana-mana kita sabar menunggu. Menunggu sampai batas lahirnya
buah dari perbuatan dan inisiatif orang lain. Maka daya suai
kita amatlah luas adanya.
Kemuliaan kebajikan ini memantul ke mana-mana. Biar kekalahan
demi kekalahan tetap kita alami. Lalu bagai seorang penyair
berkatalah kita: bukankah matahari tetap menyinari kita?
Bukankah menghirup udara itu berkah? Kurang apa?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini