Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Cara kita menahan derita

Kesabaran memberikan ketahanan rohani yang luar biasa untuk menerima keadaan bagaimanapun. tidak ada keluhan naik bis kota berdesakan. begitu juga petani di karawang sambil makan eceng gondok mengharap sabar.

15 Oktober 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENARIK sekali cara kita menahan derita. Tidak larut habis di dalamnya, meskipun juga tak dapat berbuat apa-apa. Sebab seperti biasa, terlalu sulit untuk memulai sesuatu usaha. Kita memang berada dalam jangkauan realitas. Akan tetapi kita menempatkan diri tidak semata-mata di dalam realitas. Terkadang kita berdiri di sampingnya, sebagai orang lain yang berdiri di samping diri sendiri yang sedang merasakan derita tersebut. Lalu kita mengomentarinya, mencoba menghibur atau diam saja. Menghibur diri, ini sudah menjadi semacam kebajikan yang utama. Terkadang kita memilih berada dalam tahap di mana derita tersebut sudah berakhir. Derita jelas belum habis, tapi kita sudah berada di tempat di mana derita itu tak ada lagi. Kita sudah hidup di dalam realitas yang diharap. Meskipun yang diharap mungkin cuma keterlepasan sementara, yang tak ada kena-mengenannya dengan usaha untuk mengatasi sebab-sebab penderitaan. Satu kali kelak derita itu akan habis dengan sendirinya. Karena segala sesuatu itu ada waktunya sendiri. Dengan 'common sense' yang sederhana ini kita nenahan segala kesakitan kita dalam menanggung derita. Semua hal itu ada batasnya. Jadi semua hal dapat kita tunggu batasnya. Kesakitan yang bagaimanapun pada akhirnya akan membaik. Tubuh pun punya cara menolak rasa sakit yang berlebihan, entah dengan pingsan atau meninggal sekalian. Pokoknya derita tak terasakan lagi. Apakah ini suatu defaitisma kronis atau apa, tak terlalu penting. Pendek kata kita punya cara untuk menahan derita. Menerimanya dengan lapang tanpa repot apa-apa. Bis Kebajikan itu ada di mana mana, juga di atas bis. Di suatu bis yang tumpat padat, yang setiap celahnya berharga 50 perak, sayang kalau hanya diisi hawa. Maka setiap celah yang ada akau dibilang 'kosong' oleh kondektur. Selingga orang tidak lagi naik bis, tapi dipersatukan dalalll bis. Lubang hidung sama lubang hidung, mulut sama mulut dan segenap bagian tubuh yang lain. Orang saling menghembuskan dan menyedot kembali apa yang sudah dihembuskan dan disedot oleh orang seisi bis. Belum direken soal aroma, yang tentunya jarang yang harumnya seperti nafas bayi. Paru-paru tetap kembang-kempis melakukan tugasnya, jantung pun demikian pula. Kepala kesal, tapi tak ada suara apa pun yang berbunyi seperti mengeluh. Cuma anak-anak (yang tentu saja karena belum banyak makan asam garam) mulai menangis. Dan emak mereka pun lalu sibuk menjulurkan buah dadanya yang bukan hanya disambut oleh sang anak, tapi juga oleh mata lelaki. Toh, di tengah-tengah kesebalan tersebut masih ada orang yang sibuk mencari kakinya, yang katanya mungkin tertukar dengan kaki orang lain. Semua orang ketawa. Sebis, termasuk sopir yang biasanya jarang ketawa. Ada suatu cara untuk menahan derita. Gambaran semacam ini sering luput dari minat kita. Betapa orang punya kesabaran yang maha lapang untuk menahan derita. Mereka punya spiritualitas yang telah tertempa sejak puluhan bahkan ratusan tahun. Sehingga mampu menerima keadaan dengan cara yang biasa-biasa saja, bahkan penuh canda (playful attinde). Tanpa merasa aneh, tanpa degupan jantung yang berlebih, tanpa darah naik di kepala. Penderitaan dan kemiskinan adalah pengalaman hidup sehari-hari. Asketisme (yang bukan ala biara) ini sudah mendarah daging. Sehingga kesakitan, penderitaan dan kesebalan tak punya daya kejut, tak punya pesona tak punya daya tarik apa-apa. Juga tak mendorong usaha mencari sebab musababnya. Semuanya sudah difahami dan diterima dengan rela. Petani Karawang Pada tingkat ini sebenarnya kita sudah bisa bicara soal kesabaran sebagai bantuan Ilahi bagi manusia. Kesabaran dalam menunggu puncak yang tak dapat ditangani sendiri. Kebajikan semacam itu rata-rata ada pada kita sebagai bekas anak-anak petani, atau sebagai anak-anak bekas petani. Yang sudah biasa menunggu waktu (mongso) dengan sabar. Daya akomodasi kita (terutama terhadap waktu dan keadaan yang menyiksa) amatlah luas adanya. Semuanya adalah bagai sawah yang satu kali kelak akan panen. Adapun jikalau panen itu tak jadi datang, itu pun tak mengapa, sudah biasa. Asalkan kita tak kehilangan kebajikan untuk menunggu dan bersabar. Kesabaran menunggu adalah pengertian maknawi mengenai hidup. Inilah kiranya yang memberikan semacam ketahanan rohani yang luar biasa untuk menerirna keadaan sebagaimana adanya. Petani di Karawang sambil makan enceng gondok pun menunggu, dengan sabar. Menunggu musim dan menunggu inisiatif dan aktifitas orang lain. Menunggu 'buah' dari perbuatan orang lain yang mungkin akan mereka terima. Entah buah-buah kepemimpinan, buah korupsi, kekejian atau buah-buah belas kasihan. Mereka menunggu buah-buah itu seperti mereka menunggu buah-buah dari sawahnya. Kita adalah bekas anak para petani atau anak para bekas petani yang sudah biasa sabar. Bukan hanya di sawah kita sabar, akan tetapi juga di DPR, di Kampus, di Pemilu, di bis, di Pers, di mana-mana kita sabar menunggu. Menunggu sampai batas lahirnya buah dari perbuatan dan inisiatif orang lain. Maka daya suai kita amatlah luas adanya. Kemuliaan kebajikan ini memantul ke mana-mana. Biar kekalahan demi kekalahan tetap kita alami. Lalu bagai seorang penyair berkatalah kita: bukankah matahari tetap menyinari kita? Bukankah menghirup udara itu berkah? Kurang apa?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus