Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Bandung - Fenomena munculnya pulau kecil di atas permukaaan laut di Desa Teinaman, Kabupaten Kepulauan Tanimbar, setelah gempa Maluku magnitdo 7,5 pada Selasa, 10 Januari 2023, menimbulkan berbagai spekulasi, bahkan ketakutan bagi masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Para ahli juga masih menduga-duga tentang penyebab fenomena tersebut. Koordinator Bidang Data dan Informasi BMKG Stasiun Geofisika Kelas I Ambon, Luthfy Pary, mengungkap istilah yang mirip dengan fenomena ini dikenal dengan 'mud volcano'.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Informasi yang kami peroleh belum lengkap apakah fenomena itu memang murni diakibatkan oleh dampak ikutan akibat gempa atau bukan," ujarnya, Selasa, 10 Januari 2023.
Hal senada disampaikan Koordinator Kelompok Kerja Geologi Gempa Bumi dan Tsunami, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Supartoyo. “Saya terus terang hingga saat ini belum bisa menjawab karena masih minimnya data geologi yang ada yang saya kumpulkan,” kata dia, Rabu, 11 Januari 2023.
Supartoyo mengatakan, ada sejumlah data geologi yang dibutuhkan untuk bisa menjawab fenomena tersebut. “Seperti misalnya yang menyembul ke atas batuan apa, apakah dia terdapat di lokal di situ atau luas. Kemudian juga bagaimana kondisi-kondisi kontak di permukaannya, jenis batuannya, kondisinya seperti apa, apakah muncul mata air dan sebagainya, apakah ada semburan pasir atau seperti apa,” kata dia.
Supartoyo mengatakan, minimnya data tersebut membuat penjelasan yang diberikan hanya berupa hipotesis. “Data itu saya gak punya, sehingga sulit menyimpulkan fenomena itu, masih terlalu dini, masih hipotesis,” kata dia.
Menurutnya, sedikitnya ada tiga hipotesis yang bisa dimunculkan pada fenomena kemunculan pulau itu, yakni mud vulcano, likuefaksi, serta uplift atau penunjaman patahan akibat sesar naik.
“Gejala seperti itu pernah terjadi seperti di Pakistan yang disebut terasosiasi dengan mud volcano. Atau ada beberapa yang menyebut itu bagian dari likuefaksi. Kemudian kalau kita lihat kasus gempa bumi di Nias tahun 2005 itu kekuatannya besar 8,7 dan itu terjadi pengangkatan, uplift, jadi adanya karang yang terangkat sampai 1,5-2 meter,” kata Supartoyo.
Supartoyo mengatakan, yang membedakan antara mud vulcano dan likuefaksi adalah material yang muncul di permukaan. “Kalau mud vulcano itu dominannya lumpur, kalau likuefaksi itu lebih ke material yang sifatnya pasir. Kalau misalnya itu mud vulcano, itu dimensinya besar, likuefaksi juga sangat besar. Saya belum tahu jawabannya, tapi kasus-kasus seperti itu masih mungkin kalau dipicu oleh gempa bumi kuat,” kata dia.
Selanjutnya, jika fenomena tersebut terkait dengan aktivitas penunjaman, maka yang terjadi berupa uplift atau pengangkatan. Penunjaman yang dimaksud terjadi pada pertemuan dua lempeng, salah satu menunjam masuk ke bawah lempeng yang lain.
“Kalau di Nias itu kemungkinan berasosiasi dengan zona prismatik akresi, jadi itu bagian depan dari zona penunjaman atau zona subduksi, sehingga terbentuk bentukan-bentukan berupa patahan naik. Dan diduga mekanisme itu yang memunculkan daratan, karang yang naik waktu itu di Nias. Kembali ke Tanimbar, hipotesisnya masih banyak karena minimnya data,” kata Supartoyo.
Menurutnya, pulau yang muncul tersebut bisa menjadi pulau permanen atau mungkin hilang begitu saja. “Ini pertanyaan berikutnya. Jadi kalau untuk kasus Nias itu relatif tetap. Tapi kalau itu mud vulcano atau likuefaksi, itu belum tahu juga jawabannya. Tapi paling tidak kita lihat dulu fenomena ini katakanlah seminggu-dua minggu ke depan seperti apa,”ujarnya.
Supartoyo mengatakan, andai pulau tersebut terjadi karena fenomena uplift ada sejumlah keuntungan. “Justru dengan adanya pengangkatan itu kita bisa mendapatkan gambaran suatu siklus gempa. Dengan hal ini bisa mengetahui gempa terhebat kapan, gempa terkini kapan, bahkan gempa yang lebih tua itu dengan pengangkatan ini bisa diidentifikasi,” kata dia.
Sementara itu lokasi pusat Gempa Maluku di Laut Banda menyebabkan penunjaman yang terjadi berbeda dengan yang umumnya berada di wilayah Indonesia bagian barat. Penunjaman yang terjadi di Laut Banda seperti umumnya yang ditemukan di wilayah Indonesia bagian timur disebut kolisi atau collision. Sementara penunjaman yang umumnya terdapat di daerah Indonesia bagian barat seperti di barat Pulau Sumatra dan selatan Pulau Jawa berupa subduksi.
“Kalau subduksi itu biasanya fenomena yang nampak adalah munculnya jalur-jalur magmatik, sehingga ada penampakan kemunculan deretan gunung api. Adapun yang collision ini biasanya dia karena benturan antarlempeng, dia tidak mengakibatkan terbentuknya jalur-jalur magmatik, katakanlah deretan gunung api,” kata Supartoyo.
Supartoyo mengatakan, di Indonesia perbatasan dua jenis penunjaman itu berada di sekitar Pulau Sumba. “Kalau kita lihat subduksi yang ada di Indonesia itu mulai dari Sumatra, selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara, nah transisinya itu di sekitar Pulau Sumba. Pulau Sumba ke timur sampai Laut Banda itu merupakan benturan yang disebut collision,” kata dia.
Supartoyo mengatakan di Kepulauan Tanimbar penunjaman yang terjadi dominan bentukan collision. “Penunjaman karena collision itu dominan sedimen, gak ada bantuan vulkanik di sana,” kata dia.
Penunjaman di Laut Banda berada di kedalaman lebih dari 100 kilometer di bawah tanah. “Penunjaman, collision tadi, lebih dari 100 kilometer (dalamnya), dan ada sebagian yang relatif di bagian utara itu yang bergerak naik. Hanya ini terjadi pada kedalaman yang cukup dalam. Ini salah satu yang menjelaskan kalau di Laut Banda ini gempanya bisa dangkal sampai menengah hingga dalam. Sehingga kalau gempa dalam, kita beranggapan pasti ada hubungannya dengan penunjaman,” kata dia.
Laut Banda seperti juga mayoritas daerah di Indonesia bagian timur merupakan sumber gempa bumi dan tsunami yang lebih kompleks dibandingkan wilayah Indonesia bagian barat. Di Indonesia bagian timur menjadi wilayah pertemuan empat lempeng benua, yaitu Lempeng Benua Eurasi, Lempeng Indo-Australia, di timur ada Lempeng Pasifik, dan di utaranya, di Halmaera dan Sulawesi Utara, ada Lempeng Laut Filipina.
"Khusus di Indonesia bagian timur itu ada banyak sekali lempeng-lempeng dalam ukuran yang lebih kecil yang disebut microcontinent. Di sana juga ada Island Arc atau Busur Kepulauan, ini memang sangat kompleks Indonesia bagian timur itu,” kata Supartoyo.
Laut Banda sendiri merupakan laut dalam. Di wilayah itu terdapat Deep Weber atau Cekungan Weber. “Cekungan Weber ini dalam, dan di pinggir pinggirannya itu merupakan lereng-lereng terjal, ini yang dikhawatirkan. Jadi lereng ini kalau terjadi guncangan gempa bumi kuat ini bisa runtuh, dan ini mungkin yang dikhawatirkan sebagai salah satu sumber pemicu tsunami. Pernah terjadi tahun 1938,” kata dia.
Supartoyo mengatakan gempa Maluku M7,5 tidak menimbulkan tsunami karena pusat gempanya dalam. Dia mengatakan Badan Geologi tengah membahas untuk mengirim tim untuk meneliti gempa tersebut. “Sedang kita rapatkan,” kata dia.
Selalu update info terkini. Simak breaking news dan berita pilihan dari Tempo.co di kanal Telegram “Tempo.co Update”. Klik https://t.me/tempodotcoupdate untuk bergabung. Anda perlu meng-install aplikasi Telegram terlebih dahulu.